Jika Tak Didukung Pemerintah, Asosiasi Pesantren Indonesia Akan Perpanjang Masa Belajar di Rumah
›
Jika Tak Didukung Pemerintah, ...
Iklan
Jika Tak Didukung Pemerintah, Asosiasi Pesantren Indonesia Akan Perpanjang Masa Belajar di Rumah
Pondok pesantren berbasis komunitas dan cenderung komunal. Apabila sikap pemerintah mengabaikan hal itu dan mendorong normal baru tanpa kebijakan khusus, pesantren berpotensi menjadi kluster baru pandemi Covid-19.
Oleh
Mediana/Sonya Hellen Sinombor
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama atau Asosiasi Pesantren Indonesia beranggapan pelaksanaan normal baru di pesantren tidak dapat dilakukan jika pesantren tidak mendapatkan dukungan konkret dari pemerintah. Apabila tak ada dukungan, Asosiasi Pesantren Indonesia menyarankan pesantren-pesantren memperpanjang masa belajar di rumah.
Ketua Rabithah Ma’ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (RMI-PBNU) atau Asosiasi Pesantren Indonesia Abdul Ghofarozzin mengatakan, dukungan yang dibutuhkan dari pemerintah untuk pesantren adalah kebijakan konkret mencegah pesantren dari risiko penyebaran Covid-19; dukungan fasilitas kesehatan untuk pemenuhan pelaksanaan protokol kesehatan seperti tes cepat, hand sanitizer, akses pengobatan, dan tenaga kesehatan; serta dukungan sarana dan fasilitas pendidikan meliputi fasilitas pembelajaran daring bagi santri yang belum bisa kembali ke pesantren hingga biaya pendidikan bagi santri yang terdampak secara ekonomi.
Apabila tidak ada kebijakan nyata untuk tiga hal di atas, Asosiasi Pesantren Indonesia menyarankan pesantren memperpanjang masa belajar di rumah.
”Apabila tidak ada kebijakan nyata untuk tiga hal di atas, Asosiasi Pesantren Indonesia menyarankan pesantren memperpanjang masa belajar di rumah,” kata Abdul dalam pernyataan resmi, Jumat (29/5/2020), di Jakarta.
Menurut Abdul, pesantren berbasis komunitas dan cenderung komunal. Apabila sikap pemerintah mengabaikan hal itu dan mendorong normal baru tanpa kebijakan khusus, pesantren berpotensi menjadi kluster baru pandemi Covid-19.
Dia mengingatkan, jumlah dan pertumbuhan kasus terkonfirmasi positif Covid-19 masih tinggi. Persebaran kasus juga meluas. Sementara prasyarat untuk mencegah penularan Covid-19, terutama jaga jarak, semakin sulit diterapkan. Realitas keadaan itu seharusnya membuat pemerintah tetap waspada dan memastikan aturan, seperti pembatasan sosial berskala besar (PSBB), dapat berjalan efektif.
”Namun, pemerintah justru melonggarkan PSBB dan segera melaksanakan normal baru. Itu sangat berisiko, termasuk bagi dunia pendidikan,” katanya.
Pengamat kebijakan pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), Cecep Darmawan, berpendapat perlunya rancangan induk kebijakan untuk normal baru dunia pendidikan. Rancangan induk mencakup tiga elemen penting, yakni anggaran, infrastruktur, dan sumber daya manusia. Pemerintah pusat harus membicarakan rancangan induk yang pas sesuai kondisi setiap daerah.
Untuk mewujudkannya, kementerian bisa mengeluarkan norma, standar, prosedur, dan kriteria rancangan induk disertai sasaran. Lalu, pemerintah menurunkannya sesuai kondisi di setiap daerah.
”Anggaran pendapatan dan belanja negara ataupun daerah juga perlu disesuaikan untuk membantu dunia pendidikan menghadapi normal baru. Dunia pendidikan pasti membutuhkan dana besar untuk pulih dari pandemi. Kalau sekolah meminta pungutan kepada orangtua, saya rasa akan susah karena mereka juga terdampak secara ekonomi,” papar Cecep.
Sementara itu, Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) M Ramli Rahim berpendapat, tidak menggeser kelas tatap muka tahun ajaran 2020/2021 dari pertengahan Juli 2020 ke Januari 2021 akan membuat siswa dan orangtua menjadi stres. Jika kelas tatap muka dipaksakan, orangtua akan stres karena ada dua penyebab. Pertama, anak tidak pergi ke sekolah dan mengurangi risiko tertular, tetapi anak takut dihukum guru. Kedua, anak pergi ke sekolah, tetapi sepanjang hari orangtua harus memikirkan anaknya tertular Covid-19 atau tidak.
Kemudian, apabila kelas tatap muka tahun ajaran 2020/2021 tidak dijalankan, tetapi tahun ajaran tetap harus mulai, sekolah akan kembali menerapkan pembelajaran jarak jauh (PJJ). Kondisi ini akan membuat orangtua dan anak stres. Penyebabnya bermacam-macam, mulai dari keterbatasan akses internet, gawai, hingga guru terkendala penguasaan teknologi.
Penerapan normal baru di dunia pendidikan dilakukan dengan membatasi durasi anak belajar di kelas fisik. Siswa yang pergi ke sekolah pun akan diatur. Kendati tujuannya adalah mendukung protokol kesehatan, dia menilai kebijakan itu akan merugikan anak.
Perpanjangan PJJ
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim menambahkan, demi keselamatan, keamanan, dan kenyamanan murid, guru, serta tenaga pendidikan, pemerintah diminta tidak tergesa-gesa membuka kembali sekolah pada tahun ajaran baru, Juli 2020. Di tengah kondisi pandemi, sebaiknya Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memperpanjang masa PJJ.
”Bayangkan kalau kita memaksakan masuk di tahun ajaran baru ini, hal itu justru akan mengancam kesehatan, keselamatan semua warga sekolah. Hal ini harus menjadi prioritas negara. Jadi tahun ajaran baru kita mulai saja, tetapi perpanjang PJJ,” katanya.
Keselamatan siswa dan guru harus menjadi perhatian, terutama pada saat pergi dan pulang sekolah. Karena tidak semua orangtua siswa mampu, anak-anak kadang harus menggunakan angkutan umum untuk berangkat ke sekolah sehingga potensi penularan Covid-19 sangat besar.
Fahriza Tanjung yang juga Wakil Sekjen FSGI menambahkan, evaluasi besar-besaran PJJ harus dilakukan Kemendikbud, Kementerian Agama, dan pemerintah daerah. Selain evaluasi, validitas data penyebaran Covid-19 juga harus terus diperbaiki.
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan, Kemendikbud memutuskan tidak menggeser tahun ajaran baru. Namun, kebijakan ini tidak otomatis diartikan membuka sekolah pada Juli 2020.