Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dilangsungkan di sejumlah tempat. Eksistensi prinsip Pancasila diuji di tengah pandemi dan juga kebijakan yang diambil.
Oleh
Editor
·2 menit baca
Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni dilangsungkan di sejumlah tempat. Eksistensi prinsip Pancasila diuji di tengah pandemi dan juga kebijakan yang diambil.
Pandemi Covid-19 sepertinya menguji eksistensi prinsip dasar dari Pancasila. Prinsip ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah-mufakat, dan keadilan sosial mendapatkan tantangan. Prinsip ketuhanan dan kemanusiaan begitu nyata wujudnya. Solidaritas antarmanusia menemukan bentuknya. Saling membantu dan solidaritas antarmanusia menjadi ciri yang menonjol dari bangsa Indonesia.
Pandemi Covid-19 kian memperbesar kesenjangan sosial. Orang miskin bertambah. Butuh atensi negara.
Prinsip dasar Pancasila itu bernaung dalam wadah persatuan, meskipun harus diakui mulai muncul aksi individu atau kelompok yang bisa meretakkan prinsip persatuan. Begitu juga prinsip musyawarah-mufakat atau demokrasi. Yang paling telantar dari Pancasila adalah prinsip keadilan sosial. Pandemi Covid-19 kian memperbesar kesenjangan sosial. Orang miskin bertambah. Butuh atensi negara.
Di tengah peringatan Hari Lahir Pancasila dan pandemi, kita menangkap adanya upaya menggerogoti aspek kebebasan sipil, yakni kebebasan berpendapat, kebebasan pers, dan kebebasan akademik. Kritik ketidakpuasan terhadap pemerintah dalam menangani pandemi memang muncul. Kritik terhadap kebijakan pemerintah itu wajar dalam kehidupan demokrasi. Kritik adalah oksigen terhadap demokrasi.
Tanpa adanya kritik, pemerintah tidak akan bisa mengukur sejauh mana program yang direncanakan telah dirasakan masyarakat. Presiden Joko Widodo membutuhkan masukan, kritik dari publik, termasuk media massa, bukan hanya dari laporan bawahannya. Namun, belakangan kita menangkap ada upaya menekan kebebasan sipil, menganulir kebebasan pers, dan menghadapkan kebebasan berpendapat dengan hukum.
Ketidaksukaan kepada pers yang dilakukan dengan cara mengancam wartawan, dengan cara mengintervensi kebebasan berpendapat di kampus, adalah tindakan antidemokrasi.
Pers bisa saja berbuat salah. Namun, ketidaksukaan kepada pers yang dilakukan dengan cara mengancam wartawan, dengan cara mengintervensi kebebasan berpendapat di kampus, adalah tindakan antidemokrasi. Sekjen Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) Antonio Gutteres dalam cuitannya di Twitter menulis, ”When journalist are attacked, societies are attacked. No democracy can function without press freedom….”
Kita berpendapat, kritik terhadap kebijakan menteri oleh pers bukanlah tindak pidana sejauh prinsip dan disiplin jurnalistik diterapkan. Ketidakpuasan terhadap pemberitaan media bisa disalurkan melalui Dewan Pers.
Kita menangkap ada aktivitas yang bisa menciptakan persepsi atau kesan pemerintah antidemokrasi, pemerintah antikebebasan. Dikelilingi sejumlah aktivis demokrasi di lingkaran kekuasaan, Presiden Jokowi seharusnya mengungkap apa sebenarnya yang terjadi di balik fenomena ancaman terhadap kebebasan sipil. Adakah aktor negara yang terlibat atau adakah tangan tidak kelihatan yang mencoba menciptakan persepsi buruk terhadap pemerintah? Pemerintah bisa mengungkap. Kebebasan sipil harus tetap dijaga karena itu kebebasan fundamental manusia!