Busyro Muqoddas: Ancaman Represi Kebebasan Berekspresi Gaya Orde Baru
Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Busyro Muqoddas mengingatkan, teror dan intimidasi yang berulang seolah mengulang cara-cara yang digunakan era Orde Baru untuk membungkam suara kritis masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS — Kalangan masyarakat sipil menilai ada keberulangan gaya Orde Baru dalam teror dan intimidasi yang terjadi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (29/5/2020). Mereka menuntut pemerintah mengusut tuntas oknum di balik teror dan intimidasi tersebut guna menjaga kebebasan berekspresi.
Dalam kronologi kejadian yang dirilis Fakultas Hukum UGM, Jumat (29/5/2020), disebutkan, dua nomor ponsel yang mengirimkan pesan teror kepada orangtua panitia acara diskusi mencatut sebagai anggota ormas Muhammadiyah di Klaten, Jawa Tengah. Kedua nomor tersebut mengirimkan pesan pada hari yang sama, tetapi waktunya berbeda.
Kedua nomor tersebut menuduh bahwa diskusi dengan tema ”Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan” adalah tindakan makar. Mereka mengancam, jika diskusi itu tidak dibatalkan, seluruh keluarga yang bersangkutan akan dibunuh.
Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia Busyro Muqoddas, Sabtu (30/5/2020), mengatakan, Pimpinan Daerah Muhammadiyah Klaten tidak terkait dan tidak bertanggung jawab atas teror di kampus tersebut. Mereka mengecam pencatutan itu karena dapat mencemarkan nama baik Muhammadiyah dan berpotensi mengadu domba masyarakat. Muhammadiyah juga mendesak agar kepolisian dapat mengusut tuntas kasus tersebut.
”Harus diusut tuntas siapa pelakunya. Ini menjadi komitmen penegakan hukum dan penerapan prinsip demokrasi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo,” tegas Busyro.
Busyro menambahkan, ada peringatan keras bagi negara dalam kasus pelanggaran kebebasan akademis di kampus ini. Menurut mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi itu, teror dan intimidasi ini memperkuat indikasi keberulangan cara-cara yang digunakan era Orde Baru untuk membungkam suara kritis masyarakat. Di masa Orde Baru, Busyro pernah merasakan perundungan secara sistemik oleh intel pada saat dia mengajar di UGM, Universitas Islam Indonesia (UII), dan IKIP Negeri Yogyakarta.
”Ini batu ujian bagi Presiden Joko Widodo. Kasus ini tidak bisa dilihat parsial karena di rezim ini sudah ada kasus pembungkaman suara jurnalis, peretasan ponsel aktivis, dan sebagainya. Ini merupakan bentuk represi,” kata Busyro.
Di internal Muhammadiyah muncul asumsi bahwa pencatutan itu berkaitan dengan suara kritis mereka terhadap kebijakan pemerintah. Muhammadiyah terus aktif mengkritisi kebijakan pemerintah, seperti RUU Cipta Kerja, UU Minerba, UU No 2/2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Covid-19, serta wacana normal baru.
Pencatutan nama Muhammadiyah dinilai sebagai upaya untuk mengadu domba masyarakat. Menurut Busyro, Muhammadiyah tidak mungkin melakukan represi di lingkungan kampus karena di bawah ormas Islam itu sendiri terdapat setidaknya 15.000 lembaga pendidikan.
Komitmen demokrasi dipertanyakan
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Beka Ulung Hapsara, menyampaikan, komitmen demokrasi negara dipertanyakan apabila teror, intimidasi, dan ancaman kekerasan masih terus terjadi. Kasus teror dan intimidasi yang terjadi belakangan ini sangat berpotensi mengancam kebebasan sipil warga negara.
Peristiwa-peristiwa itu di antaranya teror dan ancaman kepada jurnalis yang memberitakan agenda Presiden Jokowi di Bekasi, Jawa Barat, kriminalisasi kritik terhadap kebijakan negara, serta yang terbaru teror dan ancaman kekerasan kepada panitia dan narasumber diskusi hukum tata negara tentang pemecatan presiden di tengah pandemi di UGM.
Bentuk teror dan pembungkaman itu, menurut dia, berlawanan dengan prinsip-prinsip kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945 Pasal 28E Ayat 3. Dalam pasal tersebut disebutkan ”setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”.
”Khusus untuk peristiwa di Fakultas Hukum UGM, teror tersebut mencederai kebebasan akademik yang menjadi dasar bagi terbentuknya sistem pendidikan yang mencerdaskan kehidupan bangsa seperti amanat Pembukaan UUD 1945,” kata Beka Ulung.
Adapun dari sisi instrumen hak asasi manusia, Indonesia sejak tahun 2005 sudah meratifikasi Kovenan Internasional Hak Sipil Politik melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005. Pasal yang diratifikasi itu menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan memberi informasi. Dalam undang-undang itu juga disebutkan soal tanggung jawab negara dalam menghormati dan menjamin hak-hak yang ada dalam kovenan, termasuk upaya pemulihan jika ada hak-hak yang dilanggar.
