Sebagian permukiman warga tetap memberlakukan pembatasan akses keluar masuk meskipun akan berlaku pelonggaran pembatasan sosial berskala besar menuju normal baru.
Oleh
FRANSISKUS WISNU WARDHANA DANY
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelonggaran pembatasan sosial berskala besar menuju normal baru tidak serta-merta mengendurkan kewaspadaan warga terhadap SARS-Cov-2 penyebab Covid-19. Mereka tetap membatasi akses keluar masuk permukiman.
Warga mulai membatasi akses keluar masuk permukiman semenjak pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Mereka menutup banyak jalur sehingga hanya menjadi satu jalur, mendirikan pos penjagaan, serta membatasi tamu dan pengojek daring ataupun pengantar paket.
Pembatasan itu tetap berlaku di sejumlah titik menjelang normal baru. Warga RW 009 dan 010 Kelurahan Kramatjati, Jakarta Timur, misalnya, hanya membuka jalan utama. Sementara gang-gang kecil ditutup menggunakan rantai.
”Belum akan dibuka dalam waktu dekat. Tetapi, ada rencana untuk tutup pukul 00.00 hingga pukul 05.00 saja. Penjagaan dari tim gugus tugas tingkat keluarahan yang tersebar ke tiap-tiap RW,” ucap Darma, anggota Lembaga Musyawarah Kelurahan Kramatjati, Selasa (2/6/2020). Rencana sistem buka tutup itu masih dalam tahap pembicaraan dengan warga.
Pembatasan akses keluar masuk juga masih berlaku di Kelurahan Gelora, Jakarta Pusat. Setiap rukun warga masih membatasi akses ke permukiman dengan hanya melalui satu jalur dengan sistem buka tutup.
Menurut Ketua RW 002 Kelurahan Gelora Bahrudin, warga tetap berjaga secara bergilir di setiap pos pada akses keluar masuk. ”Seperti biasa ditanyai keperluannya apa dan ke rumah siapa. Semua untuk mencegah penyebaran Covid-19,” ucap Bahrudin.
Bahkan, ada sejumlah warga setempat yang tidak menerima tamu karena ada warga lanjut usia di rumahnya. Untuk itu, pada pagar rumah ditempel kertas bertuliskan tidak menerima tamu. Salah satunya di rumah Muslimah. Pada pagar rumah wanita paruh baya itu ditempel pemberitahuan tidak menerima tamu.
Keselamatan warga
Pelonggaran PSBB, terutama di DKI Jakarta, daerah penyangga Ibu Kota, dan daerah zona merah lain jangan sampai mengabaikan keselamatan warga.
Epidemiolog Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif, di Jakarta, Senin (1/6/2020), mengatakan, angka penularan kasus Covid-19 di DKI Jakarta saat ini (Rt) masih relatif tinggi, yakni 1,09. Angka Rt di atas 1 itu belum memenuhi syarat pelonggaran PSBB. Besar kemungkinan angka itu akan kembali naik setelah Lebaran ini. ”Bukan karena pemudik, melainkan pergerakan internal yang longgar,” ucapnya.
Jika dilihat dari jumlah kasus Covid-19, DKI Jakarta masih merupakan provinsi dengan tingkat risiko penularan paling tinggi. Data pada 28 Mei 2020 saja masih menunjukkan 67,97 dari 100.000 penduduk di Ibu Kota terpapar virus SARS-Cov-2.
Karena itu, menurut Syahrizal, pergerakan manusia dari DKI Jakarta ke daerah lain masih perlu dibatasi. ”Yang perlu diwaspadai adalah orang Jakarta yang keluar, bukan orang luar yang masuk Jakarta,” ujarnya menegaskan.
Epidemiolog Universitas Padjadjaran, Panji Hadisoemarto, secara terpisah mengingatkan, penambahan kasus harian menunjukkan bahwa transmisi virus korona baru masih terjadi di komunitas. Dari segi epidemiologi, sebenarnya Indonesia belum layak menuju normal baru. Wacana normal baru dipersepsikan keliru oleh masyarakat bahwa situasi aman untuk beraktivitas biasa. Padahal, dalam normal baru, harus ada protokol keamanan ketat agar tidak terjadi lagi ledakan wabah, seperti warga harus tetap jaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan.
Sementara menurut sosiolog bencana dari National Technological University Singapura, Sulfikar Amir, normal baru jangan hanya menjadi justifikasi untuk membuka kegiatan ekonomi dengan mengabaikan risiko masyarakat. ”Selain syarat epidemiologi, juga penting dipenuhi adalah syarat sosial, di antaranya masyarakat siap untuk tetap menjaga diri maupun orang lain agar tidak tertular,” katanya.
Lanjut Sulfikar, jika normal baru dipaksakan, sebelum syarat dipenuhi, akan terjadi gelombang wabah lebih besar. Padahal, di masyarakat terdapat kelompok yang lebih rentan, baik secara medis maupun sosial ekonomi. ”Jika wabah ini meledak dan menular luas di permukiman padat dan miskin kota, akan menjadi masalah besar. Ini misalnya terjadi di Italia dan juga Brasil, di mana sistem kesehatan akhirnya membuat prioritas mana yang harus dirawat dan tidak,” ucapnya.