Kemendagri: Pilkada 2020 demi Suksesi Kepemimpinan
Pemerintah tetap akan menggelar Pilkada 2020 pada 9 Desember 2020 sebab ada begitu banyak kepala daerah yang masa jabatannya habis tahun depan. Namun, Komisi I DPD tak setuju dan minta penundaan pilkada hingga 2021.
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri berkukuh Pemilihan Kepala Daerah 2020 tetap digelar di tengah pandemi Covid-19, pada 9 Desember 2020, demi memastikan suksesi kepemimpinan daerah. Untuk itu, setiap tahapan pemilu harus dipastikan tetap mematuhi protokol kesehatan.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar, di Jakarta, Selasa (2/6/2020), mengatakan, penyelenggaraan negara tak boleh terhenti karena pandemi Covid-19. Oleh karena itu, Pilkada 2020 tetap akan digelar pada 9 Desember 2020 sesuai kesepakatan terakhir antara Kemendagri, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu.
”Kita harus segera menyesuaikan dengan kondisi dan situasi terbaru, termasuk penyelenggaraan negara tetap harus berjalan di tengah pandemi,” ujar Bahtiar.
Penyelenggaraan negara tak boleh terhenti karena pandemi Covid-19. Oleh karena itu, Pilkada 2020 tetap akan digelar pada 9 Desember 2020 sesuai kesepakatan terakhir antara Kemendagri, Komisi II DPR, dan penyelenggara pemilu.
Sebelumnya, pada Rabu (27/5/2020), pemerintah bersama Komisi II DPR dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyepakati untuk tetap menggelar pemilihan tahun ini. Penyelenggaraan setiap tahapan dijanjikan menerapkan protokol pencegahan Covid-19 dengan ketat. Untuk itu, KPU membutuhkan tambahan anggaran Rp 535,981 miliar.
Bahtiar menyampaikan, penyelenggaraan pemilu di tengah pandemi ini demi memastikan sistem ketatanegaraan dan suksesi kepemimpinan daerah tetap berjalan sesuai yang dijadwalkan. Sebab, apabila pemilu terus ditunda, lanjutnya, hal itu akan berdampak pada kekosongan pejabat kepala daerah.
Berdasarkan data yang diperoleh dari Kemendagri, ada 208 daerah yang masa jabatan kepala/wakil kepala daerahnya berakhir pada Februari 2021. Sisanya, 60 daerah, masa jabatan kepala/wakil kepala daerahnya berakhir pada Maret-Juli 2021 dan dua daerah masa jabatan pemimpinnya berakhir pada September 2021.
”Risikonya jauh lebih tinggi ketika banyak kekosongan kepala daerah. Jadi, kita tetap pilkada dengan protokol-protokol kesehatan. Ini tentu menjadi ujian kepemimpinan, baik calon petahana maupun calon penantang yang akan maju (Pilkada) 2020 bagaimana menunjukkan komitmen memberi perlindungan kepada masyarakat, mulai dari aspek kesehatan hingga aspek lain di tengah Covid-19,” tutur Bahtiar.
Adapun sejumlah tahapan yang tertunda akibat pandemi antara lain verifikasi faktual dukungan calon perseorangan, pencocokan dan penelitian data pemilih, pengadaan logistik, kampanye, sosialisasi, pemungutan suara, penghitungan suara, serta rekapituasi suara.
Baca juga : Politisasi Bantuan Sosial untuk Kepentingan Elektoral Melukai Masyarakat
Merusak demokrasi
Di tengah keputusan itu, Selasa, Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) berkirim surat kepada Ketua DPD La Nyalla Mattalitti. Surat ditandatangani Ketua Komite I DPD Agustin Teras Narang serta tiga Wakil Ketua Komite I DPD, yakni Fachrul Razi, Djafar Alkatiri, dan Abdul Kholik.
Komite I DPD menyatakan sikap tidak setuju terhadap rencana pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember 2020.
