Muhadjir Effendy: Harus Ada Protokol yang Ketat dalam Pengurangan Pembatasan Sosial
›
Muhadjir Effendy: Harus Ada...
Iklan
Muhadjir Effendy: Harus Ada Protokol yang Ketat dalam Pengurangan Pembatasan Sosial
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendi menegaskan, pemerintah akan memberlakukan protokol kesehatan yang ketat dalam kebijakan pengurangan pembatasan sosial berskala besar.
Oleh
Deonisia Arlinta
·5 menit baca
Lebih dari dua bulan kebijakan pembatasan sosial berskala besar telah dijalankan. Sejumlah kebijakan yang mengarah pada pelonggaran pembatasan tersebut mulai dikeluarkan. Namun, data terkait hasil evaluasi penerapan pembatasan sosial berskala besar itu belum menunjukkan pandemi di Indonesia sudah dalam kondisi yang terkendali.
Berikut wawancara Kompas dengan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy terkait situasi pandemi Covid-19 atau penyakit yang disebabkan virus korona baru di Indonesia saat ini dan rencana pemerintah dalam pelaksanaan pembatasan sosial selanjutnya.
Bagaimana situasi penanganan Covid-19 saat ini di Indonesia dan evaluasi penerapan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB)?
Wabah Covid-19 ini sifatnya multidimensional. Kondisi ini membawa kita pada status yang tidak normal, yakni status kebencanaan dan kedaruratan. Untuk itu, penanganannya pun menjadi tidak normal. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, pemerintah akhirnya memilih pendekatan PSBB.
Pendekatan ini dipilih karena dinilai lebih realistis. Jika dibandingkan dengan pendekatan karantina wilayah, beban yang harus ditanggung cukup tinggi. Untuk satu wilayah, misalnya, membutuhkan sekitar setengah triliun rupiah per hari untuk menanggung seluruh kebutuhan dasar penduduk di wilayah itu.
Terkait dengan pembatasan sosial yang diberlakukan, kita memiliki sejumlah interval, mulai dari yang paling ketat hingga yang sangat ringan. Yang sangat ringan ini disebut minimum penerapan PSBB.
Dengan demikian, untuk daerah yang mengusulkan PSBB, mereka akan menambah beberapa pembatasan yang lebih dibandingkan yang diatur dalam undang-undang. Jadi, ketika PSBB di daerah dicabut, bukan berarti PSBB secara nasional dihentikan. PSBB nasional akan tetap berlaku sampai ada keputusan presiden baru yang menyatakan PSBB berakhir.
Istilah normal baru (new normal) sudah banyak diperbincangkan. Sejumlah daerah bahkan berencana melaksanakan ketentuan tersebut. Apakah Indonesia sudah siap pada kondisi itu?
Wabah ini sebenarnya belum bisa dipastikan kapan akan terkendali, bahkan kondisi mendekati terkendali baru bisa terjadi ketika vaksin ditemukan dan diproduksi massal. Sementara saat ini dampak ikutan yang dialami sudah semakin besar, baik dampak sosial kemasyarakat maupun dampak ekonomi.
Namun, menurut saya, Indonesia sekarang ini sebetulnya belum menuju ke arah pemulihan ekonomi, melainkan baru pada survivability ekonomi. Untuk bisa bertahan hidup ini, pemerintah akhirnya memberikan bantuan agar setidaknya rantai pasok dan napas ekonomi kita masih tetap terjamin dan berjalan.
Sementara soal new normal setelah masa pandemi ini, pemerintah kemudian mengangkat istilah masyarakat produktif dan aman dari Covid-19. Artinya, kita akan pulihkan kembali produktivitas semua sektor, tetapi juga jangan sampai membahayakan kehidupan yang lebih esensial, yaitu keselamatan bangsa.
Bagaimana rencana pelonggaran PSBB?
