Kala Rasa Bosan dan Lelah di Rumah Mulai Menghinggapi
›
Kala Rasa Bosan dan Lelah di...
Iklan
Kala Rasa Bosan dan Lelah di Rumah Mulai Menghinggapi
Ada aneka ragam respons yang kita lihat dan rasakan menghadapi pandemi Covid-19 dan kebijakan-kebijakan yang menyertainya. Apa yang harus dilakukan ketika rasa bosan mulai menyergap di saat risiko pandemi itu masih ada?
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
Rasa bosan dan lelah karena karantina, berdiam, dan tinggal di rumah jangan menegasikan keberadaan dan sifat penularan virus korona baru pembawa Covid-19. Patuhi protokol kesehatan demi menyelamatkan jiwa.
”Saya benar-benar berupaya keras di saat-saat yang tak pasti ini. Saya menemukan orang-orang menunjukkan warna asli mereka, bagaimana mereka merespons perintah untuk tetap tinggal di rumah dan kebijakan lain pemerintah untuk mengurangi risiko terkait pandemi Covid-19.”
Kutipan tersebut merupakan penggalan pengalaman salah satu warga Amerika Serikat pada rubrik konsultasi psikologi di Mercury News, media di California, AS. Warga itu menggunakan identitas bernama ”Trying to Do Right”.
Warga itu merasakan suasana batin yang bergejolak. Orang-orang yang dia pikir tertib ternyata ada yang sengaja mengabaikan perintah untuk tetap berada di rumah.
Mereka bepergian, bahkan ada yang melintasi batas negara, mengadakan pertemuan lebih dari 10 orang, menolak praktik kebersihan, hingga mengunggah hal-hal yang memolarisasi di media sosial.
”Trying to Do Right” sampai bertanya, apakah pilihan politik orang-orang itu dapat memengaruhi perilaku mereka dalam kehidupan sehari-hari. ”Gugatan” tentang pilihan politik itu boleh jadi berkaitan dengan pelaksanaan pemilihan presiden AS yang dijadwalkan pada 3 November 2020.
”Saya tidak punya niat mengendalikan pandangan dan tindakan orang-orang ini, tetapi bagaimana saya bisa mengatasinya dengan lebih baik? Rasanya seolah-olah saya kehilangan kepercayaan pada orang-orang yang pernah saya anggap teman dekat sekali pun,” katanya.
Aman atau mengerikan?
Ada aneka ragam respons yang kita lihat dan rasakan saat menghadapi pandemi Covid-19 dan semua kebijakan yang menyertainya. Mulai dari kebijakan untuk tetap berada di rumah, menjaga jarak sosial, menggunakan masker ketika berada di luar rumah, hingga rajin mencuci tangan menggunakan sabun.
Beberapa orang bisa saja melihat semua hal itu tampak mengerikan. Sementara lainnya merasa justru diyakinkan untuk merasa aman.
Sangat mudah untuk berpikir bahwa kita semua bereaksi terhadap peristiwa yang sama di dunia dan karenanya harus memiliki tanggapan yang sama. Namun, menurut Patricia Riddell, Professor of Applied Neuroscience, University of Reading, Inggris, bukan itu yang terjadi di otak kita.
Dalam paparannya di The Conversation, Riddell menyatakan, kita tidak memiliki kapasitas untuk menangkap semua informasi yang datang melalui indera kita—apa yang kita lihat, dengar, dan rasakan.
Sebagai gantinya, kita memperhatikan informasi yang paling relevan bagi kita dan menggunakannya untuk membuat interpretasi tentang apa yang terjadi di dunia. Dengan kata lain, kita menceritakan kepada diri kita sendiri sebuah cerita tentang apa yang terjadi dan lalu bereaksi terhadap diri kita.
Ini memberikan beberapa indikasi mengapa individu bereaksi sangat berbeda terhadap peristiwa yang sama. Kita masing-masing memiliki pengalaman yang berbeda dan lebih cenderung hadir di berbagai bagiannya.
”Bagian-bagian yang kita hadiri, ketika disatukan, akan membentuk cerita yang berbeda yang kemudian akan mendorong respons kita terhadap situasi-situasi tertentu,” kata Riddell.
Kita tengah membangun kepercayaan tentang dunia sekitar kita berdasarkan pengalaman masa lalu kita. Kita pun dapat mulai berpikir tentang perbedaan apa yang mungkin ada yang akan menyebabkan orang menginterpretasikan peristiwa saat-saat ini secara berbeda.
Pengalaman menghadapi Covid-19 adalah salah satunya. Tidak ada cerita yang sepenuhnya benar atau salah dan cara individu bereaksi terhadap situasi hanyalah hasil dari pengalaman mereka. Tetapi, mereka akan merasa sangat sulit untuk saling memahami.
Selalu ada, misalnya, orang-orang yang menilai bahwa Covid-19 tak lebih dari flu yang ”diglorifikasi”. Maka, tak perlu ada aneka batasan yang diperlukan untuk melawannya. Tetapi, ada juga yang ketika penyakit itu menyebar dan krisis semakin dalam, semakin banyak orang—bahkan mereka yang menganggap pandemi dan sains tentang cara penularannya dengan serius—tampak mulai bosan dengan pedoman jaga jarak sosial.
Dapat dipahami
Syon Bhanot, Assistant Professor of Economics pada Swarthmore College dalam opininya di The New York Times menilai kelelahan karena karantina, berdiam, dan tinggal di rumah sepenuhnya dapat dipahami. Tinggal di rumah membuat stres, membosankan dan, bagi banyak orang, sifatnya bisa menghancurkan secara finansial.
Di AS, misalnya, sejak 14 April lalu semakin banyak warga yang berkegiatan di luar rumah mereka. Hal itu merujuk pada penelitian para peneliti di University of Maryland yang melihat pergerakan orang melalui ponsel yang mereka gunakan.
Bhanot menyatakan, fenomena seperti itu dapat digambarkan menggunakan istilah ekonomi diminishing marginal utility atau tingkat kegunaan maupun kepuasan yang semakin turun dari waktu ke waktu. Di awal kebijakan untuk tetap berada di rumah, kita merasa senang.
Kita dapat menghabiskan waktu, bekerja dari rumah sekaligus melakukan aneka hobi, bercanda dengan sanak saudara. Namun, lama kelamaan kita bisa mulai bosan. Kita merasa lelah di dalam rumah dan ingin beraktivitas lagi seperti sedia kala di luar rumah.
Bhanot mengingatkan, kelelahan tidak boleh menegasikan keberadaan dan sifat penularan virus korona baru pembawa Covid-19. Aktivitas di luar rumah dengan tidak bertanggung jawab sangat mungkin secara tidak sengaja menyebarkan infeksi. Warga bisa tertular sekaligus menulari orang terdekat.
Jika mulai bosan, Bhanot mengajak kita untuk mempertimbangkan perlunya menawarkan dukungan kepada orang-orang yang mungkin harus lebih berjuang menghadapi kelelahan selama karantina. Hubungi dan ajak obrol mereka yang kehilangan pekerjaan atau hidup sendiri.
Ketika harus keluar rumah pun, di tengah jarak sosial yang mungkin semakin sulit, tetap tunjukkan solidaritas sosial dengan memakai masker.
Terkunci dan dibatasi aktivitasnya menjadi tantangan bagi jiwa kita, tetapi kita tidak dapat membiarkan kelelahan selama karantina justru mengantar kita ke pelukan Covid-19.