Gunawan Maryanto, Diskusi di Ruang Sunyi
Wiji Thukul adalah beban bagi Gunawan Maryanto. Penggalan puisi berjudul ”Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa” tadi terngiang-ngiang di telinganya. Bahkan hampir-hampir menguasai seluruh hidupnya.
…kata-kata itu selalu menagih
padaku ia selalu berkata
kau masih hidup
aku memang masih utuh
dan kata-kata belum binasa
Wiji Thukul adalah beban bagi Gunawan Maryanto. Penggalan puisi berjudul ”Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa” tadi terngiang-ngiang di telinganya. Bahkan hampir-hampir menguasai seluruh hidupnya.
Ketika sutradara Yosef Anggi Noen memintanya memainkan karakter Wiji Thukul, Gunawan Maryanto tidak yakin mampu. Baginya, Thukul tak lain adalah senyawa antara pikiran, kata-kata, dan aktivisme.
Tentu saja sebagai seorang aktor kawakan, Cindhil, begitu Gunawan Maryanto disapa, tak mudah menyerah. Ia bersedia memerankan Wiji Thukul dalam film Istirahatlah Kata-kata (2016) asalkan tidak bertemu dengan keluarga Thukul. Permintaan yang rada aneh memang. Bagi seorang aktor, seharusnya menjadi kebahagiaan jika, misalnya, keluarga seorang tokoh yang akan diperankannya bersedia memberi masukan.
”Saking kebebanan, saya khawatir bertemu dengan istri, anak-anak, atau keluarga Wiji Thukul. Takut nanti aktingnya enggak kesampaian,” ujar Cindhil, Kamis (28/5/2020), dari Yogyakarta. Cindhil berpikir, ia harus menjaga kemurnian aktingnya dan mencoba mengambil jarak terhadap kemungkinan film Istirahatlah Kata-kata tak sesuai harapan publik. Ia berkutat mempelajari biografi Wiji Thukul lewat potongan-potongan video, tulisan-tulisan di media massa dan terutama lewat puisi.
”Puisi itu ibarat jendela kecil yang memberi keleluasaan untuk mengintip apa yang ada dalam sebuah ruangan,” kata Cindhil. Puisi yang dianggap paling mewakili karakter Widji Thukul, menurut Cindhil, ”Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa”.
Dalam puisi ini, Thukul benar-benar menampilkan dirinya secara utuh sebagai seorang seniman dan aktivis buruh yang melawan ketidakadilan di masa Orde Baru. Ia bahkan seolah selalu menjadi kabar buruk bagi penguasa meskipun bukan artis atau pembuat berita. Lewat puisi, kata Cindhil, ia bisa mengintip jiwa dalam seorang penyair.
Adapun jendela besarnya itu, tambahnya, dunia teater yang menjadi alat untuk membaca kenyataan. Di dunia teater, ia memperoleh ”kesegeraan”, di mana ruang dan waktu, aktor dan penonton bersatu untuk membangun ruang diskursif. ”Jadi teater adalah ruang pertemuan untuk berdiskusi, dan itulah kekuatan utama teater,” katanya.
Oleh sebab itu, ketika pandemi Covid-19 mencabik-cabik tatanan kehidupan normal menjadi ”abnormal” dan mungkin nanti normal baru, teater seperti kehilangan kekuatannya. Teater, kata Cindhil, sudah berabad-abad disusun dan dibentuk sebagai ruang pertemuan langsung dengan audiens. ”Jadi akan butuh waktu untuk membawanya ke ruang digital. Teater bukan video art atau pemutaran dokumentasi pertunjukan,” ujarnya.
Keaktoran
Bekal keaktoran yang kuat setelah digembleng habis-habisan sejak masa kanak-kanak lewat dunia teater (modern) dan kemudian menjadi salah satu aktor ternama di Teater Garasi membuat Cindhil dengan ”gagah” menatap karakter Wiji Thukul. Tubuhnya yang kerempeng, gestur, serta logatnya yang njawani menjadi modal lain untuk mendalami peran sebagai aktivis buruh berkelas ”kere”.
Padahal, kata Cindhil, peran Wiji Thukul menjadi prioritas kedua kerja samanya dengan Yosef Anggi Noen. Pada mulanya, mereka sedang menggarap proyek film berjudul The Science of Fictions (2018). ”Tetapi entah gimana, akhirnya malah film Thukul yang duluan,” ujar peraih Aktor Terbaik Usmar Ismail Award 2017 ini.
