Narasi Komunikasi Pandemi
Pandemi telah mengajarkan kita, korona bukan semata-mata masalah kesehatan, melainkan juga jadi ujian kebersamaan umat manusia mengatasi banyak masalahnya. Berdamai dengan masalah bukan berarti kita mengabaikan masalah.
Komunikasi memiliki peran dan fungsi signifikan di musim pandemi Covid-19.
Saat semua orang berada dalam suasana ketidakpastian dan ketidaknyamanan, informasilah yang jadi tumpuan harapan. Pengelolaan komunikasi saat pandemi bukanlah sampingan.
Sumber daya komunikasi harus dioptimalkan karena jika salah penanganan, bisa menimbulkan kerusakan dahsyat seperti wabah korona. Protokol komunikasi yang dijalankan pemerintah sama pentingnya seperti protokol kesehatan. Butuh kedisiplinan, keakuratan data, ketepatan pendekatan, SDM, anggaran, dan dukungan khalayak.
Futuris Gerd Leonhard dalam presentasinya di NetApp Insight, Desember 2018 di Barcelona, mengatakan, future driven by data and defined by humanity. Kata-kata tersebut relevan saat ini. Di tengah pandemi, data sangatlah berlimpah dan menentukan, tetapi yang terpenting adalah mendefinisikan data itu dengan nilai-nilai kemanusiaan. Jika sebaliknya, maka data bisa menjadi senjata mematikan.
Meminjam istilah Thomas Friedman, kolumnis New York Times pemenang Pulitzer, kita tengah memasuki age of acceleration yang ditandai kecepatan perkembangan teknologi. Data dan jaringan komunikasi berbasis teknologi sangat menentukan perubahan yang terjadi.
Sumber daya komunikasi harus dioptimalkan karena jika salah penanganan, bisa menimbulkan kerusakan dahsyat seperti wabah korona.
Lihat saja hari-hari ini di sekitar kita. Informasi resmi yang reguler disuguhkan pemerintah lewat media center Covid-19 di gugus tugas pusat ataupun daerah harus berkejaran dengan informasi multiarah, multiplatform, dan multi-kepentingan. Data dan fakta berkelindan dengan hoaks, berebut tempat masuk ke ”loker” kognisi khalayak.
Indonesia sebagai salah satu negara terpapar Covid-19 mengalami ketergagapan komunikasi di awal-awal penanganan wabah ini. Dari perspektif komunikasi, terutama hubungannya dengan opini publik, sesungguhnya perbincangan tentang Covid-19 ini kalau kita petakan telah terbagi jadi tiga fase.
Pertama, Januari-Februari 2020 sebagai stage of brainstorming di mana publik mulai memalingkan perhatiannya pada perbincangan tentang korona setelah kasus ini meledak di Wuhan, Desember 2019. Kedua, stage of consolidation yang terjadi awal Maret 2020. Terutama setelah WHO menetapkan penyebaran virus korona sebagai pandemi (11/3) dan Pemerintah Indonesia juga mengategorikan ini sebagai bencana nasional (13/3).
Pemicu utama perbincangan adalah saat Presiden mengumumkan kasus positif nomor 1 dan 2. Konsolidasi opini terjadi dengan munculnya polarisasi persepsi dan sikap di masyarakat.
Ketiga, solid stage yang berlangsung pertengahan Maret hingga sekarang. Misalnya ditandai dengan emosi dan perbincangan yang bisa dipetakan dengan jelas. Big data yang dianalisis Drone Emprit, misalnya, mengukur emosi publik terkait virus korona di rentang 8-11 Maret 2020, dan trennya yang paling tinggi dari waktu ke waktu adalah masalah trust (kepercayaan), baru kemudian surprise, anticipation, fear, anger.
Artinya, masalah kepercayaan justru menjadi sangat menentukan. Publik banyak berharap pemerintah bisa menyuguhkan data secara transparan, terukur, dan berbasis indikator ilmiah.
Konsolidasi opini terjadi dengan munculnya polarisasi persepsi dan sikap di masyarakat.
Komunikasi publik
Di awal-awal musim wabah Covid-19, prinsip utama komunikasi, yakni membangun pemahaman bersama, kurang dijalankan secara baik oleh pemerintah. Merujuk pada data LP3ES selama kurun 1 Januari-5 April 2020, ditemukan adanya 37 pernyataan blunder pemerintah terkait Covid-19. Itu dilakukan mulai dari Presiden Jokowi hingga pejabat eselon I.
Pada fase prakrisis yang dimulai akhir Januari hingga awal Maret, narasi komunikasi publik pemerintah dianggap kurang serius, terkesan menyepelekan, bahkan menolak kemungkinan adanya kasus korona di Indonesia.
Narasi dalam komunikasi publik sungguh penting! Walter Fisher dalam bukunya, Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value, and Action (1987), mendefinisikan narasi sebagai tindakan simbolik kata-kata dan atau tindakan yang memiliki rangkaian serta makna bagi siapa pun yang menafsirinya.
Ada tiga hal mendasar dari sebuah narasi. Pertama, konsep narasi mencakup deskripsi verbal atau nonverbal dengan urutan kejadian yang diberi makna oleh komunikan. Apa yang disampaikan Presiden, Wapres, menteri, dan pejabat lain tentu akan diidentifikasi sebagai narasi resmi komunikasi publik pemerintah.
