Di tengah kondisi ekonomi rapuh akibat pandemi, asimilasi narapidana berbuntut banyak persoalan baru. Kebijakan itu semakin membenamkan mereka pada situasi lebih sulit untuk mempertahankan kelangsungan ekonominya.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·3 menit baca
Sebulan setelah menghirup udara segar di luar penjara, mantan narapidana di Kabupaten Sarolangun, Jambi, mengulang kembali tindakan kriminalnya menggelapkan kendaraan bermotor. Nasibnya berakhir tewas sebelum dibawa aparat untuk kembali masuk sel.
Zainubi (40) keluar dari penjara 4 April lalu. Namanya masuk dalam program asimilasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang membebaskan 35.000 narapidana demi mengantisipasi dampak penyebaran virus korona baru.
Namun, baru sebulan dibebaskan, ia diduga mengulang kembali tindakan kriminal. Dalam sepekan terakhir, polisi memproses dua berkas laporan warga. Kasusnya terkait penggelapan kendaraan bermotor milik korbannya. Atas dasar kedua laporan itulah polisi bermaksud menangkap dan memeriksa Zainubi.
Jumat malam, lima anggota Kepolisian Sektor Pauh tiba di depan rumah Zainubi di Desa Karang Mendapo, Pauh, Sarolangun. Dari pintu depan tampak Zainubi berbaring di depan televisi. Petugas menanyakan siapa namanya. Namun, Zainubi mengaku bernama Bolon. Karena tidak percaya, polisi bermaksud memborgolnya. Ia melawan dan menyerang balik petugas dengan sebilah pisau.
Mendengar keramaian di muka rumah, sang ayah yang tengah membersihkan ikan di dapur pun keluar. Melihat ayahnya datang, Zainubi lari lewat dapur dan langsung dikejar petugas. Sempat terjadi gesekan di belakang rumah, ia lalu lari ke ruang depan. Selama proses itu sudah lima kali tembakan peringatan petugas meletus ke udara. Tembakan keenam pun mengenai punggungnya. Zainubi seketika jatuh dan akhirnya tewas.
Melihat situasi keamanan yang memanas, aparat langsung melajukan mobil ke markas Kepolisian Resor Sarolangun. ”Aparat mengkhawatirkan ada penyerangan balik masyarakat,” kata Kepala Polres Sarolangun Ajun Komisaris Besar Deni Heryanto.
Malam itu, suasana di desa mencekam. Jalan raya yang melintasi desa itu sempat diblokade warga. Suasana baru mereda Sabtu pagi. Jenazah Zainubi pun dimakamkan keluarga.
Kepala Kepolisian Daerah Jambi Inspektur Jenderal Firman Shantyabudi menyatakan prihatin atas insiden tersebut. Menurut dia, peristiwa itu tidak perlu terjadi apabila tersangka dan keluarganya kooperatif. ”Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi apabila upaya penegakan hukum bisa dilakukan dengan sikap kooperatif dari tersangka ataupun keluarganya. Ikuti saja prosesnya karena hak-hak tersangka juga kami jamin,” katanya. Ia juga meminta agar warga tidak terprovokasi.
Program asimilasi terhadap narapidana telah dikhawatirkan masyarakat sejak awal.
Terlepas dari insiden itu, program asimilasi terhadap narapidana telah dikhawatirkan masyarakat sejak awal. Kekhawatiran itu pun terbukti. Di Jambi, sepekan setelah asimilasi 200 napi, terjadi rangkaian kriminalitas berulang.
Kepala Lapas Jambi Yusran Saad mengatakan, tujuan asimilasi sebenarnya agar napi aman dari ancaman paparan virus korona baru. Adapun napi yang masuk kriteria dapat dipulangkan adalah napi yang telah menjalani dua pertiga masa hukuman. Mereka dipulangkan dengan syarat tidak keluar rumah selama masa pandemi.
Nyatanya, banyak napi malah berkeliaran di luar rumah. Polsek Jelutung di Kota Jambi, misalnya, mendapati Ardiansyah (31), warga Palmerah yang mendapatkan asimilasi dari Lapas Jambi, kembali melakukan empat kali pencurian dengan pemberatan hanya dalam sepekan. Ia akhirnya ditangkap aparat saat tengah beraksi.
Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Jambi Hafrida menilai keputusan pemerintah memberi asimilasi bagi napi di tengah pandemi tidak tepat. Selain berdampak meresahkan masyarakat, keputusan itu menimbulkan persoalan baru bagi para napi sendiri. ”Melepas napi di tengah kondisi ekonomi yang rapuh akibat pandemi malah membenamkan mereka pada situasi lebih sulit,” ujarnya. Dapat dipahami jika muncul kasus-kasus kriminal berulang oleh mantan napi.
Di tengah pandemi, lanjutnya, pemerintah semestinya melindungi napi di lapas, bukan malah melepaskan. Toh, kebutuhan logistik di dalam lapas untuk setahun ke depan sudah dianggarkan. Penghentian sementara interaksi dengan dunia luar juga efektif menjaga napi dari ancaman penularan Covid-19.
Pemerintah tak perlu melonggarkan syarat asimilasi. Yang lebih penting adalah mempersiapkan napi untuk berdaya. Dengan demikian, eks penghuni lapas tak menjadi beban baru di tengah masyarakat, apalagi jika sampai mengulang aksi kriminal.