Komnas HAM mendesak Kapolri untuk memerintahkan Kapolda DIY mengusut dan menangkap pelaku teror serta pengancaman terhadap panitia diskusi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Hal ini penting dilakukan supaya tindak pidana serius seperti itu tidak terulang.
”Komnas HAM mendesak Kapolri untuk memerintahkan Kapolda DIY mengusut dan menangkap pelaku teror serta pengancaman terhadap panitia diskusi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Hal ini penting dilakukan supaya tindak pidana serius seperti itu tidak terulang,” tegas Beka.
Melenceng dari visi reformasi
Koalisi aktivis reformasi 1998, yakni Nurani ’98, menyatakan peristiwa ancaman kebebasan beberapa waktu ini tidak bisa dianggap remeh. Intimidasi menjurus kekerasan digunakan sebagai alat membungkam perbedaan pendapat. Ironisnya, hal itu terjadi dalam semangat reformasi Mei.
Rentetan peristiwa itu telah melanggar jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi yang merupakan bagian penting dari visi reformasi. Ketika hak konstitusional warga diancam, demokrasi ikut terlukai. Nurani ’98 juga menyatakan bahwa perbedaan pendapat dalam negara demokrasi harus diungkapkan dengan cara beradab.
Oleh karena itu, kebebasan pandangan perlu dijamin dan didorong negara agar pikiran tetap hidup dan demokrasi tidak mati. Namun, jika terdapat pikiran atau pendapat yang mengandung fitnah, diskriminasi SARA, dan hoaks, harus diselesaikan dengan mekanisme hukum. Penyelesaian dengan teror hanya mendegradasi sistem hukum dan keadaban sosial.
”Karena itu, kami mendesak aparat penegak hukum segera melakukan penyelidikan, termasuk menemukan pelaku teror dan motifnya. Bukan hanya karena ada indikasi unsur tindak pidana, tetapi juga agar tidak ada saling tuding dan fitnah dalam peristiwa ini,” kata juru bicara Nurani ’98, Ray Rangkuti.
Lebih lanjut Nurani ’98 juga mendesak pemerintah agar memberi jaminan kepada masyarakat dalam berpendapat. Sebab, merawat kebebasan berpendapat adalah bagian pokok demokrasi. Para aktivis reformasi 1998 juga diminta agar sama-sama memastikan agar hal yang sama tidak boleh terjadi lagi. Terlebih bagi para aktivis 1998 yang berada dalam lingkaran elite pemerintah diminta agar terus memperjuangkan agar demokrasi tidak mundur.
Korban diminta melapor
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam keterangannya mengatakan, peneror panitia dan narasumber diskusi webinar di UGM bisa dilaporkan ke kepolisian. Jika sudah dilaporkan, polisi wajib mengusut tuntas siapa pelakunya.
Terkait dengan pelaksanaan diskusi webinar tersebut, Mahfud berpendapat bahwa hal itu sah-sah saja dan tidak perlu dilarang. Menurut dia, tidak ada isu makar dalam tema diskusi itu. Berdiskusi mengenai pemecatan presiden boleh dilakukan dalam kerangka kajian hukum tata negara. Sebab, menurut konstitusi, memang presiden dapat diberhentikan dengan alasan hukum limitatif.
Ada lima jenis pelanggaran dan satu keadaan tertentu yang bisa menjadi alasan pemakzulan presiden dan wakil presiden. Syarat itu di antaranya terlibat korupsi, penyuapan, pengkhianatan terhadap ideologi negara, melakukan kejahatan yang ancamannya lebih dari lima tahun, dan melakukan perbuatan tercela yang diatur undang-undang, serta jika terjadi keadaan presiden tidak memenuhi syarat lagi.
”Presiden tak bisa serta-merta bisa dimakzulkan hanya karena kebijakan terkait Covid-19. Saya katakan kepada aparat, kenapa takut makar, padahal itu ilmiah?” kata Mahfud.
Mahfud juga mengaku mengenal langsung salah satu narasumber yang sedianya hadir dalam diskusi webinar itu, yaitu Ni’matul Hudha. Ni’matul adalah Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang pernah menjadi asisten Mahfud saat ia mengajar di kampus tersebut.
Mahfud juga mengaku mengenal langsung salah satu narasumber yang sedianya hadir dalam diskusi webinar itu, yaitu Ni’matul Hudha. Ni’matul adalah Guru Besar Hukum Tata Negara di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang pernah menjadi asisten Mahfud saat ia mengajar di kampus tersebut.
Mahfud juga menjadi promotor Ni’matul saat dia menempuh studi doktoral (S-3) bidang hukum tata negara. Menurut Mahfud, Ni’matul Hudha bukanlah orang yang subversif. Dia juga dinilai tidak mungkin menggiring wacara pemakzulan secara inkonstitusional.
”Saya mengenal Profesor Ni’matul Hudha. Orangnya tidak aneh-aneh dan dia pasti berbicara berdasarkan konstitusi,” kata Mahfud.