Membaca seni pertunjukan bukan semata tentang episentrum estetis, tetapi juga jejaring ekosistem di selingkarnya, termasuk tumbuhnya ekonomi akar rumput, seperti para penjual makanan, mainan, dan tukang parkir.
Oleh
Aris Setiawan
·5 menit baca
Apa yang terjadi pada seni pertunjukan kita setelah pandemi covid-19 ini usai kelak? Kemungkinan besar, seni pertunjukan dengan karateristik “ruang pentas” yang berhadapan langsung dengan tubuh penonton akan terkoreksi tajam di masa mendatang. Covid-19 yang mengakibatkan pencanangan berbagai pembatasan sosial memungkinkan berubahnya ekosistem seni pertunjukan.
Selama ini, ukuran keberhasilan suatu pertunjukan masih ditentukan dari seberapa banyak penonton yang hadir dan membeli tiket. Tetapi hari ini, hal tersebut tidak mungkin terjadi. Seni pertunjukan dihadapkan pada satu situasi genting, yang entah sampai kapan akan berakir, harus berkompromi untuk tak menjadi sumber pengumpul masa.
Peristiwa itu bertolak belakang dengan kodrat seni pertunjukan yang senantiasa beririsan dengan gedung-gedung pementasan, panggung, studio, pelataran dan ruang terbuka, di mana kehadiran tubuh penonton menemukan urgensinya. Pandemi mengharuskan format pertunjukan berganti, dari luring (offline) menjadi daring (online).
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menginisasi pementasan daring lewat akun youtube “Budaya Saya”. Seniman diperkenankan mengajukan karyanya untuk diseleksi, kemudian disiarkan pementasannya secara langsung (live). Format daring menjadi satu-satunya alternatif dalam mempertahankan nafas kehidupan seni pertunjukan mutakhir.
Kelompok musik Riau Rhytem misalnya, lewat kanal yang dikelola Kemendikbud tersebut, melakukan pementasan pada 30 Maret 2020, ditonton lebih dari 5000 orang. Begitu juga dengan penari Eko Supriyanto lewat kelas koreografinya, ditonton lebih dari 1500 orang. Fenomena pementasan daring ini membawa satu konsekuensi problematis, mengalihkan dunia seni pertunjukan pada format barunya, dari tontonan (meminjam istilah Ariel Heryanto, 2014) menjadi “budaya layar”. Mengubah tubuh-tubuh seniman yang biasanya terbaca secara langsung dan nyata menjadi gambar-gambar bergerak dalam layar gawai.
Peristiwa yang demikian tidak saja berdampak pada gaya penikmatan. Sebelum pandemi, penonton telah mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk menikmati suguhan pertunjukan, sehingga luapan estetis dapat terserap sepenuhnya dan maksimal. Sementara budaya layar mengecilkan citra itu, membatasi jarak antara seniman, panggung dan penonton. Terlebih, penonton dapat melihat pertunjukan bersamaan dengan berbagai aktifitas lain seperti mencuci, makan, tiduran, dan sebagainya.
Budaya layar meniscayakan seni pertunjukan sebagai tontonan sepintas, yang bisa dimatikan, ditinggalkan untuk diganti sajian –saluran- lain seketika. Dengan demikian ukuran seberapa banyak publik yang menonton (viewer) pementasan daring tidak sertamerta dapat digunakan sebagai patokan atau acuan angka pasti. Budaya layar senantiasa mengkultuskan pada hasrat atau ketertarikan yang menggebu sedari awal. Kemampuan untuk menarik minat penonton inilah yang sangat riskan terjerembab dalam dualisme resiko, antara menyuguhkan pertunjukan bermutu atau semata menghibur.
Hal itu kemudian tidak saja mengganti bentuk dan gaya sajian tapi juga menyisakan persoalan lain yang tidak kalah problematik, yakni memungkinkan seni pertunjukan terjebak secara “filmis”, ada dramatisasi yang lebih mengutamakan sisi tampilan visual agar layak untuk tampil di layar media elektronik kita semacam gawai dan layar komputer. Dengan kata lain agar tidak monoton dan membosankan.
