Ombak Tinggi di Pantai Selatan DIY Merusak Ratusan Bangunan Nonpermanen
›
Ombak Tinggi di Pantai Selatan...
Iklan
Ombak Tinggi di Pantai Selatan DIY Merusak Ratusan Bangunan Nonpermanen
Ombak tinggi yang beberapa hari terakhir melanda pesisir selatan Daerah Istimewa Yogyakarta mulai mereda. Ratusan bangunan nonpermanen di dalam garis sempadan pantai rusak.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Gelombang tinggi yang melanda pesisir pantai selatan Daerah Istimewa Yogyakarta, Jumat (29/5/2020) mulai mereda. Akibat peristiwa itu, sedikitnya 200 bangunan nonpermanen yang berada di dalam garis sempadan pantai rusak.
”Saat ini mulai berangsur-angsur menurun. Tanda-tanda adanya ombak tinggi mulai dirasakan sejak 26 Mei 2020,” kata Kepala Stasiun Iklim dan Klimatologi Yogyakarta Reni Kraningtyas saat dihubungi, Jumat (29/5/2020).
Reni menjelaskan, penyebab ombak tinggi adalah perbedaan tekanan udara secara signifikan antara pusat tekanan udara tinggi di Samudra Hindia sebelah barat Australia dan pusat tekanan udara rendah di perairan sebelah barat Sumatera. Kondisi itu menyebabkan peningkatan kecepatan angin menjadi 39-61 kilometer per jam.
”Peningkatan kecepatan angin membuat terjadi peningkatan ketinggian gelombang. Tinggi gelombang itu diperkirakan 2,5 meter hingga 5 meter,” kata Reni.
Menurut laporan dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) DIY, terdapat sedikitnya 200 unit bangunan nonpermanen di pesisir selatan yang rusak akibat fenomena ombak tinggi tersebut. Lokasi ombak tinggi itu tersebar di Kabupaten Gunung Kidul, Bantul, dan Kulon Progo. Peristiwa itu terjadi sejak Selasa hingga Kamis ((26-28/5/2020).
Adapun bangunan nonpermanen yang rusak beragam, mulai dari warung makan, lapak jasa snorkeling, talut, kamar mandi umum, hingga gazebo. Gazebo merupakan bangunan nonpermanen yang paling banyak rusak berat.
”Bangunan (yang rusak) itu didirikan di zona merah. Didirikan di tempat yang dilarang. Bangunan itu juga bangunan-bangunan nonpermanen, seperti gazebo dan lapak-lapak,” kata Koordinator Search and Rescue (SAR) Perlindungan Masyarakat (Linmas) Wilayah II Gunung Kidul, Marjono.
Marjono mengatakan, jarak bangunan nonpermanen tersebut hanya sekitar 50 meter dari titik pasang tertinggi pantai. Ada pula yang jaraknya kurang dari angka tersebut. Padahal, bangunan hanya boleh didirikan di atas garis sempadan pantai atau 100 meter dari titik pasang tertinggi dari pantai.
Dihubungi terpisah, Kepala BPBD DIY Biwara Yuswantana mengatakan, aturan mengenai garis sempadan pantai itu dibuat demi mencegah ancaman ombak tinggi. Adapun aturan mengenai sempadan pantai terdapat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
”Kalau bicara regulasi, sempadan pantai itu kan 100 meter. Nah, kalau bicara regulasi, mestinya seperti itu. Salah satu kenapa ada regulasi seperti itu untuk menghindari kejadian bencana seperti ini,” kata Biwara.
Biwara menambahkan, nilai kerugian dari kerusakan-kerusakan itu belum diketahui. Masyarakat diimbau agar tidak beraktivitas di sekitar pantai terlebih dahulu dengan adanya peristiwa ini. Terlebih lagi, pantai yang dilanda ombak tinggi merupakan destinasi wisata.
Terkait hal itu, Marjono menyampaikan, aktivitas wisata sudah tidak berlangsung sejak Covid-19 merebak. Masyarakat yang beraktivitas hanya kalangan nelayan. Namun, semenjak adanya ombak tinggi, nelayan juga berhenti melaut untuk sementara waktu.
”Nelayan juga sudah mulai libur melaut dulu dengan ombak tinggi ini. Mulainya sejak 26 Mei 2020,” kata Marjono.