Ahmad Syafii Maarif berulang kali menggarisbawahi, Pancasila masih bernasib yatim piatu karena belum ada pemimpin yang sungguh-sungguh menyantuni sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Oleh
Fajar Riza Ul Haq
·4 menit baca
Tawaran jadi ketua umum partai baru itu datang kepada Ahmad Syafii Maarif (ASM) dari sahabat karibnya di awal era Reformasi, Amien Rais. Namun, ia memilih jalan lain. Yang terjadi dalam sejarah, ASM didaulat melanjutkan kendali organisasi Islam modernis tertua, Muhammadiyah, pada 1999, setelah Amien, sang ketua umum, mengundurkan diri demi menakhodai PAN yang dibidaninya.
Pada Muktamar Muhammadiyah Ke-44 tahun 2000 di Jakarta, ASM terpilih sebagai Ketua PP Muhammadiyah yang kemudian diembannya hingga 2005. Periode ini fase transformasi kepemimpinan ASM di ranah kebangsaan dan global. Muhammadiyah meneguhkan komitmennya sebagai tenda bangsa, di antaranya melahirkan konsep dakwah kultural.
ASM sangat aktif menjalin komunikasi dan kerja sama lintas kelompok dan golongan. Ia lantang menyuarakan kritik atas praktik diskriminasi dan sektarianisme yang disebutnya daki peradaban. Sebagai sosok yang dibesarkan dalam tradisi modernisme Islam, ia pun sangat percaya dengan gagasan kemajuan dan modernisasi. Inilah esensi gerakan pembaruan Islam atau ”Kaum Muda” dalam istilah Taufik Abdullah.
ASM berhasil membawa Muhammadiyah melewati ujian ideologis berbangsa ketika aspirasi amendemen UUD 1945 untuk mengembalikan tujuh kata dalam Piagam Jakarta mengemuka kembali pasca-Orde Baru. Bersama Ketua Umum PBNU (alm) KH Hasyim Muzadi, ia menolak memasukkan ketujuh kata ke Pasal 29 UUD.
Pandangan ASM terhadap isu-isu sosial keberagamaan dan politik menimbulkan dinamika di internal Muhammadiyah. Memunculkan arus progresif dan respons sebaliknya. Sikapnya yang terbuka membela kebinekaan, menolak sektarianisme Sunni-Syiah, dan mengedepankan inklusivitas beragama mengundang diskusi bahkan polemik.
Setelah memimpin Muhammadiyah, ASM tetap terus berkhidmat untuk Persyarikatan Muhammadiyah. Mengutip perumpamaan Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir, ASM ibarat burung rajawali yang gagah dan terbang tinggi ke angkasa, tapi tak membangun sarangnya sendiri. Persoalan kaderisasi dan regenerasi kepemimpinan, baik di level organisasi maupun bangsa, merupakan kepedulian utamanya di usia mendekati magrib.
Saat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah dapat sorotan tajam di kalangan Muhammadiyah jelang Muktamar Muhammadiyah Ke-45 tahun 2005, ia tampil terdepan membela para kader intelektual muda itu. Perhatian pada kaderisasi dan masa depan Muhammadiyah jelas terbaca dari kerelaan ASM turun tangan memimpin pembangunan kampus baru Madrasah Muallimin di Sedayu, Bantul, sebagai pusat kaderisasi Muhammadiyah yang mencerminkan miniatur Indonesia.
Sebagai alumnus Madrasah Muallimin, ASM sering mengingatkan almamaternya, pembangunan kampus megah dan modern tak akan berguna jika tak disertai pembaruan sistem pendidikan, kurikulum, dan paradigma para pengajarnya.
Pesan ASM senada dengan permintaan Haedar agar lembaga pendidikan di lingkungan Muhammadiyah terus bertransformasi dan berbakti untuk negeri. Semangatnya, kontribusi Muhammadiyah menembus sekat-sekat kelompok dan kultural. Institusi pendidikan, kata Haedar, harus melahirkan kader bangsa untuk kemanusiaan universal, menjadikan agama bukan sebatas ritual, tapi sumber keadaban dan obor generasi cerdas berkemajuan.
Puritan-inklusif
ASM remaja pernah menghadiri kampanye Partai Masyumi menjelang Pemilu 1955 di Yogyakarta. Pikiran mudanya terobsesi oleh pemikiran Al Maududi dan sejenisnya, merindukan negara Islam. Pastinya, ia merasa asing dengan Pancasila. Obsesi ini terus membungkus alam pikirnya sampai ia menempuh studi master di Universitas Ohio, AS. Jika saja ASM tak bersua dan mengaji kepada Fazlur Rahman, mungkin sulit melihat sosok ASM hari ini.
Seusai menyelesaikan pendidikan doktornya di Universitas Chicago tahun 1983, ia kembali ke Tanah Air dan menetap di Yogya. Satu hari, ada seorang aktivis Islam menemui dan meminta kesediaannya bergabung dan jadi amir (pimpinan) sebuah kelompok pendakwah negara Islam. Namun, menurut ASM, yang telah melalui pergolakan intelektual dan renungan panjang selama studi, tak ada konsep negara Islam di Al Quran.
Pancasila bersenyawa dengan kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk sehingga cocok jadi landasan bernegara. Belakangan diketahui, orang itu motor penggerak kemunculan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) pada 2002.
Saat sejumlah aktivis Islam berencana mendirikan Partai Masyumi baru di tengah euforia demokratisasi politik, salah satu penggagasnya yang merupakan aktivis Islam terkemuka dan alumnus HMI MPO menghubungi ASM. Menawari ASM untuk bergabung dan hendak mendapuknya sebagai ketua. Ia pun menjawab, tidak tertarik.
Rekam jejak ASM mencerminkan proses dialog antara Islam, Pancasila, dan kemanusiaan dengan mengedepankan semangat keterbukaan dan kritik diri. Pembelaan terhadap Pancasila bukan tanpa catatan kritis. Ia berulang kali menggarisbawahi, Pancasila masih bernasib yatim piatu karena sepanjang Republik ini berdiri belum ada pemimpin yang sungguh-sungguh menyantuni sila kelima, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Padahal, pidato Soekarno di depan Sidang BPUPKI 1 Juni 1945 sudah menjanjikan sejak dini, ”tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka”.
Sosok ASM menyodorkan tafsir lain dalam memahami fenomena Muslim modernis-puritan yang selama ini cenderung dipersepsikan secara monolitik: eksklusif, konservatif, intoleran. ”Saya membela pluralisme dan terbuka dalam pergaulan, tetapi saya seorang fundamentalis dalam urusan shalat,” ucapnya.
Di usia yang terus merambat dan genap 85 tahun akhir Mei lalu, stamina intelektual ASM belum menunjukkan tanda-tanda surut. Ia masih rajin berkomunikasi dan bertukar pikiran dengan para pemuka lintas agama, intelektual, aktivis, politisi, jurnalis, hingga pengusaha.
Fajar Riza Ul Haq, Pengurus Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah dan Dewan Pembina MAARIF Institute.