Siswa Internasional di Australia Terjepit Pilihan Sulit
›
Siswa Internasional di...
Iklan
Siswa Internasional di Australia Terjepit Pilihan Sulit
Mahasiswa dari sejumlah negara yang saat ini menempuh pendidikan di Australia mencoba bertahan. Untuk meringankan beban kehidupan sehari-hari, ada bantuan makanan untuk mereka.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Selama bertahun-tahun, Australia gencar membujuk ratusan ribu siswa dari sejumlah negara untuk mau datang belajar ke Australia dengan janji kualitas pendidikan terbaik dan petualangan yang tak terlupakan. Namun, wabah Covid-19 membuyarkan perjuangan dan impian para siswa internasional.
Banyak siswa internasional yang tidak bisa bekerja paruh waktu lagi dan terpaksa bergantung pada bantuan makanan untuk hidup sehari-hari. Berbeda dari negara lain, Pemerintah Australia memperbolehkan siswa internasional bekerja paruh waktu, dengan batasan waktu tertentu, untuk mendapatkan uang saku tambahan.
Setiap hari, hampir 100 siswa dari kawasan Asia, Amerika Latin, dan lain-lain berdiri mengantre di luar sebuah sekolah masak di Melbourne untuk menunggu bantuan makanan yang baru selesai dimasak. Kondisi ini memprihatinkan mengingat setiap siswa internasional setiap tahun membayar biaya kuliah hingga ribuan dollar AS.
Santiago Castillo (26), siswa dari Kolombia, kini harus sangat berhemat agar tetap bisa bertahan hidup. Sebelum wabah datang, Castillo bekerja di kafe, satu dari jutaan lapangan pekerjaan yang hilang gara-gara kebijakan karantina mencegah Covid-19.
Setelah membayar uang sewa kos-kosan atau asrama dan membayar utang kepada teman-teman, uang yang tersisa di tabungannya hanya 66 dollar AS. Sisa uang tabungan ini jelas tak cukup untuk hidup di Melbourne yang termasuk salah satu kota paling mahal di dunia itu.
Subsidi pemerintah yang relatif besar bagi pekerja yang diberhentikan tidak mencakup pekerja yang bukan penduduk, seperti siswa asing, meskipun selama ini siswa-siswa asing itu ikut membayar pajak daerah dan menyumbang pemasukan miliaran dollar AS ke dalam perekonomian Australia.
Untuk membantu siswa asing, banyak dapur umum yang bermunculan di segala penjuru Australia. ”Situasinya bikin stres,” kata Castillo.
Tunjangan makan dua kali sehari, dengan menu kari atau ayam dan sayuran, di kampus Institut Pendidikan Melbourne City menjadi penyelamat hidup Castillo. Nasib serupa juga dialami Marilia da Silva, siswa dari Brasil, yang harus bergantung pada bantuan makanan. Sebelum pandemi Covid-19, ia sedang menjalani studi Bahasa Inggris sambil bekerja paruh waktu selama 20 jam per minggu di kafe.
Hilang pekerjaan
Di Institut Pendidikan Melbourne City saja terdapat lebih dari 600 siswa asing dan, menurut Direktur Operasional Gary Coonar, 90 persen dari mereka kehilangan pekerjaan. Michelle Cassell dari bidang kesejahteraan siswa di kampus itu khawatir biasanya dalam situasi terjepit seperti itu, siswa memilih mendahulukan pemakaian uang untuk membayar sewa kos-kosan atau tempat tinggal ketimbang makan.
”Selama enam pekan terakhir, kelihatan siswa tak bisa beli makan dan dapur umum kampus juga selalu penuh,” kata Cassell.
Sejak 30 Maret lalu, kampus itu bekerja sama dengan badan amal setempat, Yayasan Charon, untuk membiayai dan menyediakan 900 makanan setiap pekan bagi siswa yang paling terdampak wabah Covid-19. Program itu kemungkinan akan diberikan hingga September mendatang atau sampai para siswa dapat kembali hidup mandiri.
Di seluruh Australia, jumlah siswa internasional mencapai lebih dari 500.000 orang. Mereka menyumbang sekitar 22 miliar dollar AS ke perekonomian Australia. Masa studi universitas-universitas—semester pertama—sudah separuh jalan ketika Perdana Menteri Australia Scott Morrison meminta para siswa internasional kembali ke negara mereka masing-masing. Pernyataan Morrison pada 3 April lalu itu memicu kontroversi.
”Waktu dia (Morrison) menyatakan itu, semua penerbangan sudah dihentikan. Orang tidak bisa keluar dari sini,” kata Coonar.
Laarni Byrne, siswa asal Filipina yang menjadi sukarelawan koki untuk para siswa internasional, memilih tetap tinggal di Australia dan membantu teman-temannya. Ibu satu anak itu tidak mau kembali ke negaranya. Sebab, untuk bisa sampai ke Australia saja, ia harus bekerja keras. ”Saya beruntung bisa belajar di sini. Susah payah berusaha ke sini,” ujarnya.
Ia berharap dengan pelonggaran atau pencabutan kebijakan karantina pada 1 Juni mendatang, restoran dan kafe akan mulai beroperasi kembali. Para siswa juga bercerita, mereka mulai dihubungi atasan-atasan mereka agar bersiap-siap bekerja lagi. Meski demikian, belum tentu semua siswa asing akan bisa bekerja di tempat yang sama lagi. ”Tidak masalah. Nanti cari yang lain lagi. Lebih baik produktif bekerja daripada hanya memikirkan dampak wabah Covid-19,” kata Byrne. (AFP)