Perempuan Korban Konflik Perlu Diberi Ruang untuk Memimpin
›
Perempuan Korban Konflik Perlu...
Iklan
Perempuan Korban Konflik Perlu Diberi Ruang untuk Memimpin
Perempuan perlu diberi ruang kepemimpinan agar mereka dapat menjadi agen perubahan dari krisis akibat konflik, demikian juga dengan ketidaksetaraan jender.
Oleh
erika kurnia
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perempuan Indonesia masih menjadi golongan masyarakat yang paling terancam berbagai konflik. Perempuan perlu diberi ruang kepemimpinan agar mereka dapat menjadi agen perubahan dari krisis akibat konflik, demikian juga dengan ketidaksetaraan jender.
Pendapat ini menguak dalam seminar web yang membahas buku berjudul Perempuan di Tanah Kemelut, Sabtu (30/5/2020). Buku terbitan Penerbit Buku Kompas (2019) itu membahas posisi perempuan dalam kebijakan pengelolaan sumber daya alam.
Pembicara seminar adalah Kasmoini dan Sartika Nur Shalati sebagai penulis buku dan peneliti Sajogyo Institute Fellow. Pembicara lain ialah pendiri Mama Aleta Fund, Aleta Baun, dan komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Dewi Kanti Setianingsih.
Isu utama yang dibahas pembicara adalah kondisi perempuan dalam menghadapi konflik terkait kepentingan korporasi dan pemerintah, yang mengabaikan sumber daya alam dan sosial. Hingga saat ini, masih banyak perempuan yang tidak berdaya keluar dari krisis yang dipicu konflik lingkungan.
Sartika merekam hal tersebut dalam penelitiannya selama 1,5 tahun di Kelurahan Sempaja Utara, Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Kelurahan itu menjadi salah satu wilayah terdampak konflik kepentingan dengan petambang batubara, yang menguasai hampir 80 persen lahan di Samarinda.
”Pemerintah yang memberi izin penambangan ini memang mengondisikan agar masyarakat terusir dari tempat yang dulunya dihuni manusia dan merusak ekosistem dengan lubang tambang beracun yang mereka buat. Yang diresahkan dari ini adalah nasib perempuan dan anak,” tutur Sartika.
Perempuan sering menjadi korban sosial manakala anak mereka menjadi korban lubang tambang. Selain kehilangan, Sartika menyebut, banyak oknum yang kemudian menyalahkan pengasuhan sang ibu.
Dari ribuan lubang tambang yang dihasilkan petambang di Kalimantan Timur, perempuan juga menjadi korban krisis air bersih. Tidak sedikit perempuan yang mengalami masalah kulit di organ vital karena air lubang tambang yang tercemar sebab tidak ada alternatif murah untuk mendapat air bersih.
Krisis serupa menghantui perempuan di Desa Bukit Linteung, Kecamatan Langkahan, Kabupaten Aceh Utara. Desa yang menjadi obyek penelitian Kasmoini selama 1 tahun 6 bulan itu disebut dikepung krisis air, pangan, dan bencana banjir.
Kasmoini mencontohkan sungai mati yang tercemar akibat aktivitas eksplorasi minyak dan tambang suatu perusahaan minyak dan gas bumi. Pencemaran membuat masyarakat kehilangan ikan sebagai sumber protein dan mendapati penyakit kulit akibat tercemar air sungai.
”Ditambah lagi banjir yang saya alami 11 kali selama 1 tahun 6 bulan saya meneliti. Perempuan banyak yang kemudian kehilangan mata pencarian,” katanya.
Kasmoini juga menyayangkan ketidaksetaraan jender yang dihadapi perempuan di desa tersebut karena larangan sosial pada malam hari dan kecenderungan mengutamakan pendapat laki-laki. Padahal, dahulu, perempuan di daerah itu dikatakan mampu menjadi agen komunikasi dan perubahan pada masa konflik politik RI dengan Gerakan Aceh Merdeka.
Ruang gerak
Di tengah krisis-krisis semacam itu, perempuan korban konflik perlu diberikan ruang untuk memulai dan memimpin pergerakan. Sartika berpendapat, ruang gerak tersebut dapat dibangun dengan berbagai pendekatan, seperti bercerita dan berkreasi untuk mengelaborasi pengetahuan dan kesadarannya.
”Kita bisa mencontoh Ibu Rahmah di Sempaja Utara. Setelah kehilangan anak karena tenggelam di lubang tambang, dia menemukan titik balik dan menjadi agen perubahan dengan sosialisasi ke sekolah-sekolah,” ujarnya.
Contoh lain, banyak ibu korban konflik tambang di sana yang kemudian membuat komunitas. Komunitas itu dimanfaatkan untuk berbagi hingga membangun ekonomi dengan memproduksi hasil turunan pertanian.
Aleta Baun pun menyepakati pentingnya mengumpulkan kekuatan perempuan untuk berkreativitas dan melakukan sesuatu untuk orang lain. Kemampuan berproduksi dan memimpin harus ditunjukkan agar bisa membuat perubahan.
”Kita perlu menunjukkan bahwa uang atau ekonomi itu bisa dihasilkan dari produktivitas, bukan hanya menjual. Kita perlu ajarkan ini ke pemerintah agar uang tidak masuk ke daerah dengan merusak alam, tapi usaha produktif dari apa yang masyarakat di sana bisa buat,” tuturnya.
Dewi Kanti berpendapat, perempuan tidak bisa dipisahkan dengan alam dan lingkungan di sekitarnya. Gerakan dan kepemimpinan perempuan muncul atas situasi geografis yang menghasilkan gaya perempuan dalam berstrategi dan berinovasi menghadapi tantangan. Meski demikian, ia berharap pemerintah mengurangi tantangan yang dihadapi perempuan.
”Pemerintah harus membuat kebijakan pembangunan yang lebih diarahkan kepada pemulihan peradaban dan kemanusiaan, bukan pada kepentingan kapitalis yang bermain dengan sumber daya alam dan lingkungan,” katanya.