Sebagian warga cemas terhadap wacana kebijakan ”normal baru” yang akan diberlakukan. Mereka khawatir ramainya aktivitas yang tak terkendali, terutama pada wilayah yang masih berstatus zona merah.
Oleh
Aditya Diveranta
·5 menit baca
Sepekan setelah Lebaran, Senin (1/6/2020), Agus (50) kembali bekerja mengeruk selokan di kawasan Karet Tengsin, Tanah Abang, Jakarta Pusat. Dia mulai bekerja agak terlambat pada pukul 10.00. Keterlambatannya juga dipengaruhi situasi yang landai karena pandemi Covid-19 dan bertepatan dengan hari libur nasional.
Selama pandemi Covid-19, pekerja honorer untuk Satuan Pelaksana Suku Dinas Sumber Daya Air Kecamatan Tanah Abang ini kerap diselimuti kecemasan karena jumlah pasien positif di DKI Jakarta kian banyak. Kecemasan itu juga timbul lantaran bidang pekerjaannya yang mewajibkan kegiatan di luar selama masa pembatasan sosial.
Kecemasan Agus pun bertambah karena belakangan aktivitas warga di luar tampak semakin ramai. Dia yang menyusuri selokan sekitaran Tanah Abang itu menjadi saksi pedagang riuh berkumpul di luar kawasan gedung Blok G untuk berjualan pakaian.
Lalu pada Minggu (31/5/2020), Agus baru mendengar istilah kebijakan normal baru dari pemerintah. Dalam wawancara terbatas, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Suharso Monoarfa menjelaskan, pemerintah tengah menyiapkan kebijakan normal baru sebagai antisipasi kegiatan kerumunan masyarakat agar tetap produktif dan aman dari penularan Covid-19 (Kompas, 31/5/2020).
Normal baru dipahami sebagai berjalannya kegiatan masyarakat di semua bidang dengan kesadaran dan perilaku kolektif menempatkan protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19 sebagai perhatian. Kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko menuturkan, akan ada uji coba penerapan kebijakan normal baru di beberapa kota dan kabupaten yang dianggap siap per awal Juni. Ada sedikitnya 18 protokol sektor sebagai acuan penerapan normal baru yang sedang disusun.
Meski begitu, Agus tetap cemas lantaran kawasan Tanah Abang adalah salah satu zona merah penularan Covid-19. ”Bulan lalu, ramai berita soal ratusan orang di Kecamatan Tanah Abang dinyatakan positif Covid-19. Sejujurnya saya belum terbayang bagaimana pembatasna itu dilakukan, apa bisa? Kan, Tanah Abang padat sekali,” ucap Agus.
Kegelisahan Agus mungkin mewakili perasaan banyak orang. Sebab, di tengah wacana kebijakan normal baru, wilayah Jakarta sendiri masih didominasi oleh zona merah penularan Covid-19. Apabila mengacu pada situs corona.jakarta.go.id, ada belasan wilayah kelurahan yang masih tergolong sebagai zona merah.
Di kawasan Tanah Abang, ada Kelurahan Petamburan yang tercatat pernah memiliki 133 pasien positif. Di kawasan Agus bekerja, ada Kelurahan Kebon Kacang yang tercatat pernah memiliki 95 pasien positif. Tidak jauh dari Tanah Abang, ada Kecamatan Kebayoran Lama di Jakarta Selatan dan Kecamatan Kebon Jeruk di Jakarta Barat yang punya puluhan pasien positif.
Kunaenah (52), warga Tanah Abang, juga khawatir akan kondisi di Jakarta yang didominasi zona merah penularan Covid-19. Perempuan yang bekerja sebagai guru pendidikan anak usia dini (PAUD) ini bahkan belum berani mengajak muridnya untuk kembali belajar di kelas. Dia khawatir kerumunan justru menjadi potensi penularan.
”Saya dan guru lainnya mengusahakan agar siswa tetap belajar di rumah meski lewat teknologi daring. Kondisi sekarang, saya pikir masih riskan untuk bepergian keluar, apalagi berkumpul dengan orang banyak di pasar,” kata ibu dua anak ini.
