Gubernur DKI Jakarta: Senin, 1 Juni, Evaluasi Penentuan PSBB DKI Jakarta
›
Gubernur DKI Jakarta: Senin, 1...
Iklan
Gubernur DKI Jakarta: Senin, 1 Juni, Evaluasi Penentuan PSBB DKI Jakarta
Pembatasan sosial berskala besar tahap ketiga di Jakarta akan berakhir pada 4 Juni 2020. Hasil evaluasi terhadap PSBB ini menjadi kunci penentuan penetapan masa transisi menuju situasi normal baru.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
Pembatasan sosial berskala besar atau PSBB tahap ketiga di DKI Jakarta kian mendekati akhir. Pemerintah Provinsi Jakarta pada hari Senin tanggal 1 Juni akan melakukan evaluasi mendalam keseluruhan PSBB yang dimulai sejak 10 April guna menentukan apakah Ibu Kota mulai bisa memasuki masa transisi menuju normal baru.
”Terlalu cepat bagi kita mengatakan Jakarta memasuki kehidupan normal baru begitu PSBB berakhir. Ini adalah masa transisi yang keputusan penerapannya sangat berdasar data dan fakta lapangan,” kata Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan saat wawancara virtual eksklusif dengan harian Kompas, di Jakarta, Jumat (29/5/2020).
Ia memaparkan, data terkini mengenai tingkat penularan di Jakarta adalah 1,03. Pekan lalu, angkanya 1,11. Artinya, hingga sekarang, satu orang bisa menginfeksi satu orang. Pemprov Jakarta menunggu sampai tingkat penularan di bawah 1 hingga mencapai nol karena artinya terus menekan sampai tidak ada lagi yang tertular. Setelah itu, baru Jakarta boleh dinyatakan siap beranjak menuju normal baru.
Secara umum, ia menganggap masyarakat Jakarta sudah menunjukkan sikap bertanggung jawab. Pada awal Maret, Pemprov Jakarta belum membuat aturan formal PSBB dan baru sebatas mengimbau warga menghentikan kegiatan di tempat-tempat umum. Per awal April, jumlah kasus positif Covid-19 cenderung mulai menurun.
”Hingga pertengahan Mei ketika PSBB tahap kedua, sebanyak 60 persen warga Jakarta sudah efektif di rumah. Kedisiplinan ini yang membantu jumlah kasus positif bisa terus turun,” katanya.
Hingga pertengahan Mei ketika PSBB tahap kedua, sebanyak 60 persen warga Jakarta sudah efektif di rumah. Kedisiplinan ini yang membantu jumlah kasus positif bisa terus turun.
Ia mengungkapkan, memang sempat ada kekhawatiran angka kasus naik karena ketika memasuki bulan Ramadhan terpantau pergerakan masyarakat meningkat pada sore dan malam hari. Dampaknya baru bisa terlihat satu bulan kemudian. Hal ini yang membuat evaluasi tanggal 1 Juni sangat penting karena menentukan keputusan Jakarta akan mengakhiri PSBB pada tanggal 4 Juni atau justru memperpanjang kebijakan itu.
Sejauh ini, perkembangannya cukup menggembirakan. Jumlah penumpang MRT 2.000 orang per hari atau 2 persen dari jumlah normal, jumlah penumpang Transjakarta yang pada masa reguler mencapai 1 juta orang per hari kini tinggal 12 persen, dan jumlah kendaraan pribadi yang beredar di jalan hanya 45 persen.
Di samping itu, deviasi data penurunan kasus juga kian mengecil karena jumlah tes yang diadakan meningkat drastis. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memiliki standar bahwa satu dari 1.000 penduduk harus dites setiap minggu. Jakarta selama 11 pekan terakhir telah mengadakan 140.000 tes untuk mendeteksi penularan Covid-19 terhadap 140.000 warga dari total sekitar 10 juta warga DKI. Artinya, jumlah tesnya sudah dua kali lipat dari standar WHO.
Kini, setiap hari, Pemprov DKI Jakarta melakukan 3.158 tes. Apabila ditambah dengan tes yang dilakukan oleh lembaga-lembaga swasta, jumlahnya mencapai 4.000 tes tiap hari.
Selain itu, total ada 27 laboratorium yang memproses sampel tes dan menentukan tingkat penularan riil di Jakarta. ”Kami memantau perkembangan harian sampai benar-benar ada data yang mendukung Jakarta bisa memasuki masa transisi,” kata Anies.