Nanti memang akan ada pengurangan pembatasan sosial, tetapi saya tidak membenarkan ada pelonggaran. Kalau pelonggaran itu, seolah-olah sudah bisa semaunya. Padahal, ketika pembatasan itu dikurangi, harus diimbangi dengan pengetatan protokol. Jadi, kalau ada pengurangan pembatasan, juga dimulai dari wilayah yang masuk zona hijau.
Pemerintah tentu tidak akan sembrono dan ceroboh untuk menoleransi wilayah-wilayah yang masih dalam keadaan belum aman. Seandainya ada wilayah yang dibuka (aktivitas produktifnya) pun, pasti ada protokol yang sangat ketat, bahkan dengan pengetatan dan penjagaan dari tenaga keamanan. Selain itu, penegakan protokol kesehatan juga harus dipastikan berjalan optimal.
Kita tahu ongkosnya akan terlalu mahal kalau sampai penegakan kepatuhan di lapangan tidak dijalankan. Saya sudah pastikan PSBB di Indonesia ini berlaku secara nasional walaupun sampai saat ini masih ada kabupaten/kota yang sebetulnya tidak ada kasus Covid-19.
Meluasnya penularan kasus Covid-19 di Indonesia apakah terjadi karena upaya pencegahan yang tidak optimal?
Jadi, ibarat banjir bandang, penularan wabah ini terjadi mulai dari hulunya, yakni di Jakarta. Kemudian banjir ini mengalir ke hilir sampai ke sejumlah wilayah di Indonesia. Ini terjadi karena kita tahu pergerakan masyarakat dari Jakarta ke seluruh titik di Indonesia cukup tinggi.
Ini juga sebenarnya yang menjadi konsekuensi kita memilih menerapkan PSBB daripada karantina wilayah atau lockdown. Bahkan kami sudah memetakan kalau seluruh Jawa akan menjadi bagian dari hiposentrum dari Jakarta. Kemudian di luar Jawa, seperti Sulawesi Selatan dan Kalimantan Selatan. Untuk Sulawesi Selatan itu belum lagi ditambah dengan kluster baru dari jemaah tablig di Gowa.
Oleh karena itu, kita sekarang mulai fokus menangani wilayah di luar DKI Jakarta, yang kita nilai mulai terkendali. Di Jawa Timur, misalnya, Gugus Tugas mulai mengerahkan 25 persen perhatiannya ke wilayah tersebut. Perhatian ini juga ke enam wilayah prioritas dengan kasus tertinggi. Namun, bukan berarti kita menganggap enteng penularan di wilayah lain.
Kapan pengurangan pembatasan sosial akan dijalankan?
Menurut masukan dari beberapa ahli soal pemodelan Covid-19 di Indonesia, akhir Mei ini sudah terjadi penurunan kurva epidemiologi. Namun, rasanya itu tidak mungkin. Jadi, menurut saya, kita harus terus melakukan peninjauan ulang. Terkait pengurangan pembatasan, Kemenko PMK berpatokan pada libur Idul Fitri yang digeser akhir tahun. Kami perkirakan pada akhir Desember.
Kita paham jika masyarakat mungkin sudah tidak betah dengan kondisi pembatasan sosial saat ini. Namun, kita harus berhati-hati karena kalau sampai keliru mengeluarkan kebijakan pengurangan pembatasan, risiko bisa lebih besar dengan menghasilkan penularan wabah gelombang berikutnya yang bisa jauh lebih tinggi.
Pengurangan pembatasan sosial ini tidak sederhana, apalagi pengurangan pembatasan di sektor pendidikan di sekolah. Jadi kita harus hati-hati. Kami masih buat skenario terkait pengurangann pembatasan sosial tersebut. Secara bertahap akan dilakukan di wilayah-wilayah yang masuk dalam zona hijau.
Jadi, kita harus siap-siap untuk menerima perubahan kebijakan. Jangan menyimpulkan pemerintah tidak konsisten dan tidak paham. Memang benar kalau kami tidak sepenuhnya paham kondisi ini karena ini adalah sesuatu yang baru. Namun, itu terus kita benahi.