Kasus UGM Jadi Peringatan Serius Kebebasan Berpendapat
›
Kasus UGM Jadi Peringatan...
Iklan
Kasus UGM Jadi Peringatan Serius Kebebasan Berpendapat
Kasus teror dan intimidasi terhadap panitia dan pembicara diskusi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, harus jadi perhatian serius pemerintah lindungi HAM. Performa demokrasi bisa terimbas dampaknya.
Oleh
NIKOLAUS HARBOWO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus teror dan intimidasi terhadap panitia diskusi di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, baru-baru ini harus menjadi perhatian serius bagi pemerintah dalam melindungi hak warga negaranya. Jika terus dibiarkan, kasus ini hanya akan semakin memperburuk performa kebebasan berpendapat di Indonesia.
Kasus terakhir menimpa panitia dan narasumber diskusi Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan yang sedianya diselenggarakan oleh Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pekan lalu.
Namun, diskusi dibatalkan panitia karena adanya intimidasi melalui telepon, pesan singkat, bahkan ancaman langsung ke rumah salah seorang panitia. Oknum peneror menilai diskusi itu berbau makar.
Sungguh merusak demokrasi, peradaban ilmu pengetahuan, juga memperburuk performa kebebasan berpendapat.
Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani saat dihubungi di Jakarta, Selasa (2/6/2020), mengatakan, kasus itu merupakan bentuk persekusi atas kebebasan akademik dan kebebasan berpendapat yang dijamin oleh konstitusi. Pemasungan kebebasan ini, katanya, bentuk penghancuran literasi dan ilmu pengetahuan yang berdampak buruk pada demokrasi.
”Sungguh merusak demokrasi, peradaban ilmu pengetahuan, juga memperburuk performa kebebasan berpendapat,” ujar Ismail.
Berdasarkan catatan Setara Institute, tindakan persekusi atas kebebasan berpendapat ini bukan pertama kali terjadi di masa pemerintahan Joko Widodo sejak 2014.
Indeks Hak Asasi Manusia yang dirilis Setara Institute pada 2019 menunjukkan, skor kebebasan berekspresi dan berpendapat selama pemerintahan Jokowi (2014-2019) hanya 1,9. Dengan skala nilai 0-7, semakin tinggi skor, makin baik capaian di indikator itu. Sementara itu, rata-rata skor untuk 11 variabel HAM yang dievaluasi adalah 3,2.
Rendahnya skor kebebasan berekspresi dan berpendapat ini didasari oleh data pelanggaran, di antaranya 204 peristiwa kriminalisasi individu, pemblokiran 32 media dalam jaringan (online), dan 961.456 pemblokiran situs internet dan akun media sosial. Selain itu, ada pula tujuh kasus yang meliputi pembubaran diskusi dan pelarangan buku, serta penggunaan delik makar yang tidak akuntabel untuk menjerat setidaknya terhadap tujuh warga negara.
Ismail, pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, ini menyampaikan, rendahnya skor kebebasan berekspresi dan berpendapat sungguh sangat ironis di tengah usia 20 tahun reformasi Indonesia. Oleh karena itu, dia berharap, presiden dapat menunjukkan keberpihakannya pada pemajuan HAM di periode kedua masa pemerintahannya.
”Kasus ini warning (peringatan) serius bagi pemerintahan dalam penyusunan berbagai macam kebijakan dan aksi pemerintah yang konstruktif bagi pemajuan HAM, serta menjadi titik tolak penguatan kebebasan di masa datang. Bukan hanya kebebasan berpendapat, melainkan juga elemen-elemen kebebasan yang lain,” ujar Ismail.
Langkah proaktif
Setara Institute, kata Ismail, mengecam keras ancaman, teror, dan intimidasi yang dilakukan oleh oknum masyarakat. Praktik koersif tersebut bertentangan dengan demokrasi.
”Ini pentingnya pengelolaan deliberative democracy. Perspektif yang beragam dan pembahasan suatu perkara harus diberikan ruang aman untuk diekspresikan,” ujarnya.
Pemerintah, menurut Ismail, tidak boleh membiarkan persekusi dan pelanggaran HAM terjadi atas warga negara. Negara atau pemerintah harus bertanggung jawab terhadap perlindungan HAM bagi warganya.
”Penegak hukum harus menindak tegas oknum yang melakukan intimidasi, ancaman, teror, serta provokasi yang mengakibatkan pembatalan diskusi ilmiah tersebut. Negara tidak dapat melakukan pembiaran di tengah situasi yang menunjukkan adanya pelanggaran kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Sikap proaktif negara diperlukan,” katanya.
Ditelusuri
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD dalam diskusi Komunitas Pancasila Muda, kemarin, menuturkan, pihaknya telah meminta kepada Polri agar mengusut tuntas kasus di UGM itu.
Saya pastikan aparat tidak melarang dan memang tidak boleh melarang. Kampus juga tidak melarang. Yang melakukan intimidasi itu masyarakat di luar kampus. Saya minta aparat melacak. Semua, kan, bisa ditelusuri.
Mahfud pun memastikan bahwa pihak yang melakukan intimidasi berasal dari luar kampus. ”Saya pastikan aparat tidak melarang dan memang tidak boleh melarang. Kampus juga tidak melarang. Yang melakukan intimidasi itu masyarakat di luar kampus. Saya minta aparat melacak. Semua, kan, bisa ditelusuri,” ujar Mahfud.
Mahfud juga menyampaikan, sesungguhnya diskusi Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan yang batal di UGM itu ingin menegaskan bahwa Presiden tak bisa dijatuhkan hanya karena kebijakan terkait Covid-19.
”Saya lihat ToR (term of reference) diskusinya juga tidak membahas tentang makar atau menjatuhkan jabatan, tetapi membahas tentang kebijakan pemerintah pada saat Covid-19 ini. Namun, ada yang salah paham karena belum membaca ToR dan hanya membaca judul sehingga kisruh,” kata Mahfud menjelaskan dalam siaran pers tertulisnya.