Hadapi Tatanan Baru, Perlu Payung Hukum Baru dan Sosialisasi
›
Hadapi Tatanan Baru, Perlu...
Iklan
Hadapi Tatanan Baru, Perlu Payung Hukum Baru dan Sosialisasi
Pemprov DKI Jakarta didorong membuat regulasi yang mendasari tata kelola tatanan baru. Regulasi itu bisa memayungi, salah satunya, pengaturan jam kerja perkantoran demi mengurangi penumpukan penumpang angkutan umum.
Oleh
Helena F Nababan
·5 menit baca
Menjelang tatanan baru atau new normal, DPRD DKI Jakarta menilai perlu adanya regulasi baru yang mengatur tatanan baru serta sosialisasi kepada masyarakat. Regulasi itu akan memayungi pengaturan sektor-sektor seperti kegiatan atau aktivitas perkantoran, aktivitas perekonomian, serta sektor angkutan umum demi mencegah persebaran wabah Covid-19.
Mujiyono, Ketua Komisi A DPRD DKI Jakarta Bidang Pemerintahan, Senin (1/6/2020) menegaskan, untuk DKI Jakarta, sebelum melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dan menuju tatanan baru, hendaknya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mendasarkan perumusan kebijakannya dengan mempertimbangkan syarat-syarat mutlak yang disarankan Organiasasi Kesehatan Dunia (WHO).
Syarat WHO adalah, pertama, bahwa angka reproduksi efektif (Rt) kurang dari 1 (Rt < 1). Artinya, penularan dari satu orang positif Covid-19 ke pada orang lain hampir tidak terjadi atau bahkan nol. Angka ini merupakan ukuran pengendalian epidemi yang disarankan oleh WHO dan merupakan syarat mutlak untuk dapat diberlakukannya normal baru. Sebuah epidemi dikatakan dapat terkendali apabila angka Rt kurang dari 1 selama dua minggu.
Syarat kedua, lanjut Mujiyono, adalah sistem kesehatan masyarakat yang bisa memenuhi kebutuhan masyarakat. Di antaranya tentang ketersediaan alat-alat kesehatan dan kamar untuk rawat inap pasien positif Covid-19.
Lalu, syarat ketiga adalah menyangkut surveilans. Menurut WHO, surveilans merupakan proses pengumpulan, pengolahan, analisis, dan interpretasi data secara sistemik dan terus-menerus serta penyebaran informasi kepada unit yang membutuhkan untuk dapat mengambil tindakan.
”Indikator bagi surveilans adalah kapasitas tes laboratorium yang cukup dan memiliki strategi tes yang jelas. Jumlah tes yang diharapkan adalah sebanyak 3.550 tes per 1 juta penduduk,” kata Mujiyono, anggota Fraksi Demokrat itu.
Apabila tiga syarat itu bisa diperkuat dan memang tingkat Rt di Jakarta kurang dari 1, bisa saja pelonggaran dilakukan, tetapi dengan tetap menerapkan protokol Covid-19 secara ketat. Protokol itu di antaranya wajib mengenakan masker, cuci tangan, serta menjaga jarak.
Gilbert Simanjuntak, anggota Komisi B Bidang Perekonomian DPRD DKI Jakarta, secara terpisah menyatakan, untuk bisa mengakhiri PSBB, sebaiknya Pemprov DKI Jakarta mengakhiri dengan menggunakan data, bukan tanggal/jadwal yang sudah ditetapkan. Sebaiknya antarfase dievaluasi, setidaknya menggunakan data setiap dua minggu.
Beberapa negara yang sudah melakukan pelonggaran, lanjut Simanjuntak, melakukan evaluasi fase per dua minggu dan ada yang per empat minggu.
”Disarankan supaya melihat data bahwa masyarakat menengah dan atas, usia 50 tahun lebih, pria, dan ada penyakit penyerta, seperti darah tinggi, merupakan faktor risiko,” kata Simanjuntak dari Fraksi PDI-P itu.
Mujiyono menambahkan, untuk menuju normal baru memang perlu ada regulasi baru yang mengatur bagaimana tatanan baru itu diselenggarakan.
Untuk menuju normal baru memang perlu ada regulasi baru yang mengatur bagaimana tatanan baru itu diselenggarakan.
