Gelar ”Sidang Rakyat Tandingan”, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak UU Minerba Baru
›
Gelar ”Sidang Rakyat...
Iklan
Gelar ”Sidang Rakyat Tandingan”, Koalisi Masyarakat Sipil Tolak UU Minerba Baru
Koalisi aktivis lingkungan menolak pengesahan revisi atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara oleh Sidang Paripurna DPR. Koalisi pun menggelar sidang tandingan.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pengesahan Undang-Undang Mineral dan Batubara pada 12 Mei 2020 dalam Sidang Paripurna DPR terus mendapatkan reaksi penolakan dari sejumlah masyarakat terdampak tambang, ahli, dan koalisi masyarakat sipil. Di tengah keterbatasan akses dan pandemi, mereka menggelar Sidang Rakyat tandingan yang dilakukan secara daring selama empat hari berturut-turut dan selesai pada Senin (1/6/2020).
Dalam keputusan sidang yang disiarkan langsung melalui sejumlah kanal akun media sosial, panitia sidang mengklaim sidang ini telah disaksikan sekitar 10.000 pengguna media sosial yang sebagian di antaranya turut berinteraksi dalam komentar dan pendapat. Pada berbagai testimoni yang disampaikan langsung, peserta sidang menyatakan UU Mineral dan Batubara (Minerba)––yang hingga Senin sore belum diundangkan––membahayakan kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat.
Mereka pun berkesimpulan perundang-undangan yang dipaksakan tetap disahkan di saat pandemi tersebut syarat kepentingan praktis politik dan bisnis. Keputusan sidang pun menyatakan Sidang Paripurna DPR pada 12 Mei 2020 curang karena memanfaatkan situasi pandemi Covid-19. Lebih lanjut, mereka menyatakan UU Mineral dan Batubara yang baru tersebut merupakan produk gagal dan ilegal serta dinyatakan batal demi hukum atas nama kedaulatan rakyat dan demi keselamatan rakyat. Mereka pun menyatakan seluruh kontrak, perjanjian, dan izin yang diterbitkan berdasarkan UU ini batal demi hukum.
Diberitakan sebelumnya, Selasa (12/5/2020), DPR menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) untuk disahkan menjadi UU pada Sidang Paripurna DPR. Revisi ini ditolak para aktivis lingkungan karena dianggap lebih memihak pengusaha tambang. Salah satu pasal yang menuai polemik adalah Pasal 169A, yang mengatur perpanjangan kontrak karya (KK) atau perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B) tanpa pelelangan. Dengan aturan itu, pengusaha tambang dapat memperpanjang KK dan PKP2B tanpa perlu melakukan prosesi lelang terlebih dahulu.
Ketua Yayasan Auriga Nusantara Timer Manurung dalam konferensi pers terkait Sidang Rakyat ini bersama Busyro Muqoddas (Ketua PP Muhammadiyah dan mantan unsur pimpinan KPK) serta Maryati Abdullah (Koordinator Nasional Publish What You Pay), Jumat lalu, menyatakan koalisi masyarakat sipil mempertimbangkan secara serius untuk mengajukan uji materi saat UU Mineral dan Batubara diundangkan. Ia memaparkan sejumlah pasal dalam UU tersebut membawa masalah dari hulu ke hilir atau dari sejak mineral dan batubara ditambang hingga dimanfaatkan/didistribusikan.
Ia mulai dari pernyataan dalam UU bahwa setiap jengkal wilayah Indonesia merupakan wilayah pertambangan. ”Jadi, ketika ditemukan deposit tambang di tanah di bawah rumah Anda, hati-hatilah rumah Anda sudah jadi wilayah tambang,” katanya.
Timer yang mewakili koalisi pun menunjukkan UU Mineral dan Batubara tersebut mengabaikan daya dukung lingkungan dalam penetapan wilayah izin usaha pertambangan. Dari sisi partisipasi dan hak masyarakat untuk menyampaikan pendapat rentan dikriminalisasi karena ancaman pidana di dalamnya.
UU Minerba, lanjutnya, juga menjadi karpet merah bagi korporasi besar pertambangan karena penjaminan perpanjangan PKP2B. Saat ini terdapat delapan PKP2B yang telah dan akan berakhir masa konsesinya, tetapi masih meninggalkan lubang tambang. Menurut analisis spasial Auriga, masih terdapat sekitar 87.307,65 hektar lubang tambang belum direklamasi serta sejumlah luasan kawasan hutan yang belum mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH).
”Tidak ada pemulihan dan semangat deforestasi tinggi. Lubang tambang juga tinggi dan terkesan dibiarkan saja. Seolah tambah saja lubangnya karena Anda akan kami beri perpanjangan izin,” katanya.
Maryati Abdullah mengatakan, perpanjangan izin, perjanjian, maupun kontrak karya tidak bisa serta-merta dilakukan pemerintah meski UU ini telah diundangkan. Ia menyebutkan terdapat syarat evaluasi yang tata caranya ditetapkan dalam peraturan pemerintah. ”Belum lagi kalau pasal tersebut nanti di-JR (judicial review/uji materi),” ujarnya.
Namun, ia melanjutkan, UU Mineral dan Batubara yang dikebut pengesahannya oleh DPR di situasi pandemi ini menunjukkan ”ketergesa-gesaan” atas para pemegang PKP2B yang akan habis masa konsesinya. ”Itu sinyal bagaimana hubungan bisnis dan politik terjadi dan ada conflict of interest (konflik kepentingan),” katanya.
Menurut Busyro Muqoddas, UU Mineral dan Batubara merupakan contoh dari DPR sebagai etalase demokrasi menjadi justifikasi pemerintah serta tirani kapitalis minoritas. Artinya, minoritas berbuat tirani terhadap mayoritas, yaitu masyarakat.
Pengesahan tersebut juga menunjukkan ketiadaan kepekaan nurani wakil rakyat. Ia pun menunjukkan contoh lain pembahasan perundang-undangan cipta kerja atau omnibus law yang terus berlanjut meski sejumlah akademisi, masyarakat sipil, dan masyarakat meminta pembahasan ditunda atau dihentikan di masa pandemi.
Hal ini, kata Busyro, berpotensi menimbulkan konflik horizontal di masyarakat. ”Jadi, kalau terjadi konflik horizontal di masyarakat berulang-ulang, itu adalah konflik horizontal yang disebabkan kerusuhan nasional (national chaotic) yang diakibatkan radikalisme politik nasional. Pelakunya istana dan DPR,” ujarnya.
Dalam penutupan Sidang Rakyat, Jumat kemarin, mantan anggota KPK yang juga Direktur Eksekutif Kemitraan, Laode M Syarif, menyatakan Presiden dan DPR tidak memihak masyarakat Indonesia dalam struktur UU Minerba baru. Ia mengatakan sejumlah permasalahan pertambangan antara lain kerusakan lingkungan, keadilan pusat dan daerah lokasi sumber daya alam, kepatuhan pajak, nasib daerah pascatambang, dan konflik di masyarakat.
Menurut dia, masa depan daerah yang dikeruk sumber daya mineral dan batubaranya sangat penting dipikirkan. Selain beberapa contoh daerah tambang di Indonesia yang kini menjadi sunyi, ia mengatakan nasib masyarakat akibat tambang yang merusak lahan pertanian, tambak, dan laut pun perlu dipikirkan.