Dalam surat tersebut, Komite I DPD menyatakan sikap tidak setuju terhadap rencana pelaksanaan pilkada serentak pada 9 Desember 2020. Penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi virus korona dikhawatirkan akan merusak makna dan kualitas demokrasi sebagai sarana untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat karena tidak memperhatikan aspek sosio-ekonomi dan kesehatan masyarakat.
”Dalam kondisi pandemi Covid-19, pemerintah, DPR, dan KPU harus memperhatikan doktrin yang diterima secara universal, salus populi suprema lex esto, yang artinya keselamatan rakyat merupakan hukum tertinggi bagi suatu negara,” ujar Agustin.
Menurut Komite I DPD, lanjut Agustin, pilkada serentak yang akan melibatkan 270 daerah serta lebih kurang jumlah pemilih sebanyak 105 juta orang sangat rentan mengancam keselamatan jiwa pemilih dan penyelenggara pemilu. Apalagi, jumlah korban yang terinfeksi Covid-19 masih terus bertambah serta belum menunjukkan kecenderungan akan melandai.
Pilkada serentak yang akan melibatkan 270 daerah serta lebih kurang jumlah pemilih sebanyak 105 juta orang sangat rentan mengancam keselamatan jiwa pemilih dan penyelenggara pemilu.
Selain itu, anggaran penyelenggaraan Pilkada 2020 yang telah disepakati oleh KPU bersama 270 kepala daerah melalui naskah perjanjian hibah daerah sebesar Rp 9,9 triliun tentu akan sangat bermanfaat bagi daerah apabila dapat digunakan untuk penanganan pandemi dan pemulihan dampak Covid-19 bagi masyarakat. Pengajuan tambahan anggaran pelaksanaan Pilkada 2020 oleh KPU sebesar Rp 535,9 miliar di tengah pandemi dinilai akan sangat
memberatkan keuangan negara.
Secara terpisah, Wakil Ketua DPD Sultan Bakhtiar Najamudin mengatakan telah menerima surat tersebut. Pihaknya akan segera menggelar rapat pimpinan untuk menentukan langkah selanjutnya, termasuk berkomunikasi dengan DPR dan Kemendagri. ”Segera kami adakan rapat pimpinan,” katanya.
Sultan sepakat bahwasanya penyelenggaraan pilkada pada 9 Desember nanti justru membuat kluster-kluster baru penyebaran virus korona. Apalagi, lanjutnya, proses pilkada ini pasti melibatkan masyarakat luas, mulai dari calon dan tim peserta pemilu hingga pemilih serta panitia, mulai dari awal pendataan pemilih sampai proses penghitungan suara berjenjang.
”Jadi, jangan hanya karena kita mengejar sesuatu yang tidak prioritas, tetapi nanti dampaknya menghantam apa yang kita prioritaskan, yakni sektor kesehatan dan ketahanan sosial,” ucap Sultan.
Jangan hanya karena kita mengejar sesuatu yang tidak prioritas, tetapi nanti dampaknya menghantam apa yang kita prioritaskan, yakni sektor kesehatan dan ketahanan sosial.
Fokus terpecah
Guru Besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri Djohermansyah Djohan mengatakan, kepala daerah sebagai ketua gugus tugas merupakan lokomotif penggerak roda pemerintahan dan menjadi kunci penentu keberhasilan penanggulangan wabah di tingkat lokal. Jika pilkada tetap digelar tahun ini, fokus kepala daerah akan terpecah. Akibatnya, wabah tidak bisa tertanggulangi dengan baik.
”Pilkada reguler tahun 2020 diputuskan 9 Desember dan tidak ditunda ke 2021 kurang bijak. Kepala daerah harus mengurus virus korona dan mengurus kontestasi pemilihan. Ini pasti berefek tidak baik kepada efektivitas pemda dan publik di daerah itu selama lima tahun ke depan. Baiknya, urungkan saja niat berpilkada tahun ini,” tutur Djohermansyah.
Menurut dia, pilkada di tengah pandemi juga akan mendegradasi kualitas pemilu. Kepala daerah calon petahana berpotensi menyalahgunakan kewenangan lewat bantuan sosial.
