OJK bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan masih perlu melihat potensi peningkatan permintaan kredit. Permintaan kredit pascapandemi yang juga akan menggerus likuditas bank.
Oleh
Dimas Waraditya Nugraha
·5 menit baca
Pelaku industri perbankan meyakini keputusan Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan untuk kembali memberikan kebijakan relaksasi mampu melonggarkan likuiditas sehingga dapat mendukung percepatan pemulihan ekonomi. Saat ini, regulator diharapkan sudah mulai mempertimbangkan stimulus lanjutan guna menggenjot permintaan kredit pascapandemi.
Deputi Komisioner Humas dan Logistik Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Anto Prabowo dalam pernyataannya resminya mengatakan, sampai posisi 18 Mei 2020, OJK mencatat 95 bank telah mengimplementasikan restrukturisasi kredit kepada 4,9 juta debitor dengan nilai outstanding mencapai Rp 458,8 triliun.
Sementara itu, untuk perusahaan pembiayaan, hingga 26 Mei 2020, sebanyak 183 perusahaan pembiayaan atau multifinance sudah melakukan restrukturisasi sebanyak 2,1 juta kontrak. Jumlah outstanding pembiayaan mencapai Rp 66,78 triliun.
Hingga akhir April 2020, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk telah menyetujui restrukturisasi kredit secara efektif kepada lebih dari 300.000 debitor terdampak Covid-19 dengan nilai baki debet mencapai sekitar Rp 58 triliun. Dari jumlah tersebut, sebagian besar merupakan debitor UMKM, dengan sebagian besar menggunakan skema penundaan pembayaran cicilan pokok dan bunga.
Corporate Secretary Bank Mandiri Rully Setiawan mengatakan, sesuai mandat Peraturan OJK tersebut yang dipertegas dengas surat OJK tanggal 27 Mei 2020, Bank Mandiri telah menyusun kebijakan internal untuk mempercepat proses persetujuan restrukturisasi, serta melakukan proses pelaporan secara khusus.
Saat ini, Bank Mandiri masih memiliki likuiditas yang cukup untuk memenuhi kebutuhan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Ini ditunjukkan antara lain oleh rasio kecukupan likuiditas (LCR) dan rasio pendanaan stabil bersih (NSFR) yang masing-masing 170 persen dan 112 persen.
”Dengan realisasi LCR dan NSFR yang tinggi tersebut, penyesuaian kewajiban pemenuhan LCR dan NSFR menjadi 85 persen memberikan kelonggaran likuiditas yang lebih banyak bagi Bank Mandiri untuk pemanfaatan aset likuid yang tersedia,” kata Rully.
Penyesuaian kewajiban pemenuhan LCR dan NSFR menjadi 85 persen memberikan kelonggaran likuiditas yang lebih banyak bagi Bank Mandiri untuk pemanfaatan aset likuid yang tersedia.
Akhir pekan ini, OJK kembali memberikan beberapa relaksasi baru bagi perbankan. Bentuknya antara lain peniadaaan sementara kewajiban pemenuhan tambahan modal penyangga (capital conservation buffer) dalam komponen modal sebesar 2,5 persen dari aktiva tertimbang menurut risiko (ATMR) bagi bank BUKU III dan BUKU IV.
Selain itu, kewajiban pemenuhan LCR dan NSFR bagi bank BUKU III, BUKU IV, dan Bank Asing harus dipelihara serendah-rendahnya sebesar 85 persen sampai dengan 31 Maret 2021.
Direktur Keuangan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Haru Koesmahargyo menyebutkan, insentif tersebut memberikan ruang bagi perseroan untuk meningkatkan ekspansi kredit saat debitor membutuhkan modal kerja setelah ada pelonggaran pembatasan sosial berskala besar.
”Kami tentunya menyambut baik langkah OJK ini. Ini artinya otoritas pengawas mendukung dan akomodatif dalam membantu perbankan untuk terus mendukung kegiatan ekonomi,” katanya.
Menurut Heru, debitor perseroan saat ini masih dalam masa vakum kegiatan ekonomi. Namun, sebagain besar sudah mulai melakukan ancang-ancang untuk kembali memulai kegiatan bisnis dan membutuhkan modal kerja.
”Terutama dengan pelonggaran likuiditas dan aturan kecukupan modal, ini tentu akan membuat kami bisa melakukan ekspansi lagi,” katanya.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan, potensi kredit yang direstrukturisasi perbankan Indonesia bisa mencapai Rp 500 triliun hingga Rp 600 triliun. Perhitungan ini berdasarkan asumsi 50 persen dari total kredit UMKM di perbankan yang mencapai Rp 1.100 triliun-Rp 1.200 triliun.
”Jumlah restrukturisasi masih dinamis dan berubah seiring dengan proses restrukturisasi yang masih dilakukan oleh perbankan saat ini,” ujarnya.
Meski jumlah kredit yang membutuhkan restrukturisasi cukup besar, Wimboh menilai kemungkinan tidak semua membutuhkan penyangga likuiditas. Misalnya, kredit UMKM yang berpotensi membutuhkan restrukturisasi hanya sepertiga dari Rp 500 triliun sampai Rp 600 triliun, yakni sebesar Rp 200 triliun.
Asumsinya, suku bunga kredit UMKM selama satu tahun sebesar 15 persen. Namun, karena restrukturisasi yang dihitung misalnya saja dari bulan April-Desember 2020, maka suku bunga yang membutuhkan restrukturisasi dalam 9 bulan lebih kurang 12 persen.
”Suku bunga 12 persen tersebut dikalikan Rp 200 triliun kalau 9 bulan. Tetapi, ini belum tentu juga 9 bulan. Jadi, perhitungannya tidak begitu besar. Ini baru gambaran, bukan hitungan sebenarnya,” ujarnya, pertengahan Mei ini.
Antisipasi permintaan kredit
Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbanas Aviliani menyampaikan, relakasi dari otoritas pengawas sudah sesuai dengan kebijakan likuiditas longgar yang diberikan oleh Bank Indonesia dalam mendukung likuiditas perbankan.
”Sudah cukup baik karena BI sendiri sudah melonggarkan kebijakan likuiditas melalui giro wajib minimum dan term repo. Ini bagus sekali untuk perbankan,” katanya.
Dia menilai relaksasi yang diberikan oleh OJK dapat mempercepat proses restrukturisasi perbankan, baik dari persetujuannya maupun ketaatan dari aturan likuiditas dan modal. Namun, untuk menjawab kebutuhan kredit lebih lanjut, OJK bersama Komite Stabilitas Sistem Keuangan masih perlu melihat potensi peningkatan permintaan kredit. Permintaan kredit pascapandemi yang juga akan menggerus likuditas bank.
Permintaan kredit pascapandemi yang juga akan menggerus likuditas bank.
Sementara Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mendorong agar bank yang ingin mendapatkan likuiditas tambahan segera datang ke bank sentral dan melelang SBN yang dimiliki. Menurut Perry, mekanisme repo SBN ini adalah tahap pertama yang harus dilakukan perbankan.
Sesuai Undang-Undang BI, setiap hari BI melakukan operasi moneter untuk pendanaan likuiditas kepada bank melalui repo dengan SBN yang dimiliki bank. Lelang SBN dalam dilakukan dengan tenor 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan.
Saat ini, jumlah SBN milik bank yang sudah direpokan ke BI masih sekitar Rp 43,9 triliun. Adapun data per 14 Mei 2020, jumlah SBN perbankan sebesar Rp 886 triliun atau sekitar 16,4 persen dari total dana pihak ketiga (DPK) perbankan.