Perubahan tatanan sosial
Kepala Laboratorium Pendidikan Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Syaifudin menyampaikan, masa transisi pasti mengubah tatanan sosial, ekonomi, dan psikis masyarakat. Dulu, nongkrong, pengajian, dan arisan adalah wujud keakraban serta keharmonisan keluarga serta persahabatan. Salaman, tos, berpelukan, menepuk punggung, dan mencium pipi adalah berbagai gestur yang menyimbolkan level kedekatan seseorang dengan orang lain.
Sejak pandemi terjadi, simbol keakraban ini justru menjadi hal yang membahayakan. Ada paradoks di masyarakat. Di satu sisi, orang merindukan kontak fisik, tetapi sekaligus khawatir bisa tertular Covid-19 dan menulari orang lain. Rasa waswas menjadi emosi yang mendasari kehidupan di masa transisi.
Ada paradoks di masyarakat. Di satu sisi, orang merindukan kontak fisik, tetapi sekaligus khawatir bisa tertular Covid-19 dan menulari orang lain. Rasa waswas menjadi emosi yang mendasari kehidupan di masa transisi.
”Masyarakat akan mendefinisikan kembali arti dan bentuk keakraban. Di sini akan ada perubahan sikap terhadap teknologi. Dulu teknologi dianggap membuat orang menjadi antisosial karena sibuk dengan dunia sendiri. Sekarang, teknologi menjadi pusat interaksi,” ucap Syaifudin.
Cara berkomunikasi juga berubah dengan signifikan. Kelebihan interaksi fisik ialah memungkinkan adanya komunikasi nonverbal melalui gerak-gerik tubuh ataupun mimik muka. Komunikasi melalui gawai akan membuat masyarakat mengasah kemampuan verbal dan tulisan serta membangun rasa saling percaya meskipun terpisah jarak. Rasa percaya ini tidak hanya untuk hubungan yang bersifat pribadi, tetapi juga untuk relasi bisnis dan profesional.
Selain efek sosial, Syaifudin juga menekankan pentingnya ada aturan yang jelas mengenai pergerakan manusia. Koordinasi pemerintah pusat, daerah, dan swasta harus kuat. Penyampaian informasi yang jernih hingga tingkat rukun warga dan rukun tetangga mengenai arti masa transisi wajib dilakukan.
Ia mencontohkan, idealnya pola kerja di masa transisi dibagi waktunya. Apabila normalnya jam kerja adalah 09.00 hingga 17.00, waktu masuk kerja di satu perusahaan dibagi menjadi tiga. Di perusahaan yang sama ada kelompok yang mulai kerja pukul 09.00, ada kelompok yang masuk pukul 10.00, dan ada pula yang berkerja mulai pukul 11.00. Cara ini memungkinkan tidak terjadi penumpukan di angkutan umum karena warga tidak serentak berangkat kerja. Demikian pula dengan aturan jam istirahat dan jam pulang kerja.
Idealnya pola kerja di masa transisi dibagi waktunya. Apabila normalnya jam kerja adalah 09.00 hingga 17.00, waktu masuk kerja di satu perusahaan dibagi menjadi tiga, yaitu pukul 09.00, 10.00, dan 11.00.
Pengoperasian pasar tradisional juga harus diperketat dengan hanya membuka satu pintu masuk dan satu pintu keluar. Jumlah pembeli yang masuk dibatasi dan jumlah pedagang yang berjualan diatur melalui sistem piket harian. Pastinya hal ini akan menimbulkan gegar budaya. Maka, pendampingan dan penyuluhan harus dilakukan jauh sebelum masa transisi dimulai.
”Di sini, adaptasi dengan teknologi menjadi keniscayaan. Ada baiknya setiap pasar memiliki akun media sosial resmi yang rutin memberi tahu perkembangan harga setiap jenis barang dan jadwal piket lapak. Perlahan cara ini akan meringkaskan waktu berbelanja di pasar dan memperpendek waktu tawar-menawar atau jalan-jalan dari satu lapak ke lapak lain,” papar Syaifudin.
Sementara itu, ketika dihubungi beberapa waktu lalu, epidemiolog dari Universitas Respati Indonesia, Cicilia Windiyaningsih, mengatakan, pola hidup bersih dan sehat akan melekat pada masyarakat. Memakai masker dan mencuci tangan setiap habis menyentuh sesuatu serta membangun kesadaran tidak menyentuh wajah di area publik akan menjadi gaya hidup. (NELI TRIANA/SUTTA DHARMASAPUTRA/ADI PRINANTYO/TRI AGUNG KRISTANTO)