Implementasi Pancasila berbasis agama, bukan saja mendudukkan agama sebagai landasan etik kehidupan berbangsa dan bernegara, juga basis rohaniah dari agama yang harus dijadikan landasan moral-spiritual Pancasila.
Oleh
Dudung Abdurahman
·5 menit baca
Tanggal 1 Juni 2020 ini mengingatkan kita bahwa Pancasila diperingati hari kelahirannya yang ke-75. Hingga kini, Pancasila sebagai filsafat hidup berbangsa dan bernegara terkembang dalam gelombang sejarah yang unik, sehingga refleksinya selalu menarik perhatian.
Entah mengapa, isu yang muncul setiap kali menyambut hari lahir ataupun kesaktian Pancasila, selalu saja bernuansa politik, berkenaan dengan ideologi komunisme, kadang berbenturan dengan fundamentalisme agama khususnya Islam, dan berbagai wacana ideologis lainnya. Sementara di sisi lain, menghubungkan Pancasila dengan agama secara implementatif terhadap bidang kehidupan lainnya dari bangsa ini jauh lebih penting dan menarik. Ada kejemuan sosial yang dirasakan banyak pihak, apabila yang diperbincangkan antara keduanya hanya seputar kepentingan politik dan kekuasaan.
Hal yang justru penting dipikirkan, bagaimana nilai-nilai Pancasila dapat selalu aktual dan akomodatif terhadap situasi yang sedang terjadi. Dewasa ini misalnya, yang dibutuhkan adalah proses implementasi atau pembumian nilai-nilai Pancasila ke dalam berbagai sektor kehidupan bangsa, termasuk dalam upaya menghadapi dampak pandemi Covid-19 yang bekepanjangan ini, khususnya berdasarkan sudut pandang keagamaan.
Filosofi Pancasila
Bila dipelajari kilas balik Pancasila, seperti disebutkan Notonegoro (1976) bahwa kefilsafatan dasar negara ini terwujud dalam rumus abstrak kelima silanya, yakni Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan (kesatuan), Kerakyatan, dan Keadilan. Pemaknaan atas semuanya berarti Pancasila adalah cita-cita yang harus dijelmakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Di samping itu, seperti dinyatakan Muhamad Yamin, bahwa Pancasila tersusun secara harmonis (selaras, serasi dan seimbang), sehingga tidak ditemukan ketimpangan di antara sila-sila yang termuat di dalam Pancasila. Oleh karena itu, masing-masing sila merupakan suatu rangkaian yang dapat diuji kebenarannya secara filosofis.
Penjelasan senada dikemukakan Roeslan Abdoelgani dalam tulisannya “Resapkan dan Amalkan Pancasila” (1962), antara lain bahwa “Pancasila adalah falsafah negara yang lahir sebagai collectieve-ideologie dari seluruh bangsa Indonesia”, dan Pancasila memberi ruang yang luas untuk berkembangnya penegasan-penegasan lebih lanjut, sehingga tercapai keseimbangan nilai rohaniah dan jasmaniah dari kandungan Pancasila.
Agama dan Pancasila
Terlepas dari adanya perdebatan para tokoh pendiri republik ini tentang asas negara tersebut, khususnya apakah agama (Islam) atau Pancasila sebagai dasarnya. Dalam hal ini justru lebih menarik untuk didiskusikan lebih lanjut mengenai hubungan agama dengan Pancasila itu.
Terkait masalah agama dan Pancasila, pidato Bung Karno pada 1 Juni 1945 menegaskan : “…hendaknya Indonesia Merdeka dengan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia bertuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan, Tuhannya sendiri. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih, yang Islam bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad SAW, orang Budha menjalankan ibadahnya dengan kitab-kitab yang ada padanya. Tetapi marilah kita semuanya bertuhan”.
Pandangan Soekarno ini, menegaskan bahwa agama yang dikonsepsikan dalam taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa jelas menjadi landasan pertama Pancasila, dan Soekarno mengajak masyarakat: “Marilah kita amalkan, jalankan agama, baik Islam maupun agama yang lain dengan cara yang berkeadaban”, yang diartikan sebagai hormat menghormati satu sama lain.