Kedua, rasionalitas naratif terhubung dengan prinsip kepaduan (coherence) dan kebenaran (fidelity). Sebuah narasi bisa memiliki power berbeda-beda. Perbedaannya ditentukan benang merah narasi (structural coherence), konsistensi atau satu narasi dengan narasi yang sama di waktu berbeda (material coherence), serta karakter orang yang menyampaikan (characterological coherence), misalnya apakah dia dipercayai atau tidak oleh khalayak.
Narasi yang berbeda-beda akan membingungkan dan melemahkan power narasi komunikasi publik pemerintah.
Kalau narasi yang disampaikan berbeda-beda antara satu pejabat dan pejabat lain, inkonsisten dari waktu ke waktu atau disampaikan oleh orang yang dianggap publik tak kredibel tentu akan merusak narasi komunikasi publik pemerintah.
Misalnya saja tentang implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB), makna polisemi antara mudik dan pulang kampung, inkonsistensi narasi pembatasan vs pelonggaran moda transportasi dan lain-lain. Narasi yang berbeda-beda akan membingungkan dan melemahkan power narasi komunikasi publik pemerintah.
Ketiga, menyangkut pertimbangan logis dan baik (logic and good reasons) dari narasi yang disuguhkan. Narasi komunikasi publik pemerintah harus berlandaskan data ilmiah dan pertimbangan argumen yang jelas.
Misalnya, narasi soal kemampuan pemerintah memenuhi target rapid test dan pemeriksaan swab, juga soal data sesungguhnya berapa yang positif korona di Indonesia berdasar parameter yang bisa dipercayai. Intinya, membangun narasi dalam komunikasi publik itu tak mudah.
Narasi komunikasi publik pemerintah harusnya dibuat bertahap. Tahap prabencana sebut saja rentang Januari-Februari 2020. Narasi difokuskan pada peringatan dini (early warning) dan edukasi A sampai Z tentang virus korona. Sambil pemerintah menyiapkan protokol komunikasi yang terintegrasi dengan protokol kesehatan sebelum wabah benar-benar meledak. Realitasnya, pemerintah baru menyosialisasikan protokol komunikasi pada pertengahan Maret.
Tahap berikutnya saat bencana berlangsung. Misalnya rentang April-Juni seharusnya narasi pemerintah berdisiplin dengan pesan kunci: pembatasan, pengendalian, kolaborasi, dukungan publik sebagai pengejawantahan kebersamaan mengatasi wabah, kehadiran negara misalnya lewat bantuan langsung, padat karya, serta paket kebijakan ekonomi bagi mereka yang terdampak langsung.
Narasi komunikasi publik pemerintah harusnya dibuat bertahap.
Kata kunci lainnya adalah larangan mudik karena ada tradisi mobilitas jutaan masyarakat di musim Lebaran. Narasi-narasi ini jangan didistorsi oleh pernyataan yang membuat kata kunci narasi tadi menjadi multitafsir atau tak lagi mendapatkan dukungan khalayak akibat inkonsistensi pernyataan para pejabat.
Secara praktis, komunikasi harus diarahkan secara serius pada komunikasi pentahelix. Komunikasi yang melibatkan kerja kolaboratif pemerintah, masyarakat atau komunitas, akademisi, pengusaha, dan media dalam mendukung penanganan dampak virus korona. Kata kunci kolaborasi sangat vital! Alasannya, pandemi ini sangat mustahil diselesaikan oleh pemerintah sendirian.
Normal baru
Narasi berikutnya adalah new normal (normal baru) sebagai kata kunci dalam penyiapan diri keluar dari situasi pandemi. Normal baru itu semacam paradigma berpikir untuk membuat kita ”nyaman” menghadapi sekaligus berdampingan dengan ketidakpastian.
Belum bisa dipastikan kapan wabah korona akan betul-betul teratasi. Pemerintah harus berkonsentrasi pada data dan kerja keras agar kurva Covid-19 tak lagi menanjak, tetapi menurun dan landai.
Paradigma normal baru juga bisa diresonansikan pemerintah dengan titik tekan pada dua pesan kunci: optimisme mengatasi masalah dan cara pandang baru berdampingan dengan masalah. Diperlukan kemampuan membangun konvergensi simbolik untuk menopang paradigma normal baru ini.
Terminologi konvergensi simbolik bisa kita rujuk dari tulisan John F Cragan, Understanding Communication Theory: the Communicative Forces for Human Actions (1998), yang menjelaskan konvergensi simbolik sebagai kekuatan komunikasi di balik penciptaan kesadaran umum. Hal ini bisa menyangkut cara pandang, ideologi, ataupun paradigma berpikir.
Diperlukan kemampuan membangun konvergensi simbolik untuk menopang paradigma normal baru ini.
Normal baru sebagai kesadaran umum bukan semata pesan, melainkan juga memandu praktik perilaku sosial. Ini akan mengubah banyak pendekatan yang tak lagi selalu bersifat simetris. Kita harus siap dengan situasi yang saling terhubung, saling ketergantungan satu sama lain.
Pandemi telah mengajarkan kita, korona bukan semata-mata masalah kesehatan, melainkan juga menjadi ujian kebersamaan umat manusia mengatasi banyak masalahnya. Berdamai dengan masalah bukan berarti kita mengabaikan atau lari dari masalah.
(Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute dan Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta)