Sejak kelahirannya, Pancasila sudah berkali-kali mempersatukan dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai krisis (khususnya politik, sosial, dan ekonomi) internal maupun eksternal, nasional maupun internasional.
Oleh
Yudian Wahyudi
·3 menit baca
Pancasila merupakan mukjizat ideologi unik abad XX. Pancasila memang mampu mempersatukan berbagai ideologi, yang semula bertarung untuk saling melumatkan, menjadi pembebas bangsa Indonesia dari penjajahan. Hebatnya lagi, pembebasan ini terjadi di tengah kecamuk Perang Dunia II. Perang terdahsyat dalam sejarah, dengan teknologi militer tercanggih, terlengkap, dan termasif, melibatkan angkatan darat, laut, dan udara sekaligus.
Hingga awal Perang Dunia II (1941), Nusantara secara kolektif telah terjajah 430 tahun sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis pada tahun 1511. Mengapa Nusantara jatuh ke tangan silih berganti penjajah begitu lama? Nusantara tidak bersatu dan tidak punya teknologi militer merupakan dua dari sekian penyebab internal terkuatnya.
Memang, pada waktu itu, Nusantara secara geopolitik terdiri atas beberapa ”negara (kesultanan-kesultanan)”, yang dipisahkan oleh berbagai batas alamiah, seperti laut dan gunung. Namun, pada 1 Juni 1945, Nusantara, yang bagian terbesarnya menjadi Indonesia, mendapatkan ideologi pemersatu dan pembebasnya. Sejak 2017, tanggal ini diperingati sebagai Hari Kelahiran Pancasila.
Sejak kelahirannya, Pancasila sudah berkali-kali mempersatukan dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari berbagai krisis (khususnya politik, sosial, dan ekonomi) internal maupun eksternal, nasional maupun internasional. Namun, tiga bulan menjelang hari ulang tahun kelahirannya yang ke-75, Pancasila kembali dihadapkan pada krisis. Pancasila harus kembali mempersatukan dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari ”perang dunia”, tetapi agak berbeda.
Perang medis
Di awal kelahirannya, Pancasila mempersatukan dan membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan militer, tetapi sekarang perang medis. Penjajahan militer merangsek ke semua dimensi kehidupan, khususnya ekonomi. Demikian pula perang medis ini. Bedanya, penjajahan militer terlihat, sedangkan perang medis tidak terlihat: Covid-19.
Makhluk gaib ini sangat ampuh, bahkan mampu membungkam kemampuan militer tercanggih sekalipun. Buktinya, Amerika Serikat sebagai the only super power justru yang terparah dihajar Covid-19.
Perbedaan kedua terletak pada cara penyelesaiannya. Penanganan Covid-19, tidak seperti Perang Dunia II, ini lebih bertumpu pada kedisiplinan menahan diri. Semacam jihad akbar karena sifatnya lebih ke dalam. Lebih internal: bersatu dan bergotong royong. Guyub: menundukkan ego masing-masing hingga titik netral. Rukun: kembali ke fondasi, melaksanakan protokol medis.
Agar berhasil dalam jihad akbar ini, kita perlu melihat kembali pengalaman Presiden Soekarno. Dalam rangka menghadapi konflik internal, bahkan pemberontakan, Bung Karno ”membumikan” sila pertama ke dalam sila keempat menuju sila kedua sehingga tercapai Persatuan Indonesia. Bung Karno bermusyawarah dengan seorang tokoh senior Nahdlatul Ulama, KH Wahab Chasbullah, sehingga ditemukanlah jalan keluar hakiki, yaitu perdamaian harus dari hati ke hati, berlandaskan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa. Solusi itu pun diberi nama halal bihalal.
Kembali ke normal
Dengan halal bihalal, sempurnalah Idul Fitri. Kembali ke fitrah ini disebut pula dengan Lebaran (Jawa: bubar) dalam pengertian kembali menjadi pribadi baru tanpa dosa (konflik). Kita sudah berdamai. Untuk menyelamatkan diri dari ”perang dunia” ini, bangsa Indonesia tidak terlalu membutuhkan teknologi militer. Di sisi lain, gugusan kepulauan yang dulu merupakan kelemahan kini menjadi kekuatan penghambat penyebaran Covid-19.
Idul Fitri berarti pula back to normal. Bangsa Indonesia akan berhasil membangun a new normal life asalkan mereka jihad akbar. Bahu-membahu menundukkan ego di hadapan protokol medis hingga waktu yang ditentukan. Dengan demikian, Pancasila kembali menjadi mukjizat ideologi.
(Yudian Wahyudi Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP))