Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan mengirim tentara untuk meredam unjuk rasa di AS. Sejumlah pihak menyayangkan tindakan Trump yang dinilai justru kontraproduktif.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Washington, Senin - Unjuk rasa damai di Lafayette Park, dekat Gedung Putih Amerika Serikat, berubah ricuh setelah aparat kepolisian menembakkan gas air mata dan peluru karet. Presiden AS Donald Trump mengancam akan mengerahkan ribuan tentara untuk mengakhiri gelombang aksi protes terkait pembunuhan George Floyd (46), warga kulit hitam yang tewas setelah lehernya ditindih dengan lutut oleh Derek Chauvin, seorang anggota polisi Minneapolis. Floyd ditahan karena dituduh membeli rokok dengan uang palsu. Gelombang unjuk rasa dan kerusuhan akibat kasus Floyd telah berlangsung selama enam hari.
“Jika kota atau negara bagian tidak mau mengambil tindakan tegas untuk menjaga kehidupan dan properti warganya, saya akan mengerahkan militer AS dan segera menyelesaikan masalahnya,” kata Trump di Gereja Episcopal, St John dengan didampingi Jaksa Agung AS William Barr, Senin (1/6/2020).
Untuk mencapai gereja itu, aparat keamanan yang terdiri dari polisi militer Garda Nasional, Dinas Rahasia, aparat polisi dari Departemen Keamanan Dalam Negeri, dan aparat polisi Distrik Kolumbia memaksa demonstran mundur. Trump mengecam pembunuhan Floyd dan berjanji akan menegakkan keadilan tetapi di sisi lain Trump menggambarkan para demonstran sebagai penjahat.
Trump dituding justru memicu ketegangan dan konflik ras padahal sebagai presiden ia seharusnya menyatukan bangsa. Gubernur New York Andrew Cuomo tidak setuju dengan penggunaan kekerasan terhadap demonstran apalagi hanya untuk membukakan jalan bagi Trump. “Presiden justru seperti memerintahkan militer AS melawan rakyatnya sendiri,” ujarnya.
Autopsi kedua
Hasil autopsi kedua atas pemintaan keluarga Floyd membuktikan telah terjadi “sesak napas mekanis” yang berarti suplai oksigen ke Floyd terganggu karena ada tekanan fisik. Laporan itu juga menyebutkan ada tiga polisi yang ikut berkontribusi pada kematian Floyd. “Dari bukti-bukti yang ada, konsisten dengan sesak napas mekanis sebagai penyebab kematian,” kata Aleccia Wilson, pakar dari University of Michigan yang melakukan autopsi atas permintaan keluarga.
Secara rinci disebutkan kematian Floyd merupakan bentuk pembunuhan dan pada saat kejadian, Floyd mengalami serangan kardiopulmoner. Ia juga menderita penyakit jantung arteriosklerotik dan hipertensi, keracunan fentanyl. Ia juga baru-baru ini menggunakan metamfetamin. Derek Chauvin (44), polisi yang menginjak leher Floyd, ditahan dan didakwa dengan pembunuhan tingkat tiga dan pembunuhan tidak sengaja tingkat dua.
Kerusuhan yang terjadi di puluhan kota di AS kini berujung pada pemberlakuan jam malam. Situasi seperti itu belum pernah terjadi sebelumnya sejak kerusuhan pasca pembunuhan Martin Luther King Jr pada 1968. Kini pasca kematian George Floyd, Garda Nasional dikerahkan di 23 negara bagian dan Washington, D.C.
Jam malam diberlakukan di lebih dari 40 kota termasuk New York ketika mayoritas warga AS baru saja terbebas dari kebijakan karantina untuk mencegah penyebaran wabah korona. Saudara Floyd, Terrence Floyd, meminta masyarakat AS untuk tidak berbuat rusuh apalagi menjarah karena pihak keluarga mengharapkan dukungan damai. “Sebaiknya kita pakai cara lain, bukan dengan kekerasan dan merusak,” ujarnya.
Rencananya, prosesi pemakaman Floyd akan dilakukan 9 Juni mendatang di Houston tempat ia dibesarkan. Sebelumnya, akan ada acara mengenang Floyd, Kamis mendatang, di Minneapolis dan di North Carolina.