Pembukaan kembali sekolah masih menunggu rekomendasi Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Direncanakan, daerah berzona hijau selama dua bulan berturut-turut akan diprioritaskan untuk dibuka kembali.
Oleh
Mediana/Sonya Hellen Sinombor
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Hamid Muhammad mengatakan, kebijakan membuka kembali sekolah masih akan dikoordinasikan dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Salah satu syarat di dalamnya adalah pemerintah hanya akan memperbolehkan pembukaan kembali sekolah apabila kabupaten/kota masuk zona hijau Covid-19 selama dua bulan berturut-turut. Dengan kata lain, kabupaten/kota tersebut tidak ada satu pun kasus positif Covid-19.
Saat ini, jumlah kabupaten/kota yang masuk dalam zona hijau Covid-19 mencapai 108 daerah. Sementara kabupaten/kota yang masuk zona merah dan kuning Covid-19 dilarang membuat kebijakan membuka kembali sekolah. Sekolah-sekolah di daerah itu harus tetap menyelenggarakan pemelajaran jarak jauh (PJJ).
Penetapan zona dilakukan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19.
”Penetapan zona dilakukan oleh Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19,” kata Hamid saat bincang sore virtual dengan media, Kamis (28/5/2020), di Jakarta.
Selama hampir tiga bulan berlangsungnya PJJ, hasil evaluasi Kemdikbud menunjukkan ada implementasi metode daring, semidaring, dan luring dalam proses belajar-mengajar. Ada fasilitasi PJJ menggunakan siaran TVRI dan RRI yang bisa dimanfaatkan, tetapi ada pula daerah yang kesusahan mengakses internet dan siaran sehingga guru terpaksa harus mengunjungi siswa.
”Kepada sekolah-sekolah yang berada di zona merah dan kuning, kami akan tetap melanjutkan fasilitasi PJJ melalui siaran dari lembaga penyiaran publik, aplikasi Rumah Belajar, dan komunikasi kepada operator telekomunikasi,” katanya.
Tak ada pengunduran
Kemdikbud memutuskan semester gasal tahun pelajaran 2020/2021 tetap berjalan seperti biasa, yaitu mulai pertengahan Juli 2020. Ini berarti tidak akan ada pengunduran sampai ke Januari 2021.
Jika semester gasal tahun pelajaran 2020/2021 dimundurkan sampai Januari 2021, menurut Hamid, hal ini membawa konsekuensi tidak positif bagi siswa jenjang SMA/SMK dan SMP yang sudah lulus. Di sisi lain, siswa jenjang SD pun dalam waktu dekat masuk kelulusan. Sementara itu, penerimaan mahasiswa baru terus berjalan normal meski menggunakan metode daring.
”Harus dibedakan antara tahun pelajaran 2020/2021 tetap berjalan sesuai kalender akademik normal sekitar pertengahan Juli 2020 dengan kapan pemerintah mengeluarkan kebijakan membuka lagi sekolah,” ujarnya.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) Lovely B mengungkapkan, selama Kemdikbud tidak memundurkan tahun ajaran, berarti penerimaan peserta didik baru (PPDB) harus tetap dilaksanakan secara daring. ”Caranya enggak perlu secanggih lewat website, bisa lewat aplikasi Whatsapp saja dengan isian yang jelas, kemudian dibantu petugas menuliskan di formulir. Mekanisme PPDB sebenarnya lebih sederhana dibanding mekanisme penentuan zonasinya,” kata Lovely.
Terkait zonasi PPDB, karena masih kontroversi, sebaiknya penetapan zonasi diarahkan untuk pemerataan kualitas pendidikan sehingga semua anak di wilayah tersebut mendapatkan layanan pendidikan yang merata. ”Tantangannya adalah peningkatan kualitas. Tapi, memang harus dimulai agar ke depan bisa lebih baik,” katanya.
Tunda masuk sekolah
Watiek Ideo, penulis buku anak dan ibu rumah tangga asal Waru, Sidoarjo, Jawa Timur, membuat petisi ”Tunda Masuk Sekolah Selama Pandemi” di Change.org. Petisinya sudah memperoleh dukungan 53.515 tanda tangan. ”Saya hanya ingin pemerintah tidak kebobolan, jumlah kasus (Covid-19) semakin banyak,” ujarnya.
Wiwiek mempunyai seorang anak yang sudah lulus sekolah dasar. Anaknya pun telah diterima di salah satu sekolah menengah pertama. Sebagai orangtua, dia sangat cemas seandainya kelas tatap muka pertama anaknya pada pertengahan Juli 2020 benar-benar terjadi di sekolah. Alasannya, kasus positif Covid-19 di Jawa Timur terus merangkak naik. Masih banyak orang dewasa cuek dengan protokol kesehatan.
”Saya sudah berencana mengontak sekolah agar anaknya diberikan izin cuti sekolah, seandainya memang sekolah tujuan anak saya itu buka kelas tatap muka secara fisik,” ujarnya, menambahkan.
Tika, karyawan swasta sekaligus ibu dua anak yang masih duduk di tingkat PAUD dan sekolah dasar di Bekasi, Jawa Barat, juga mengaku waswas dan cemas jika sekolah dibuka kembali. Lalu, anak-anak harus masuk ke kelas.
Dia mengatakan sampai membeli segala perlengkapan perlindungan diri untuk kedua anaknya. Secara kebetulan, perlengkapan perlindungan diri kini marak dijual di laman pemasaran. Dia mengaku tidak paham apakah perlengkapan itu telah tersertifikasi dan teruji klinis.
”Aku termasuk orangtua yang tidak setuju sekolah dibuka kembali, lalu anak- anak masuk ke kelas. Tidak semua orangtua mampu beli perlengkapan perlindungan diri memadai dan teruji klinis buat anak mereka,” kata Tika.
Asisten Deputi Perlindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Ciput Eka Purwianti memandang, kunci yang harus dikedepankan di masa normal baru dunia pendidikan adalah protokol kesehatan. Misalnya, pemakaian masker terus diingatkan, penambahan wastafel dan sabun sebanyak-banyaknya di sekolah, dan pembatasan jarak.
Orangtua harus mengawal anak. Mereka perlu selalu menyadarkan anak pentingnya memakai masker, menjaga asupan nutrisi, dan jaga jarak saat bermain dengan sesama teman.
”Gaya hidup kelaziman baru di dunia pendidikan seperti itu harus dipatuhi oleh orang dewasa juga. Kalau orang dewasanya cuek terhadap protokol kesehatan, itu akan berpengaruh kepada anak. Seperti lingkaran kehidupan,” ujarnya.
Menurut dia, keputusan membuka kembali sekolah pada Juli 2020 ataupun tidak, dunia pendidikan tetap perlu pengaturan khusus. Infrastruktur sekolah yang mendukung protokol kesehatan harus benar-benar disiapkan. Isu ini bukan hanya urusan Kemdikbud, melainkan juga Kementerian Agama yang membawahi pesantren.
”Kami merekomendasikan agar durasi waktu belajar di sekolah dibatasi hanya empat jam, pengaturan kepadatan anak-anak masuk ke kelas, dan menghilangkan jam istirahat. Sekolah yang berada di wilayah kesulitan air bersih juga perlu jadi perhatian,” katanya.
Kementerian PPPA berencana mengundang Kemdikbud, Kementerian Agama, dan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 pekan depan. Hal ini bertujuan untuk membahas rekomendasi dan mendengarkan strategi mereka untuk kelaziman baru untuk dunia pendidikan.