Teater dan keaktoran, kata Cindhil, bukan semata untuk belajar menghayati peran di atas panggung atau layar film. Teater dan keaktoran dibutuhkan lebih untuk membuka ruang diskusi dan merayakan bersama tentang pembacaan secara spesifik terhadap kenyataan. ”Karena teater dan seni pada umumnya harus memproduksi pengetahuan,” ucap lelaki kelahiran, Yogyakarta, 10 April 1976, ini.
Cindhil sudah mulai berakting semasa masih sangat muda setelah terpengaruh bapaknya, Sumarto, yang menjadi pegiat ketoprak, karawitan, campur sari, dan singiran kelas kampung. Nama kelompok seni kampung itu, kata Cindhil, Sekar Arum, bermarkas di Kampung Karangmalang, Caturtunggal, Depok, Sleman, DI Yogyakarta. ”Saya banyak ikut bapak kalau lagi menembangkan singiran, biasanya pada saat 1.000 hari kematian warga,” ujar Cindhil.
Sejak itu Cindhil kemudian bergabung bersama kelompok Lasamba (Laskar Seni Amal Baik), yang berada di bawah naungan remaja masjid kampungnya. ”Itu waktu saya masih SD,” katanya.
Ketika menginjak SMP, ia belajar akting di Teater Rambutan asuhan sutradara asal Belgia, Rudi Corenz. Di sini pertama kalinya ia menyerap langsung materi-materi akting berdasarkan teori-teori Barat. Tahun 1992, ketika bergabung dengan Sanggar Anom binaan Genthong HAS, ia dipinang Yudi Ahmad Tajudin, sutradara Teater Garasi, untuk ikut serta dalam produksi pertama mereka. ”Kami kemudian memainkan lakon Wah dari Putu Wijaya tahun 1995.”
Sejak itu, biografi Gunawan Maryanto di dunia teater seperti tak terbendung, bahkan oleh ”kewajiban” belajarnya di perguruan tinggi. Ia sempat mengenyam bangku kuliah D-3 Perpustakaan di Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Sastra Jawa di universitas yang sama. ”Tetapi semuanya tak selesai. Bukan karena teater, malas aja, sih, ha-ha-ha…,” katanya.
Kini tugas utama Cindhil menjadi Direktur Teknik Teater Garasi, yang kian jauh bergerak menjelajah dunia seni pertunjukan panggung. Ia, misalnya, telah membentuk Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) bersama Joned Suryatmoko (sutradara Teater Gardanalla) tahun 2010.
IDRF kemudian bergerak mengadakan berbagai festival di sejumlah kota, seperti Yogyakarta, Semarang, Bandung, Jakarta, dan Bandar Lampung, serta kota-kota dunia, seperti Kuala Lumpur, London, dan Ho Chi Minh City. ”Tahun ini harusnya di Phonm Penh, tapi ditunda karena pandemi,” ujar Cindhil.
Pertemuannya dengan puisi juga dimulai ketika ia masih sangat muda. Cindhil menjadi pemenang lomba menulis geguritan (tembang bahasa Jawa) di Fakultas Sastra UGM. Celakanya, tak ada yang percaya bahwa anak muda berusia 17 tahun itulah penulisnya. ”Bahkan ketika ambil hadiah diambilkan panitia karena pemenang lain pada sepuh semua, ha-ha…,” kata Cindhil.
Buku puisi pertamanya, Perasaan-perasaan yang Menyusun Sendiri Petualangannya, terbit tahun 2005 setelah dimuat di berbagai media massa. Setahun kemudian, buku puisinya Sejumlah Perkutut Buat Bapak (2010) memenangi Kusala Sastra Khatulistiwa.
Apa sesungguhnya yang membuat Anda tetap bertahan di dunia seni yang sunyi? ”Ada kebutuhan batin yang tak bisa dipenuhi dengan cara lain. Seni memberi sudut pandang berbeda dalam melihat kenyataan,” kata Cindhil.
Jadi, itulah juga sebabnya mengapa Cindhil sampai mati-matian bertahan, bahkan ”mengabaikan” hal-hal lain dalam kehidupan pribadinya: demi seni!
BIODATA
Gunawan Maryanto
- Lahir: Yogyakarta, 10 April 1976
- Pekerjaan: Direktur Teknik Teater Garasi
- Penghargaan: SIH Award 2004, Anugerah Budaya Departeman Kebudayaan dan Pariwisata untuk Media Cetak dan Elektronik Kategori Puisi 2007, FTI Award 2008, Kusala Sastra Khatulistiwa 2010, Sastra Pena Kencana 2008 dan 2009, Aktor Terbaik Usmar Ismail Award 2017