Kerusuhan Rasial di AS Masuki Malam Keenam, Unjuk Rasa-Bentrokan Meluas
Warga kulit hitam, berbaur dengan warga kulit putih dan warga lain, turun ke jalan-jalan di sejumlah wilayah di AS, Minggu (31/5/2020). Mereka menuntut hukuman yang setimpal bagi polisi yang membunuh George Floyd.
WASHINGTON, SENIN — Kerusuhan rasial di Amerika Serikat memasuki malam keenam, Minggu (31/5/2020) waktu setempat atau Senin siang WIB, dan belum ada tanda-tanda aparat keamanan mampu mengendalikan situasi. Pemberlakuan jam malam di hampir 40 kota tak dipedulikan massa pengunjuk rasa. Di beberapa tempat, mereka bentrok dengan aparat kepolisian.
Kerusuhan pada hari keenam itu diwarnai penjarahan di California Selatan. Di Minneapolis, kota lokasi penganiayaan polisi terhadap warga kulit hitam, George Floyd, yang kemudian tewas pada Senin (25/5/2020), sebuah truk tangki melaju berupaya menabrak para pengunjuk rasa. Sementara di Boston and Washington DC, massa bentrok dengan aparat kepolisian.
Sejak kerusuhan meletus, ribuan personel pasukan Garda Nasional dikerahkan di 15 negara bagian dan Washington DC. Otoritas AS memberlakukan jam malam di sejumlah kota, pemberlakuan jam malam paling luas di AS sejak tahun 1968 menyusul terbunuhnya Martin Luther King Jr, yang saat itu terjadi pada musim kampanye pemilu presiden dan di tengah memuncaknya unjuk rasa antiperang.
Baca juga : Para Demonstran Dekati Gedung Putih, Presiden Trump Diungsikan ke Bungker
Namun, unjuk rasa dan kerusuhan semakin meluas. Bahkan, aksi solidaritas terhadap insiden tewasnya Floyd meluas ke sejumlah negara, seperti Kanada, Inggris, Belanda, Australia, dan Selandia Baru.
Floyd (46) tewas pada Senin pekan lalu setelah, seperti diperlihatkan dalam video yang beredar luas, lehernya ditekan dengan dengkul selama hampir sembilan menit oleh polisi berkulit putih di Minneapolis.
Seruan reformasi polisi
Warga kulit hitam, berbaur dengan warga kulit putih dan warga lainnya, turun ke jalan-jalan di sejumlah wilayah di Amerika Serikat sepanjang hari Minggu (31/5/2020). Mereka menuntut hukuman yang setimpal bagi para petugas kepolisian yang membunuh Floyd. Mereka juga menyerukan reformasi di kepolisian untuk mengakhiri tindakan-tindakan brutal polisi, khususnya terhadap warga kulit berwarna.
”Kami belum selesai,” kata Darnella Wade, inisiator kampanye Black Lives Matter di St Paul, kota yang bersebelahan dengan Minneapolis, Minnesota. Ia mengatakan, massa hanya menginginkan keempatnya ditangkap dan dihukum dengan adil.
Baca juga : Kericuhan Rasial Kembali Terjadi di AS
Pemerintah dan kepolisian Minnesota telah memberhentikan empat petugas kepolisian yang dituduh membunuh Floyd. Namun, sejauh ini hanya Derek Chauvin yang diajukan ke pengadilan. Tiga polisi lainnya, yaitu Tou Thao, J Alexander Kueng, dan Thomas K Lane, masih bebas dan belum dituntut oleh kejaksaan setempat.
Mantan Wali Kota Minnesota RT Rybak dan Senator Negara Bagian Minneapolis Jeff Hayden berulang kali mengkritik budaya melindungi para perwira polisi yang brutal yang dilakukan serikat kepolisian kota. Budaya buruk ini tidak pernah hilang dan terus mengakar semakin dalam di dalam lembaga kepolisian.
Baca juga : Unjuk Rasa Antirasisme di AS Refleksi Kemunduran Reformasi Kepolisian
Hal itu juga yang membuat kekhawatiran banyak warga kulit hitam, terutama para orangtua. ”Kami memiliki putra, saudara, dan teman berkulit hitam. Kami tidak ingin mereka mati. Kami lelah dengan hal ini, kami lelah dengan penindasan,” kata Muna Abdi (31). ”Aku ingin memastikan dia tetap hidup,” kata Abdi, memikirkan putranya yang masih berusia tiga tahun.
Seorang demonstran di Gedung Putih, Gabrielle Labrosse-Ellis (30), dari Maryland, membawa sebuah poster yang bertuliskan: ”Manusiakan kehidupan warga kulit hitam.” Dia berharap brutalitas Chauvin dan kawan-kawan terhadap Floyd adalah yang terakhir kalinya di negara yang mengagung-agungkan hak asasi manusia itu.
Protes atas brutalitas polisi terhadap warga kulit hitam dan kulit berwarna telah menyebar luas hampir di seantero Amerika Serikat. Departemen Pertahanan menurunkan ribuan anggota pasukan Garda Nasional untuk membantu kepolisian memadamkan protes yang berujung pada kerusuhan dan penjarahan.