Dari sisi masyarakat, lanjut Djohermansyah, tingkat partisipasi pemilih dipastikan merosot. Pemilih lebih mementingkan menjaga keselamatan dibandingkan berpartisipasi dalam pilkada.
”Penundaan ke tahun 2021 bisa menghindari hal-hal itu tadi daripada mendegradasi kualitas pemilihan,” ucap Djohermansyah.
Pilkada di tengah pandemi juga akan mendegradasi kualitas pemilu. Kepala daerah calon petahana berpotensi menyalahgunakan kewenangan lewat bantuan sosial.
Namun, kata Djohermansyah, ada konsekuensi yang harus dijalani dengan menunda pilkada ke 2021, yakni pengangkatan penjabat kepala daerah untuk mengisi kekosongan jabatan bagi kepala daerah yang sudah habis masa tugasnya. Pilihan lain, masa jabatan kepala daerah tersebut juga bisa diperpanjang sampai dilantiknya kepala daerah yang baru.
”Daerah bukan negara yang suksesinya harus tepat waktu. Daerah itu sudah lama mempraktikkan pengangkatan penjabat untuk menjalankan roda pemda manakala masa jabatan kepala daerah habis dan belum terpilih yang baru. Jadi pemda tetap bisa beroperasi dengan baik,” tutur Djohermansyah.
Baca juga : Kekosongan Hukum Mendesak Diisi
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustofa menyampaikan, Komisi II DPR akan kembali rapat dengan penyelenggara pemilu dan pemerintah untuk membahas kebutuhan anggaran penyelenggara pemilu.
”Besok akan ada rapat lagi. Rapat kali ini akan membahas soal anggaran yang diperlukan oleh penyelenggara dalam pelaksanaan pilkada lanjutan,” katanya.
Ketua Komisi II DPR Ahmad Doli Kurnia menyebutkan, pembahasan lebih mendetail harus dilakukan kembali antara pemerintah, DPR, dan penyelenggara pemilu untuk memastikan berapa banyak kebutuhan anggaran yang mereka perlukan, selain juga hasil rasionalisasi yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu terhadap setiap tahapan yang telah dijadwalkan.
”Rincian anggaran itu harus dibahas lagi sehingga dari kebutuhan itu dapat diketahui berapa rasionalisasi yang dilakukan oleh penyelenggara dan berapa kekurangan yang harus dipenuhi. Selanjutnya, dari hasil rapat tersebut, total kebutuhan anggaran yang disepakati akan kami bahas dengan pemerintah,” ujar Doli.
Anggaran tambahan untuk penyelenggaran pilkada lanjutan itu pun akan dimintakan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena untuk meminta tambahan dari daerah dirasakan tidak memungkinkan.
Anggaran tambahan untuk penyelenggaran pilkada lanjutan itu pun akan dimintakan kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) karena untuk meminta tambahan dari daerah dirasakan tidak memungkinkan. Hasil rapat pleno antara KPU RI dan KPU daerah yang menyelenggarakan pilkada juga menunjukkan adanya keberatan dari daerah untuk menambah anggaran untuk pilkada lanjutan. Sebagian besar daerah harus menghadapi realokasi anggaran untuk menghadapi pandemi Covid-19.
Selain KPU, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga memerlukan anggaran tambahan untuk pilkada lanjutan. Dihubungi terpisah, anggota Bawaslu, M Afifuddin, mengatakan, Bawaslu memerlukan sedikitnya Rp 181.115.500.000 untuk keperluan alat pelindung diri dan Rp 23.214.880.000 untuk pelaksanaan tes cepat (rapid test) bagi tenaga pengawas di daerah. Total, untuk pemenuhan protokol Covid-19, Bawaslu memerlukan sedikitnya Rp 204 miliar.
”Pelaksanaan pilkada di tengah pandemi membawa konsekuensi-konsekuensi tertentu, termasuk anggaran. Keselamatan penyelenggara dan pemilih harus menjadi pertimbangan,” kata Afif.
Baca juga : Rumit dan Mahal, Penyelenggaraan Pemilu di Tengah Pandemi Covid-19