Disebut di Dakwaan Wahyu, Status Gubernur Papua Barat Masih Saksi
›
Disebut di Dakwaan Wahyu,...
Iklan
Disebut di Dakwaan Wahyu, Status Gubernur Papua Barat Masih Saksi
KPK akan mengembangkan perkara dugaan suap terhadap bekas anggota KPU, Wahyu Setiawan, terkait proses pemilihan calon anggota KPU Papua Barat dengan memperhatikan fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan.
Oleh
PRAYOGI DWI SULISTYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Gubernur Papua Barat Dominggus Mandacan yang disebut terlibat kasus dugaan suap kepada bekas anggota Komisi Pemilihan Umum, Wahyu Setiawan, masih berstatus sebagai saksi. Demikian pula dengan Rosa Muhammad Thamrin Payapo, Sekretaris KU Papua Barat, yang juga diduga terlibat dalam dugaan suap kepada Wahyu terkait proses pemilihan anggota KPU Provinsi Papua Barat.
Nama Dominggus dan Rosa muncul dalam dakwaan Wahyu yang dibacakan jaksa penuntut umum di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Kamis (28/5/2020). Rosa diduga memberikan uang kepada Wahyu dengan maksud agar Wahyu membantu meloloskan putra daerah Papua dalam proses pemilihan anggota KPU setempat. Uang itu disebut dalam dakwaan berasal dari Dominggus.
Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri saat dikonfirmasi, Jumat (29/5/2020), mengatakan, saat ini status Rosa dan Dominggus masih sebagai saksi. ”JPU (jaksa penuntut umum) dipastikan akan membuktikan seluruh rangkaian perbuatan para terdakwa dalam surat dakwaan tersebut. Khusus Wahyu, ia didakwa dengan dakwaan kumulatif, yaitu didakwa dengan dugaan dua perbuatan penerimaan suap,” kata Ali melalui pesan singkat.
Selain didakwa menerima uang terkait proses seleksi anggota KPU Papua Barat, Wahyu juga didakwa menerima uang terkait proses pergantian antarwaktu anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Riezky Aprilia, ke politisi PDI-P, Harun Masiku. Suap diduga berasal dari Harun Masiku dan anggota PDI-P, Saeful Bahri.
Terkait dengan status Saeful, saat dakwaan, jaksa KPK menyebut Saeful berstatus sebagai kader PDI-P dan bekas staf sekretariat DPP PDI-P. Namun, dalam keterangan dari DPP PDI-P yang diterima Kompas, Jumat (29/5/2020), menyebutkan bahwa Saeful bukan kader, melainkan anggota biasa. Ia juga bukan staf sekretariat DPP PDI-P. Hal tersebut sudah disampaikan saat Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto memberi keterangan saat menjadi saksi terdakwa Saeful di pengadilan.
Terkait proses pembuktian di persidangan, Ali Fikri mengajak masyarakat untuk mengikuti persidangan Wahyu dan bekas anggota Badan Pengawas Pemilu, Agustiani Tio Fridelina. KPK akan menghadirkan saksi-saksi sesuai dengan kebutuhan jaksa dalam membuktikan perbuatan para terdakwa.
Ia menambahkan, KPK dapat mengembangkan perkara tersebut berdasarkan fakta hukum di persidangan yang terkonfirmasi kebenarannya. Penetapan tersangka tersebut juga diperkuat dengan pertimbangan putusan majelis hakim dan berdasarkan analisis mendalam dengan ditemukan dua bukti permulaan yang cukup.
Putusan Saeful rendah
Putusan yang dikeluarkan hakim terhadap Saeful dalam sidang putusan pada Kamis lalu, yaitu 1 tahun 8 bulan penjara dan denda Rp 150 juta subsider 4 bulan kurungan, dipandang sangat rendah. Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa KPK, yakni 2 tahun 6 bulan penjara ditambah denda sebesar Rp 150 juta subsider 6 bulan kurungan.
Peneliti Indonesia Corruption Watch, Kurnia Ramadhana, mengatakan, sejak awal ICW sudah memprediksi bahwa vonis dalam perkara korupsi yang melibatkan Wahyu dan Harun akan sangat rendah.
”Vonis rendah terhadap Saeful sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari kerja penuntutan KPK yang terlihat menganggap enteng perkara ini. Buktinya, terdakwa hanya dituntut 2 tahun 6 bulan penjara,” kata Kurnia.
Ia menuturkan, dari perkara ini publik bisa melihat secara jelas bahwa KPK telah melunak dengan pelaku korupsi. Publik dipaksa berdamai dengan situasi KPK saat ini. Putusan ini semakin menambah daftar panjang vonis ringan perkara korupsi. Catatan ICW sepanjang tahun 2019, rata-rata vonis perkara korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
Catatan ICW sepanjang tahun 2019, rata-rata vonis perkara korupsi hanya dua tahun tujuh bulan penjara.
Dalam persidangan, jaksa KPK memilih untuk pikir-pikir pada putusan tersebut, sedangkan Saeful menerima putusan dari hakim. Jaksa Takdir Suhan mengatakan, pihaknya memiliki waktu tujuh hari untuk masa pikir-pikir. ”Kami konsultasikan dulu dengan tim dan melaporkannya kepada pimpinan,” kata Takdir.