Pandemi Covid-19 memukul banyak pelaku usaha skala besar dan kecil. Hanya mereka yang mampu beradaptasi dapat mengambil peluang meski situasinya sulit. Meski sempat tersungkur, mereka mulai menuai jerih payahnya.
Oleh
Erika Kurnia/Sekar Gandhawangi
·3 menit baca
Pandemi Covid-19 memukul banyak pelaku usaha skala besar dan kecil. Hanya mereka yang mampu beradaptasi dapat mengambil peluang meski situasinya sulit. Meski sempat tersungkur, mereka mulai menuai jerih payahnya.
Muhammad Ipayani (38) tidak lagi memproduksi gamis pesanan pedagang besar di Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat. Ia banting setir dengan memproduksi masker, barang yang dibutuhkan warga untuk menghindari penularan virus korona jenis baru penyebab pandemi Covid-19. ”Gamis enggak terjual. Saya mencari solusi agar ada penghasilan,” tutur Ipayani kepada Kompas, Kamis (28/5/2020), di Jakarta.
Masker produksinya berbahan sisa konfeksi yang dijual Rp 20.000 per lusin. Warna dan motif maskernya menjadi daya tarik daripada produksi pabrikan besar yang dijual pedagang kebanyakan. Setelah hampir dua bulan, ia mampu menjual 300 lusin masker kain. ”Keuntungannya tidak sampai setengah kalau dibandingkan dengan produksi baju gamis di musim Lebaran. Tetapi, saya sangat bersyukur ini bisa mencukupi kebutuhan dasar keluarga,” ucapnya.
Sementara itu, pasangan Radhyta Mahenda Mukhsin dan Prahendita Putri Prasetyani memanfaatkan peluang dalam kesempitan. Pemilik badan usaha CV Custompedia Group yang berbasis di Semarang, Jawa Tengah, itu sebelumnya menjalankan beragam usaha. Namun, semuanya runyam karena terdampak kebijakan akibat pandemi.
Memulai hal baru
Pada akhirnya mereka mencoba mulai menjual parsel secara daring. Awal April 2020, parsel dengan merek Parcelin Aja mulai dipromosikan melalui media sosial Instagram dan dijual di e-dagang, seperti Tokopedia dan Shopee. Berbekal pengalaman usaha dan pengetahuan pemasaran digital dari istri, Prahendita percaya diri memasarkan produk untuk kalangan kelas menengah atas. Pasar itu pun ditarget dengan kreativitas dan pelayanan premium.
Agar produknya banyak dikenal orang, mereka gencar melakukan iklan secara digital, mulai dari memasang iklan berbayar di media sosial hingga makai jasa influencer. Secara kilat, pengikut mereka di media sosial naik 20 kali hingga memiliki 23.000 pengikut. Hal ini mendorong kenaikan pesanan parsel yang ditangani delapan pekerja, belum termasuk vendor yang memproduksi makanan dan perlengkapan suvenir yang mereka pakai.
Kurang dari dua bulan, mereka menjual 1.700 lebih parsel ke banyak wilayah di Indonesia. Keuntungannya signifikan sehingga mereka bisa menyisihkan dana untuk donasi dan bonus hari raya kepada pekerja. ”Kami enggak membayangkan bakal meledak seperti ini, sampai kami butuh tambahan pegawai freelance dan supplier. Kami bekerja dari pagi sampai malam, 12 jam, dan sempat menolak pesanan menjelang Lebaran,” tutur pengusaha 26 tahun itu.
Melihat potensi ini, mereka berniat meneruskan usahanya meski di luar musim Lebaran. ”Kami akan meneruskan usaha ini dengan konsep yang berbeda-beda, mungkin untuk hadiah ulang tahun, akikah, acara kantor, atau untuk hadiah acara apa pun,” kata Radhyta. Tidak hanya dalam hal produksi, mereka juga perlu meningkatkan pelayanan dan kepercayaan masyarakat.
Apalagi, bisnis daring rentan penipuan dan plagiarisme, seperti yang pernah mereka alami saat usaha baru berjalan sebulan. ”Usaha harus menyesuaikan dengan perkembangan zaman karena ilmu bisnis itu bukan terbatas seperti 1 sampai 10, melainkan terus berkembang,” ujarnya. Ipayani, Radhyta, dan Prahendita sedang bergelut dengan situasi sulit. Setelah tersungkur, mereka bangkit dan memukul kembali keterpurukan usaha karena pandemi.