Inflasi Mei 2020 adalah inflasi musim Ramadhan dan Lebaran terendah sejak 1978. Pandemi Covid-19 dan anjloknya harga minyak dunia mengubah pola inflasi musim Ramadhan dan Lebaran tahun ini.
Oleh
KARINA ISNA IRAWAN
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kenaikan indeks harga konsumsi atau inflasi pada Mei 2020 relatif rendah, yakni 0,07 persen. Pandemi Covid-19 dan harga minyak dunia yang anjlok mengubah pola inflasi musim Ramadhan dan Lebaran tahun ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), inflasi Mei 2020 merupakan inflasi musim Ramadhan dan Lebaran terendah sejak 1978. Saat itu, Ramadhan dan Lebaran jatuh pada September dengan inflasi minus 1,19 persen.
Adapun inflasi tahun kalender (Januari-Mei 2020) sebesar 0,90 persen dan inflasi tahunan 2,19 persen. Dari 90 kota yang dipantau BPS, sebanyak 67 kota mengalami inflasi dan 23 kota mengalami deflasi.
Kepala BPS Suhariyanto memaparkan, dalam kondisi normal, inflasi cenderung tinggi setiap kali menjelang Lebaran. Permintaan dan produksi di hampir semua sektor biasanya meningkat, terutama makanan dan minuman, pakaian dan alas kaki, serta transportasi. Namun, kondisi yang berbeda terjadi pada tahun ini.
”Pola inflasi tahun ini tidak biasa karena pandemi Covid-19, ditambah penurunan harga minyak dunia yang tajam serta diperburuk eskalasi ketegangan hubungan China dan Amerika Serikat,” kata Suhariyanto dalam telekonferensi, Selasa (2/6/2020).
Inflasi sebagian besar kelompok pengeluaran naik tipis. Kelompok transportasi memberikan andil terbesar terhadap inflasi Mei 2020, yakni 0,1 persen. Kelompok kesehatan; kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya; serta kelompok perlengkapan, peralatan, dan pemeliharaan rutin rumah tangga menempati posisi kedua dengan andil masing-masing 0,01 persen.
Selain itu, ada beberapa kelompok pengeluaran yang tidak memberikan andil terhadap inflasi atau sebesar nol persen, yaitu kelompok pakaian dan alas kaki; kelompok informasi, komunikasi, dan jasa keuangan; kelompok rekreasi, olahraga, dan budaya; serta kelompok pendidkan.
Satu-satunya kelompok pengeluaran yang mengalami deflasi adalah kelompok makanan, minuman, dan tembakau, yakni deflasi 0,32 persen. Beberapa komoditas yang mengalami penurunan harga adalah cabai merah, bawang putih, cabai rawit, bawang bombai, dan gula pasir.
Suhariyanto mengatakan, inflasi bulanan ataupun tahunan pada Mei 2020 relatif rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Pandemi Covid-19 dan pelaksanaan PSBB berimplikasi terhadap penurunan daya beli masyarakat. Akibatnya, permintaan dan produksi barang juga menurun cukup signifikan.
Penurunan daya beli yang berimbas ke perlambatan inflasi tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga terjadi di beberapa negara di dunia. Beberapa negara yang mengalami tren perlemahan inflasi bahkan sudah deflasi pada April 2020, antara lain Filipina deflasi 0,1 persen, Singapura deflasi 0,1 persen, Vietnam defilasi 1,5 persen, dan China deflasi 0,9 persen.
”Meskipun saat ini Indonesia belum mengalami deflasi, bagaimana untuk meningkatkan daya beli masyarakat menjadi pekerjaan rumah bersama,” kata Suhariyanto.
Permintaan dan produksi barang juga menurun cukup signifikan.
Risiko global
Dihubungi secara terpisah, Selasa, ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk, Wisnu Wardana, berpendapat, inflasi sepanjang 2020 dihadapkan pada risiko deflasi global akibat harga minyak dunia yang anjlok dan distorsi pasokan barang akibat kebijakan pembatasan sosial dalam rangka penanganan Covid-19.
”Indonesia berpotensi mengalami deflasi seperti negara-negara tetangga apabila pemerintah menurunkan harga jual bahan bakar minyak di atas 30 persen,” ujar Wisnu.
Sejauh ini, pemerintah belum menyebutkan rencana penurunan harga bahan bakar minyak. Selain deflasi, pertimbangan tidak menurunkan harga minyak karena volatilitas dan ketidakpastian harga minya global cukup tinggi. Di sisi lain, kesehatan keuangan perusahaan domestik yang bergerak di sektor perminyakan perlu dijaga.
Menurut Wisnu, daya beli masyarakat hingga akhir tahun diperkirakan masih melemah. Hal itu terefleksi dalam proyeksi inflasi 2020 yang relatif rendah, yakni 2,85 persen. Pemerintah sebaiknya tidak menggenjot daya beli dengan pemberian stimulus berlebihan karena situasi saat ini memang tidak normal.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, daya beli akan melemah karena tekanan terhadap konsumsi diperkirakan lebih besar pada triwulan II dan III tahun ini, sejalan dengan perluasan PSBB ke sejumlah daerah. Pencairan anggaran jaring pengalaman sosial diharapkan dapat menahan penurunan konsumsi agar tidak semakin dalam.
Pada triwulan I-2020, pertumbuhan konsumsi 2,84 persen secara tahunan. Kontribusi konsumsi terhadap produk domestik bruto (PDB) sekitar 57 persen atau Rp 9.000 triliun. Dari angka itu, sekitar Rp 5.000 triliun disumbang oleh Jawa, terutama DKI Jakarta.