Penyaluran BLT Desa Terkendala Birokrasi dan Kondisi Geografis Daerah
›
Penyaluran BLT Desa Terkendala...
Iklan
Penyaluran BLT Desa Terkendala Birokrasi dan Kondisi Geografis Daerah
Persoalan sinkronisasi dan keterlambatan penerbitan aturan menjadi penghalang realisasi penyaluran bantuan langsung tunai desa. Aparat di daerah didesak agar mempermudah pencairan BLT desa tersebut.
Oleh
ARIS PRASETYO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga 1 Juni 2020, bantuan langsung tunai atau BLT yang dialokasikan dari dana desa sudah tersalurkan sebanyak Rp 3,4 triliun bagi 5,8 juta keluarga penerima manfaat. Namun, birokrasi dan kondisi geografis daerah menghambat proses penyaluran BLT desa terutama di wilayah Papua, Papua Barat, dan Kabupaten Ngada di Nusa Tenggara Timur.
Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) Abdul Halim Iskandar mengakui, ada kendala di lapangan dalam penyaluran BLT desa, yaitu menyangkut birokrasi dan kondisi geografis daerah.
Kendala birokrasi berupa sinkronisasi data calon keluarga penerima manfaat (KPM) mulai dari tingkat desa hingga kabupaten atau kota yang memakan waktu lama. Selain itu, sejumlah daerah terlambat menerbitkan peraturan bupati tentang pengalokasian dana desa.
”Apabila desa sudah menggelar musyawarah desa khusus untuk menetapkan calon KPM, maka BLT harus segera disalurkan. Situasi sekarang ini mendesak untuk segera disalurkan ke calon KPM,” kata Abdul Halim dalam telekonferensi pers di Jakarta, Selasa (2/6/2020).
Terkait kendala geografis, Abdul Halim mengatakan, hal itu terjadi di Papua, Papua Barat, dan NTT. Di Papua dan Papua Barat, penyaluran BLT desa membutuhkan waktu lama.
Dari laporan yang diterima, aparat desa membutuhkan waktu berhari-hari untuk mengambil uang hasil pencairan dana desa dari kota menuju ke desa masing-masing. Bahkan, mereka meminta ada alokasi untuk biaya transportasi yang diambil dari dana desa.
”Di Kabupaten Ngada, NTT, mereka minta izin untuk menunda penyaluran BLT dana desa dengan berbagai alasan. Saya minta penyaluran tetap ditindaklanjuti,” ujarnya.
Aparat desa membutuhkan waktu berhari-hari untuk mengambil uang hasil pencairan dana desa dari kota menuju ke desa masing-masing. Bahkan, mereka meminta ada alokasi untuk biaya transportasi yang diambil dari dana desa.
Data dari Kemendesa PDTT menyebutkan, masih ada 92 kabupaten dan kota yang realisasi penyaluran BLT desa kurang dari 50 persen. Dari jumlah tersebut, 23 kabupaten dan kota sama sekali belum menyalurkan BLT.
Adapun dari 5,8 juta KPM yang sudah menerima BLT desa, sekitar 1,2 juta KPM kehilangan mata pencarian dan 247.283 keluarga menderita penyakit kronis dalam anggota keluarga mereka.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyoroti rendahnya realisasi penyaluran BLT desa dan bantuan sosial tunai. Presiden memerintahkan kementerian terkait mempercepat proses penyaluran BLT desa dan bantuan sosial tunai.
”Percepatan penyalurannya dengan cara menyederhanakan prosedur. Memotong prosedurnya sehingga masyarakat segera menerima bantuan sosial ini baik itu BLT desa maupun bantuan sosial tunai. Masyarakat saya harapkan juga menanyakan terus kepada RT, RW, atau kepala desa,” kata Presiden seperti dikutip dari laman presidenri.go.id, Sabtu (16/5/2020).
Penggunaan dana desa untuk penyaluran BLT diatur dalam Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 6 Tahun 2020 yang merupakan revisi Peraturan Menteri Desa PDTT Nomor 11 Tahun 2019 tentang Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2020.
Dalam peraturan tersebut, untuk pagu dana desa kurang dari Rp 800 juta, alokasi BLT ditetapkan 25 persen dari dana desa. Sementara untuk pagu Rp 800 juta hingga Rp 1,2 miliar, alokasi BLT sebesar 30 persen. Adapun pagu dana desa di atas Rp 1,2 miliar, alokasinya ditetapkan 35 persen.
Pemerintah pusat juga menambah nilai BLT desa bagi setiap KPM dari Rp 1,8 juta menjadi Rp 2,7 juta. Dengan perubahan nilai dana yang disalurkan itu, total anggaran BLT desa itu meningkat dari Rp 21,19 triliun menjadi Rp 31,79 triliun.
Penyaluran BLT desa yang semula Rp 600.000 per KPM per bulan selama tiga bulan, yakni April, Mei, dan Juni, diperpanjang menjadi enam bulan. Hanya saja, tiga bulan berikutnya atau mulai Juli hingga September, besaran BLT desa berkurang menjadi Rp 300.000 per KPM per bulan.