Ia memberi contoh pengelolaan sektor angkutan umum yang berkaitan dengan layanan angkutan karena ada kegiatan masyarakat. Di angkutan umum, Mujiyono melihat, apabila kegiatan perkantoran atau perekonomian sudah aktif, akan sulit mengatur jaga jarak sesuai protokol meski pihak operator memberlakukan pembatasan jumlah penumpang. Kekhawatiran yang muncul adalah penumpukan penumpang.
Maka, yang perlu dilakukan Pemprov DKI Jakarta dari sekarang, ucapnya, adalah membuat antisipasi. Pemprov DKI bisa mengatur jam kerja perkantoran bergiliran atau sektor-sektor lain.
”Atau, Pemprov DKI Jakarta bisa membuat pemetaan lokasi atau letak perkantoran untuk membuat aturan jam masuk. Misal, kantor-kantor di Jakarta Selatan masuk pukul 07.00. Lalu, kantor-kantor di Jakarta Pusat dan Jakarta Barat mulai pukul 09.00, diikuti oleh wilayah kota lain. Jam sibuk digeser, yang terpenting jam kerja delapan jam sehari bisa disesuaikan,” tuturnya.
Adanya aturan itu akan berdampak pada penggunaan angkutan umum sehingga operator angkutan umum bisa menyusun skenario pelayanannya.
Sarman Simanjorang, Ketua Umum DPD Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia yang juga Wakil Ketua Kadin DKI Jakarta, menegaskan, salah satu yang diatur dalam peraturan menteri kesehatan (permenkes) memasuki normal baru adalah pengaturan kerja karyawan baik dari sisi jam kerja, usia, hingga jam lembur.
”Prinsipnya, dunia usaha akan melaksanakan permenkes tersebut semaksimal mungkin, tetapi akan menyesuaikan dengan kondisi, kebutuhan, dan sektor usaha masing-masing,” katanya.
Kebijakan pemerintah mulai melakukan pelonggaran berarti bahwa kegiatan operasional dunia usaha tentu belum 100 persen. Seharusnya sangat bisa melakukan pengaturan jam kerja yang fleksibel. Apalagi dengan kebijakan karyawan berusia 45 tahun ke atas diberikan dispensasi kerja dari rumah, tentu semakin mudah untuk menyusun jadwal kerja.
”Terlebih para konsumen dan pelanggan juga belum aktif 100 persen sehingga pelayanan tentu belum memerlukan SDM (sumber daya manusia) yang full team. Jadi, diharapkan jam keberangkatan para karyawan tidak serentak di pagi hari sehingga tidak menimbulkan penumpukan pada transportasi umum, yang nantinya berpotensi menyebarkan virus korona baru penyebab Covid-19,” kata Simanjorang.
Simanjuntak menambahkan, hal lain yang perlu dikerjakan Pemprov DKI tentu saja sosialisasi. Sosialisasi yang dimaksud adalah bahwa pada masa persiapan pelonggaran PSBB serta nantinya masa tatanan baru, penerapan protokol kesehatan, seperti mengenakan masker, cuci tangan, dan jaga jarak, tetap harus dilalukan untuk mencegah penularan.
”Segala informasi ini harus disebarkan melalui RT dan RW,” kata Simanjuntak.
Tidak berbicara melalui telepon
Secara terpisah, salah satu protokol yang sedang dan terus disosialisasikan kepada pengguna angkutan umum adalah imbauan kepada semua pengguna untuk tidak berbicara secara langsung ataupun melalui telepon seluler. Sebab, salah satu penularan Covid-19 adalah melalui droplet atau cairan yang keluar dari saluran mulut dan hidung saat batuk, bersin, ataupun berbicara.
Erni Sylviane Purba, Vice President Corporate Communication PT Kereta Commuter Indonesia (KCI), mengatakan, PT KCI terus menyosialisasikan hal itu melalui pengeras suara dan media sosial PT KCI. ”Kita harus membiasakan tertib tanpa petugas,” ujarnya.
M Effendi, Direktur Operasi dan Pemeliharaan PT MRT Jakarta, menyampaikan, untuk layanan di MRT Jakarta terkait berbicara di telepon genggam selama di kereta, manajemen sudah menerapkan dengan mengimbau penumpang tidak berbicara satu atau dua arah, baik langsung maupun via telepon genggam.
Djoko Setijowarno, Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia, mengatakan, supaya imbauan itu terlaksana dengan baik, diperlukan penguatan dalam pengawasan dan sosialisasi.