Dalam sepekan terakhir ini, Amerika Serikat diguncang gejolak unjuk rasa dan kerusuhan rasial. Belum ada tanda-tanda otoritas dan aparat keamanan AS mampu mengendalikan situasi.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
WASHINGTON, SENIN – Kerusuhan rasial di Amerika Serikat, sebagai buntut dari tewasnya George Floyd setelah ditangkap dan dianiaya polisi, memasuki hari keenam, Minggu (31/5/2020) waktu setempat atau Senin WIB. Warga AS di sejumlah wilayah seantero negeri itu turun ke jalan di kota-kota, memprotes kekerasan dan sikap rasialisme oleh polisi terhadap warga kulit hitam.
Kemarahan, perasaan diperlakukan secara tidak adil, protes atas kebrutalan polisi, dan ekspresi pemberontakan atas perlakuan rasialisme aparat tergambar dari kerusuhan di sejumlah kota di AS, sepekan terakhir. Gejolak rasial ini terjadi saat AS masih keteteran menangani pandemi Covid-19. Lebih dari 100.000 warga AS meninggal akibat wabah itu. Jumlah penganggur melonjak pada tingkat yang belum pernah terjadi sejak Depresi Besar tahun 1930-an.
Unjuk rasa berlatar belakang isu rasial itu dipicu tewasnya Floyd, pria kulit hitam, setelah lehernya ditekan dengan dengkul selama hampir sembilan menit oleh polisi berkulit putih di Minneapolis, Negara Bagian Minnesota, Senin (25/5). Floyd yang tinggal di kawasan Hennepin itu tewas setelah kehabisan napas. Insiden ini memicu unjuk rasa besar-besaran yang meluas hingga wilayah-wilayah lain di AS.
Demonstrasi yang berlangsung damai pada siang hari berubah menjadi bentrokan dan kerusuhan pada malam hari. Di beberapa kota, penjarahan pun terjadi. Di tempat lain, polisi mencoba meredakan eskalasi dengan berlutut, sebagai bentuk solidaritas bersama pendemo sambil tetap berjaga-jaga.
Harian The New York Times menyebutkan, demonstrasi dan kerusuhan terjadi di setidaknya 140 kota di seantero AS. Para wali kota pun memberlakukan jam malam di hampir 40 kota. Ini pemberlakuan jam malam terluas di AS sejak 1968, menyusul terbunuhnya Martin Luther King Jr, yang kala itu, seperti kini, terjadi pada musim kampanye pemilu presiden.
Sekitar 20 negara bagian memanggil pasukan Garda Nasional untuk meredam demonstrasi. Tindakan tersebut mungkin bisa meredakan situasi. Namun, berkaca dari pengalaman kasus tewasnya Freddie Grey oleh polisi di Baltimore pada April 2015 dan Michael Brown juga oleh polisi di Ferguson Missouri pada Agustus 2014 demonstrasi berlangsung berminggu-minggu.
Kematian Floyd di Minneapolis kian memantik api kemarahan warga AS yang lebih besar. Sebelumnya, percikan amarah warga terhadap kekerasan polisi dan sikap rasialis telah muncul ketika seorang warga kulit hitam, Ahmaud Arbery, pada Februari 2020, ditembak warga kulit putih di Georgia, dan polisi di Louisville menembak Breonna Taylor di rumahnya, Maret 2020.
Eskalasi demonstrasi dari pantai timur hingga pantai barat AS itu disebut-sebut sebanding dengan era demonstrasi hak-hak sipil dan perang Vietnam. ”Unjuk rasa ini tentu bukan hanya tentang terbunuhnya Floyd secara khusus, melainkan tentang kekejaman dan pembunuhan yang diwakili oleh kematiannya,” tulis Charles M Blow, kolumnis New York Times (31/5/2020).
”(Unjuk rasa) ini menyangkut kemarahan atas perasaan tak berdaya, dikejar dan dicari-cari, direndahkan, serta diperlakukan tidak manusiawi.”
Diungsikan ke bungker
Di ibu kota Washington DC, unjuk rasa massa mendekati Gedung Putih, kantor dan kediaman Presiden AS Donald Trump. Pada Jumat malam, Trump sempat diungsikan pasukan pengawal kepresidenan ke bungker Gedung Putih saat ratusan demonstran berkumpul di luar area kediaman eksekutif Gedung Putih. Sebagian pengunjuk rasa melemparkan batu-batu dan mendorong barikade polisi yang berjaga-jaga di kompleks Gedung Putih.