Departemen Pertahanan bersiap menerjunkan tambahan anggota pasukan Garda Nasional ke lapangan jika kerusuhan tidak berkurang.
Ribuan orang ditangkap
Lebih dari 4.000 orang ditangkap dalam unjuk rasa di berbagai tempat itu. Sejumlah artis, seniman, foto model, hingga atlet ternama AS turut di dalam aksi ini, baik secara langsung maupun secara digital. Mereka juga menyiapkan dana hingga ratusan ribu dollar AS sebagai dana jaminan bagi para pengunjuk rasa yang ditahan oleh aparat.
Para demonstran menyuarakan kembali seruan untuk mengakhiri kekerasan polisi. Sebagian dari mereka bergabung dengan polisi untuk memohon diakhirinya penjarahan, aksi-aksi pembakaran, perusakan, dan pencurian.
Jam malam diberlakukan di kota-kota besar, termasuk Atlanta, Chicago, Denver, Los Angeles, San Francisco, dan Seattle. Sekitar 5.000 tentara dan penerbang dari satuan Garda Nasional diaktifkan di 15 negara bagian dan Washington DC.
Solidaritas di negara lain
Gerakan masif untuk menuntut reformasi kepolisian di Amerika Serikat atas brutalitas polisi tidak hanya bergaung di negara itu, tetapi sudah menjalar ke negara lain. Di London, ribuan pengunjuk rasa damai berkumpul di sekitar kawasan Trafalgar Square untuk sama-sama mengecam brutalitas polisi terhadap Floyd. Dengan membawa poster dengan beragam tuntutan, mereka menggelar demonstrasi damai di tengah kota London.
Di Jerman, ratusan warga mendekat ke gedung Kedutaan Besar AS di Berlin. Di tengah kawalan ketat petugas kepolisian, mereka membawa sejumlah poster yang berisi tuntutan agar Pemerintah AS mereformasi penghapusan budaya brutalitas polisi terhadap warga kulit hitam dan kulit berwarna di negara tersebut.
Sementara itu, Presiden Amerika Serikat Donald Trump menuding kerusuhan dan penjarahan di beberapa kota di AS mendapatkan dukungan dari kelompok kiri. Tudingan itu juga disuarakan oleh Jaksa Agung AS Bill Barr. ”Kekerasan ini dilakukan oleh Antifa dan kelompok-kelompok serupa lain yang saling berhubungan. Ini adalah terorisme domestik dan akan diperlakukan sebagaimana mestinya,” kata Barr.
Otoritas AS berupaya menentukan, apakah kelompok ekstremis serta agen asing telah menyusup ke dalam aksi massa dan dengan sengaja memicu aksi damai menjadi kerusuhan yang berujung pada penjarahan. Ada perbedaan pendapat di antara para ahli dan para penegak hukum federal soal ini.
Para pejabat penegak hukum federal bersikeras kelompok-kelompok sayap kiri sedang memicu kekerasan. Adapun dalam pandangan para ahli, mereka juga melaporkan sejumlah bukti bahwa kelompok sayap kanan juga ikut memanasi kerusuhan.
Selama beberapa hari terakhir, penyelidik federal telah melihat sejumlah lonjakan akun media sosial yang semula hanya memiliki pengikut kurang dari 200 orang yang dibuat bulan lalu. Akun-akun tersebut mengunggah berbagai pesan disinformasi dalam bentuk grafik, teks, dan gambar yang berisikan materi tentang kebrutalan polisi hingga pandemi Covid-19 guna mengobarkan ketegangan dan memprovokasi massa di berbagai platform media sosial.
Barr menyatakan, Biro Investigasi Federal (FBI) akan menggunakan satuan tugas terorisme di setiap wilayah untuk mengidentifikasi kelompok yang dimaksud.
JJ MacNab, analis pada Program Esktremisme di Universitas George Washington, mengatakan bahwa dirinya memantau obrolan tentang protes di kalangan ekstremis anti-pemerintah di platform media sosial. Ia mengidentifikasi percakapan yang dilakukan oleh pengikut kelompok ekstrem kanan, Boogaloo Bois. Kelompok ini dalam beberapa aksinya sering kali membawa persenjataan dan perlengkapan taktis.
MacNab juga mengidentifikasi adanya kelompok milisi Three Percenters yang ikut memanaskan suasana. ”Mereka ingin mengooptasi gerakan dan memulai perang mereka. Mereka melihat diri mereka berada di pihak pengunjuk rasa dan bahwa pengunjuk rasa itu sendiri berguna dalam menyebabkan anarki,” kata MacNab.
James Ludes, Direktur Pell Center untuk Hubungan Internasional dan Kebijakan Publik Universitas Salve Regina, Rhode Island, mengingatkan bahwa kondisi yang terjadi di AS sekarang ini adalah peluang sempurna bagi agen-agen negara lain untuk menggambarkan negara ini secara negatif. ”Tanpa membuat isu baru, Anda bisa mengeksploitasi isu yang sudah ada,” katanya. (AP/AFP/REUTERS)