Ada pula Purwanto (56), warga Grogol Petamburan, Jakarta Barat, yang dihadapkan pada situasi sulit akibat pandemi. Sopir bajaj ini masih harus bekerja lantaran tidak terdata program bantuan sosial. Padahal, dia tahu betul bahaya penularan Covid-19 di lokasi kerumunan.
”Saya cuma bermodal masker sama jaga jarak saja tiap narik (kerja). Kalau ada kebijakan normal baru, apa pun itu namanya, kalau bisa harus tegas mengatur kerumunan. Saya kalau di pasar kerap menerima penumpang dua orang, susah sekali untuk membatasi penumpang jadi hanya satu orang,” kata Purwanto saat dihubungi Kompas.
Akademisi dan praktisi klinis Universitas Indonesia, Ari Fahrial Syam, memahami kondisi pandemi Covid-19 penuh dengan ketidakpastian. Dengan demikian, pada sebagian negara, kebijakan normal baru saat ini dipilih sebagai langkah untuk berdamai dengan situasi pandemi.
Ari menekankan, kebijakan normal baru itu tidak lantas menjadi alasan penerapan physical distancing menjadi longgar. Normal baru justru menjadi alasan untuk meningkatkan pengawasan di masyarakat.
”Dalam kondisi pandemi, memang diakui, kita tidak bisa terus-menerus stay at home. Ada hal-hal yang harus kita kerjakan di luar rumah, terutama bagi sektor-sektor strategis dan kegiatan pendidikan,” ujar Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia ini.
Sebelum mulai menerapkan normal baru, Ari menyarankan pemerintah agar tegas dalam menimbang wilayah mana yang benar-benar pantas. Sebelum mengarah pada normal baru, alasan untuk melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang kini berlaku harus jelas.
Dalam konferensi pers secara daring, Minggu siang, Koalisi Warga Lapor Covid-19 juga meminta pemerintah memperjelas alasan pencabutan PSBB sesuai dengan ketentuan Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) Nomor 9 Tahun 2020 tentang PSBB dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19.
Peraturan Menteri Kesehatan mensyaratkan pencabutan PSBB untuk wilayah harus berdasarkan kaitan kurva epidemiologis dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain, serta memperhatikan jumlah kasus positif atau kematian karena Covid-19. Peraturan ini merujuk pada PMK Pasal 17 Ayat 6 dan 7.
”Kami meminta pemerintah menerapkan ketentuan sesuai dengan peraturan mengenai PSBB dari Kementerian Kesehatan. Sejauh ini, kami melihat pemerintah belum berdialog dengan pakar terkait bidang epidemiologi, sosial, ekonomi, dan bidang-bidang lainnya untuk mengevaluasi PSBB seperti yang disyaratkan dalam PMK Nomor 9/2020,” ujar Irma Hidayana, aktivis Koalisi Warga Lapor Covid 19.
Epidemiolog dari Universitas Padjadjaran, Pandji Hadisoemarto, menyayangkan kondisi pemerintah yang seakan melonggarkan kebijakan PSBB di tengah menggodok kebijakan normal baru. Di tengah situasi yang melonggar, terutama pada masa Lebaran, ia memprediksi akan terjadi lonjakan jumlah penularan pada masa sepekan Lebaran dan sepekan setelah Lebaran.
”Saya berharap pemeriksaan pasien positif melalui PCR dan pelacakan kontak pasien positif terus berjalan dan intensif di masa sekarang. Sayangnya, selama PSBB pun pemerintah tidak terbuka mengenai informasi itu. Berapa persen pelacakan yang selesai, lalu dilakukan dalam berapa hari, itu tidak pernah ada,” ujar Panji dalam telekonferensi pers Lapor Covid 19.
Dengan kondisi peralihan menuju normal baru, kecemasan warga akan tetap muncul selama angka penularan per hari terus bertambah. Untuk menekan penularan Covid-19, butuh langkah pembatasan sosial yang tegas dan kepatuhan warga terhadap regulasi yang ada.
Ari menuturkan, pemerintah harus menegaskan peraturan dan menjaga kepatuhan sosial warga. Di tengah kecemasan pandemi, kedua hal itu harus benar-benar terpenuhi. ”Kalau tidak begitu, akan sangat sulit menekan jumlah penularan,” ungkapnya.