Polisi menembakkan gas air mata dan granat kejut ke kerumunan lebih dari 1.000 orang di dekat Lafayette Park, kompleks Gedung Putih. Kerumunan pendemo itu pun berlarian, membakar rambu-rambu lalu lintas dan barikade plastik di jalan-jalan. Beberapa orang menarik bendera AS dari gedung dan membakarnya.
Salah seorang politisi Republik yang dekat dengan Gedung Putih menuturkan, Minggu (31/5/2020) waktu setempat atau Senin pagi WIB, Trump berada di bungker Gedung Putih selama hampir satu jam.
Dalam cuitannya di Twitter, Minggu (31/5), Trump menyalahkan kaum anarkis dan media atas kekerasan yang terjadi. Jaksa Agung William Barr menuding kelompok ”ekstrem kiri”. Pimpinan polisi dan politisi menuduh pihak luar sebagai penyebab masalah di AS saat ini.
Pengunjuk rasa menuntut hukuman setimpal bagi para polisi pembunuh Floyd. Mereka juga menyerukan reformasi di kepolisian untuk mengakhiri tindakan-tindakan brutal, khususnya terhadap warga kulit hitam dan kulit berwarna.
”Kami belum selesai,” kata Darnella Wade, inisiator kampanye Black Lives Matter di St Paul, kota tetangga Minneapolis, Minnesota. Ia mengatakan, pengunjuk rasa menginginkan empat polisi yang terlibat dalam pembunuhan Floyd ditangkap dan dihukum dengan adil.
Pemerintah dan kepolisian Minnesota telah memberhentikan empat polisi itu. Namun, sejauh ini hanya Derek Chauvin yang diajukan ke pengadilan. Tiga polisi lainnya, yaitu Tou Thao, J Alexander Kueng, dan Thomas K Lane, masih bebas dan belum dituntut.
Sementara itu, di Atlanta, Walikota Keisha Lance Bottoms, menyatakan, dua orang polisi telah dipecat dan tiga lainnya dipindahkan dari tugas lapangan setelah menggunakan kekerasan berlebihan selama insiden penangkapan yang melibatkan dua mahasiswa, Sabtu malam.
Dalam jumpa pers, Bottoms menyampaikan bahwa dirinya bersama Kepala Kepolisian Erika Shields mengambil keputusan itu setelah meninjau ulang rekaman dari kamera yang dipasang di badan polisi. “Penggunaan kekerasan yang berlebihan tidak bisa diterima,” tegas Bottoms. Sedangkan Shields mengatakan bahwa rekaman tersebut “benar-benar mengejutkan.”
Solidaritas di luar AS
Unjuk rasa antirasialisme juga bermunculan di sejumlah negara sebagai bentuk dukungan kepada warga kulit hitam AS. Salah satunya, di Inggris yang merupakan sekutu tradisional AS. Ribuan orang mengabaikan aturan berkerumun untuk mencegah penyebaran Covid-19 dengan berkumpul di pusat kota London, Inggris Minggu (31/5/2020), untuk memberikan dukungan kepada para pendemo di AS.
Mereka meneriakkan “Tidak ada keadilan! Tidak ada perdamaian!” sambil membawa poster bertuliskan “berapa banyak lagi?”. Polisi pun tidak menghentikan mereka. Pengunjuk rasa kemudian berjalan menuju Kedutaan Besar AS yang telah diamankan oleh para petugas.
Kedutaan Besar AS di Denmark dan Kedutaan Besar AS di Berlin, Jerman juga menjadi sasaran demonstrasi mendukung warga kulit hitam di AS. Unjuk rasa serupa terjadi juga di Selandia Baru, Kanada, Brasil.
Konsulat Jenderal RI (KJRI) Chicago melalui siaran persnya menyebutkan, di kota-kota yang dilanda unjuk rasa kondisi WNI dalam keadaan baik dan aman. Jumlah WNI yang tinggal di beberapa kota lokasi unjuk rasa, yaitu Chicago (864 orang), Minneapolis-St Paul (272), Detroit (334), Des Moines (36), Cincinnati (81), Columbus (277), Cleveland (68), Toledo (31), dan Dayton (27).
”KJRI Chicago terus meningkatkan komunikasi dan koordinasi dengan warga masyarakat Indonesia di kota-kota tempat terjadinya aksi-aksi,” demikian pernyataan KJRI Chicago.