Bisa dibayangkan, bagaimana selama satu jam penuh harus melihat konser gamelan, di mana para pemainnya bergerak secara terbatas misalnya. Betapa menjemukan. Di sisi lain, jejak pertunjukan daring dengan seketika akan dapat kita nikmati ulang kapanpun dalam linimasa media sosial (youtube, instagram, twitter, facebook, dan lainnya). Tetapi itu juga berpotensi mengubah citra bahwa pertunjukan daring tidak lebih dari sebuah dokumentasi seni.
Kita masih berpatokan bahwa media sosial seakan-akan tidak berkontribusi besar membentuk-ulang berbagai artikulasi kultural dalam kehidupan sehari-hari (Budiawan, 2015). Media sosial adalah faktor utama yang turut menegosiasikan eksistensi seni pertunjukan di hari ini, untuk terus berubah, melakukan penyiasatan, berkompromi agar tetap hidup dan bertahan, kendatipun dalam ruangnya yang semakin mengecil, tereduksi, sulit dan terbatas.
Harus diakui, pandemi menjadi musibah yang gagap disikapi oleh hampir sebagian seniman seni pertunjukan. Tidak semua seniman memiliki akses dan kemampuan mengolah pertunjukan dalam bentuk daring. Terlebih untuk seniman-seniman tradisi yang jarang bersentuhan dengan teknologi.
Mereka yang awalnya semata mengandalkan pementasan-pementasan langsung untuk berhadapan dengan penonton, detik ini mengalami nasib hidup paling memprihatinkan. Para pengrawit wayang, ludruk, ketoprak, dalang, penari tradisi adalah beberapa di antaranya.
Mak Temu, maestro tari Gandrung dari Banyuwangi berpotensi tidak mendapat bantuan dari pemerintah (untuk para seniman), hanya karena ia tak bisa merekam karyanya lewat gawai sebagaimana seniman tersohor ibu kota. Sekadar untuk merekam karyanya dalam bentuk video sebagai syarat menerima bantuan saja kesulitan, bisa dibayangkan bagaimana ke depannya saat semua pertunjukan harus berformat digital.
Kita berharap pandemi segera berakhir. Itupun pasti akan membawa konsekuensi berupa gaya hidup normal baru (newnormal) dengan berbagai pengecualian dan ketakutan-ketakutan yang juga baru. Mendatangi panggung pementasan tentu akan sangat beresiko, dan tidak mustahil mengakibatkan beberapa dari sekian banyak seni pertunjukan akan gulung tikar.
Membaca seni pertunjukan bukan semata tentang episentrum estetis, tetapi juga jejaring ekosistem di selingkarnya, termasuk tumbuhnya ekonomi akar rumput, seperti para penjual makanan, mainan, tukang parkir yang laris saat ada tontonan. Semua itu tak mampu dijangkau oleh budaya layar. Terlebih seni pertunjukan tradisi misalnya, yang seringkali dinikmai secara murah bahkan gratis, harus terdistorsi dengan format daring yang lebih menekankan ketercukupan kuota internet.
Tetapi, dengan melihat daya tahan seni pertunjukan (tertutama berbasis tradisi) di negeri ini, setidaknya kita patut optimis, bahwa segala persoalan termasuk pandemi akan menjadi tantangan menarik demi daya tahan dan eksistensi ke depannya. Bukankah selama ini benturan-benturan persoalan selalu berkelindan dalam seni pertunjukan –tradisi- kita, dan dalam kurun waktu itu pula seni pertunjukan mampu bertahan lewat berbagai kreasi, kebaruan, dan penyiasatan-penyiasatan.
Selama daya kreativitas seniman tidak mati, maka seni pertunjukan akan tetap ada dan dapat kita nikmati, walapun dengan kekagetan dan kegagapan baru.
(Aris Setiawan Etnomusikolog, Pengajar di ISI Surakarta)