Bersama Kanada dan Australia, Pemerintah AS dan Inggris menggalang kecaman dan kritik terhadap rencana pemberlakuan UU Keamanan Nasional di Hong Kong. AS dan Inggris siap membawa kasus Hong Kong ke sidang DK PBB.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
BEIJING, JUMAT — Tekanan internasional terhadap China meningkat pada Jumat (29/5/2020) setelah Beijing secara resmi menyetujui pemberlakuan Undang-Undang Keamanan Nasional di Hong Kong. Amerika Serikat dan Inggris dilaporkan siap membawa persoalan itu ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Bersama Kanada dan Australia, AS dan Inggris menggalang kecaman dan kritik terhadap undang-undang yang disetujui Parlemen China, Kamis (28/5/2020), itu. Pemberlakuan UU tersebut dikecam karena dapat digunakan menjadi dasar untuk menghukum siapa pun yang mendukung upaya pemisahan diri, subversi kekuasaan negara, terorisme, dan tindakan yang dirasa membahayakan keamanan nasional China. Dengan berlakunya UU itu juga, aparat dan lembaga keamanan China dapat beroperasi secara terbuka di Hong Kong.
Perkembangan terbaru menyebutkan AS dan Inggris bakal membawa persoalan Hong Kong itu ke Dewan Keamanan PBB. Informasi yang berhasil dihimpun dari sumber-sumber diplomatik menyebutkan kedua negara itu telah berkoordinasi secara informal. Pada awal pekan ini China diinformasikan telah menangkis upaya-upaya itu.
Dalam pernyataan bersama, AS, Inggris, Kanada, dan Australia menyatakan usulan UU Keamanan itu bertentangan dengan kewajiban internasional yang harus dilakukan China untuk menjamin kebebasan di Hong Kong. ”Undang-undang yang diusulkan itu akan merusak kerangka ’satu negara, dua sistem’,” tambah mereka, merujuk pada status khusus Hong Kong di China berdasarkan ketentuan penyerahan wilayah itu dari Inggris pada tahun 1997.
Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab juga mengatakan, Inggris akan melonggarkan peraturannya mengenai hak-hak para pemegang paspor Inggris di luar negara itu jika China melanjutkan proses pemberlakuan UU tersebut di Hong Kong. Menurut Raab, sekitar 300.000 orang di Hong Kong yang memegang paspor Inggris akan dapat tinggal di Inggris selama 12 bulan, bukan enam bulan seperti saat ini.
Inggris akan melonggarkan peraturannya mengenai hak-hak para pemegang paspor Inggris di luar negara itu jika China melanjutkan proses pemberlakuan undang-undang tersebut di Hong Kong.
Raab menambahkan, lama tinggal di Inggris bagi warga Hong Kong non-pemegang paspor Inggris juga akan diperpanjang. Mereka juga dijanjikan fasilitas-fasilitas khusus untuk mendapatkan status kewarganegaraan Inggris. Ketika Hong Kong dikembalikan ke China pada tahun 1997—setelah 150 tahun sebagai koloni Inggris—warga Hong Kong tidak diberikan hak untuk tinggal di Inggris.
Pemungutan suara parlemen China dilakukan hanya beberapa jam setelah Washington mencabut status khusus yang diberikan di Hong Kong. Dengan pencabutan status khusus itu, terbuka kemungkinan hak istimewa yang diberikan AS kepada Hong Kong di bidang perdagangan dan ekonomi dicabut.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo mengatakan, status itu telah ditarik karena China tidak lagi menghormati perjanjian penyerahan Hong Kong dengan Inggris, yang memungkinkan Hong Kong menyandang status dengan tingkat otonomi tinggi. Presiden AS Donald Trump sebelumnya mengumumkan akan mengadakan konferensi pers pada Jumat waktu Washington tentang China. Selain terkait topik Hong Kong, Trump juga membuat pernyataan tentang serangkaian masalah pandemi Covid-19, spionase, dan perdagangan.
China bergeming
China tampaknya bergeming dengan sikapnya. Menurut Beijing, isu Hong Kong adalah urusan internal dalam negeri. Beijing pun bersikukuh pada sikapnya dalam menghadapi kritik Barat mengenai Hong Kong dengan bersikeras bahwa ”pasukan asing” yang harus dikalahkan. ”Pasukan asing” ini dinilai memicu gerakan protes prodemokrasi dan menciptakan kekacauan di kota berpenduduk 7,5 juta orang itu.
Li Zhanshu, Ketua Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (NPC) China, mengatakan langkah itu sejalan dengan kepentingan mendasar semua orang China dan juga warga Hong Kong. Di bawah model ”satu negara, dua sistem” yang disepakati sebelum kembalinya Hong Kong dari Inggris ke China, Hong Kong seharusnya mendapat jaminan kebebasan dan otonomi sampai tahun 2047.
Konstitusi mini yang telah mengatur urusan Hong Kong sejak serah terima mewajibkan otoritas wilayah untuk memberlakukan UU Keamanan Nasional. Namun, protes besar menghalangi upaya pemberlakuan UU itu pada tahun 2003. Pemerintah Hong Kong kemudian menangguhkannya ketika mendapat protes dari gerakan prodemokrasi.
Media Pemerintah China pada Jumat mengatakan, UU Keamanan Nasional dirancang untuk melindungi perdamaian dan otonomi di Hong Kong. ”Bagi (penduduk Hong Kong), menjaga keamanan nasional adalah suatu keharusan, bukan pilihan,” kantor berita resmi Xinhua dalam komentarnya.
Sementara media Partai Komunis China, Harian Rakyat, mengatakan dalam tajuk rencananya bahwa UU itu hanya akan menargetkan ”minoritas kecil orang yang diduga melakukan kejahatan yang membahayakan keamanan nasional”.
Di Hong Kong, gerakan prodemokrasi menyuarakan sentimen yang berlawanan. ”Ini adalah akhir dari Hong Kong,” kata Claudia Mo, anggota parlemen prodemokrasi, kepada kantor berita AFP. ”Mereka memotong jiwa kita, mengambil nilai-nilai yang selalu kita anut, nilai-nilai seperti hak asasi manusia, demokrasi, dan supremasi hukum.” (AFP/AP/REUTERS)