Maka sebetulnya nilai-nilai agama dapat dipahami melandasi semua sila dari Pancasila. Untuk sila “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab” bisa dipahami berdasarkan ajaran agama yang menyatakan, bahwa sesungguhnya manusia yang berasal dari nenek moyang yang sama, yaitu Adam, kemudian manusia berkembang dalam golongan-golongan dan suku-suku bangsa, dan tidak ada keutamaan suatu golongan melebihi golongan lain kecuali karena takwa. Maka “kemanusiaan yang takwa” itulah berarti sama maksudnya dengan “kemanusiaan yang berkeadilan dan berkeadaban”.
Demikian pula sila “Persatuan Indonesia”, sebagaimana ditegaskan dalam pidato Bung Karno, “Telah saya sebutkan bahwa bangsa Indonesia yang berbhineka tunggal ika terdiri dari jutaan manusia dan mendiami ribuan pulau yang merupakan kesatuan. Karena itu bangsa kita sering disebut sebagai bangsa yang merupakan kesatuan dan persatuan”. Dalam hal ini agama juga mengajarkan untuk bersatu dalam berbuat kebaikan, yang jelas sekali merupakan keinginan bersama bangsa ini.
Adapun agama dengan sila “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/perwakilan”. Intinya adalah berasal dari pidato Bung Karno yang di dalamnya terlihat pancaran bimbingan agama. Khususnya agama Islam, yang mengajarkan “agar selalu bermusyawarah dalam urusan tertentu seperti sosial, politik, dan ekonomi, sebagaimana dicontohkan para Nabi. Sedangkan terhadap sila “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”, yang intinya adalah “prinsip kesejahteraaan”, maka semua agama mengajarkan agar selalu berkeadilan untuk mencapai kesejahteraan seluruh bangsa.
Implementasinya Kini
Proses implementasi Pancasila secara konstitusional telah terjabarkan dalam pasal-pasal UUD ’45, namun etos implementasinya itu justru perlu selalu diperbaiki dan diperbaharui, misalnya bagaimana agama itu dijadikan landasan etos tersebut berdasarkan pemaknaannya yang esensial.
Alasannya, apabila dilihat dari dimensi kemanusiaan, bangsa Indonesia ini terdiri dari zahir (adat) dan batin (agama atau syara’). Karena itu Pancasila dan UUD ’45 sesungguhnya mengurus segi-segi zahir, yang berlaku hingga akhir hayat manusia. Sementara itu, agama (berdasarkan Kitab Suci masing-masing agama) mengurus batin, yang bersifat abadi bagi dunia dan akhirat.
Dengan demikian, implementasi Pancasila secara zahir (fisik) mengharuskan bangsa ini bekerja secara rohaniah yang didasarkan ketaatan atas ajaran agamanya masing-masing. Alasan ini juga seiring dengan sejarah kemanusiaan dengan diutusnya para Nabi oleh Tuhan, yaitu untuk memperbaiki budi-pekerti suatu bangsa.
Karena itulah peranan agama terhadap Pancasila, sebagaimana garis besarnya tersebut di atas, dapat dikembangkan dan diwujudkan dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang multikultural ini, manakala masing-masing sila dikelola batiniahnya menurut peraturan dan prinsip Ketuhanan yang Maha Esa.
Oleh karena itu, upaya-upaya seperti yang dilakukan BPIP dewasa ini sangatlah penting. Pembinaan Pancasila, tentu saja dapat dikembangkan dalam berbagai sudut pandang seiring dimensi-dimensi kehidupan berbangsa dan bernegara. Namun di antara pembinaan terpenting justru mengenai moral bangsa, sehingga pembinaan moral Pancasila selalu mendapat perhatian utama, termasuk dalam menghadapi situasi sulit bangsa ini akibat dampak pandemi Covid-19.
Dalam konteks ini khususnya, negara melindungi kebebasan beragama dan menjaga keadilan sosial masyarakat. Nilai agama menyeimbangkan hal tersebut dengan ajaran moral untuk toleransi, bergotong-royong, saling berbagi dan berpeduli sosial (si kaya bantu si miskin, si sehat bantu si sakit) mengatasi berbagai kesulitan masyarakat, yang dilakukan dengan pemberdayaan zakat, shodaqoh, infak, serta bentuk kedermawanan lainnya.
Dengan demikian, implementasi nilai-nilai Pancasila berbasis agama, bukan saja mendudukkan agama sebagai landasan etik bagi kehidupan berbangsa dan bernegara, melainkan sebagai basis rohaniah dari agama yang harus dijadikan landasan moral dan spiritual Pancasila.