Meski kampanye kesehatan dan antirokok terus digencarkan, jumlah perokok pemula di Indonesia masih meningkat. Sebagian pemula menggunakan rokok elektrik yang sebenarnya juga memiliki dampak berbahaya terhadap kesehatan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS--Upaya pengendalian tembakau di Indonesia kian berat dengan meningkatnya penggunaan rokok elektrik. Beban ini terutama untuk mengendalikan jumlah perokok pemula yang terus bertambah.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 ditargetkan, prevalensi perokok pemula pada usia 10-18 tahun bisa menurun menjadi 5,4 persen. Namun, kondisi yang terjadi saat ini justru jumlah perokok pemula semakin meningkat. Pada 2013, prevalensi perokok pemula sebesar 7,2 persen. Jumlah ini terus meningkat menjadi 9,1 persen pada 2018. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional memprediksi prevalensi ini akan meningkat menjadi 15 persen pada 2020 dan 16 persen pada 2030.
Direktur Promosi Kesehatan Masyarakat dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Riskiyana Sukandhi Putra di Jakarta, Selasa (2/6/2020), menyampaikan, upaya pengendalian tembakau terutama pada usia muda ini dinilai semakin berat dengan penggunaan rokok elektrik. Peningkatan signifikan terjadi pada jumlah perokok elektrik pada penduduk usia 10-18 tahun.
“Pada 2016 tercatat prevalensi perokok elektrik usia 10-18 tahun sebesar 1,2 persen. Jumlah ini meningkat menjadi 10,9 persen pada 2018. Rokok elektrik menjadi beban ganda dalam pengendalian tembakau pada remaja di Indonesia,” katanya.
Menurut dia, selain menyebabkan adiksi, nikotin pada rokok dapat merusak kerja sistem kerja otak. Akibatnya, proses belajar, kemampuan untuk mengendalikan diri, dan daya ingat anak bisa terganggu. Risiko ini juga berlaku pada penggunaan rokok elektrik.
Hasil survei
Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya dan Pelayanan Kesehata Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kemenkes, Irmansyah mengatakan, peredaran rokok elektrik pada anak semakin marak. Survei Balitbangkes pada 9.992 pelajar di 148 sekolah menunjukkan, sebanyak 41,5 persen pelajar mengetahui rokok elektrik dari temannya. Sebanyak 15,7 persen pelajar mengetahui rokok elektrik dari internet. Rokok elektrik dibeli dari teman dan melalui penjualan daring.
“Pengaturan penjualan dan iklan di sosial media dan internet terkait rokok elektrik harus segera diterbitkan,” ujar dia.
Sekretaris Umum Pengurus Pusat Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Erlang Samoedro mengatakan, rokok elektrik memiliki risiko kesehatan yang sama berbahayanya dengan rokok konvensional. Rokok elektrik juga mengandung nikotin dan bahan karsinogen yang bisa mengancam kesehatan seseorang.
Menurut Erlang, penggunaan rokok juga berisiko meningkatkan potensi penularan Covid-19. Perokok bisa dua kali lipat lebih mudah tertular penyakit tesebut. Selain itu, perokok bisa mengalami gejala penyakit yang lebih berat ketika tertular Covid-19 dibanding dengan yang tidak merokok. Risiko ini juga berlaku pada perokok usia muda.
“Merokok bisa berisiko terular Covid-19, antara lain karena perokok biasanya mengalami gangguan imunitas pada saluran napas dan paru. Merokok juga dapat meningkatkan regulasi reseptor angiotensin-converting enzyme-2 (ACE-2) yang menjadi reseptor virus penyebab Covid-19. Perokok biasanya sering menyentuh mulut dengan tangan tanpa mencuci tangan, padahal tangan rentan terkontaminasi virus,” tuturnya.
Berdasarkan survei di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, setidaknya 58 persen pasien Covid-19 laki-laki adalah perokok. Dari survei lain, sebagian besar perokok yang tertular Covid-19 lebih rentan mengalami kondisi lebih parah. Pasien Covid-19 yang merokok 14 kali lebih mudah terkena Pnemonia daripada bukan perokok. Risiko kematian pun akan semakin tinggi.
Representatif Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia, Paranietharan mengungkapkan, besarnya risiko perokok untuk tertular Covid-19 seharusnya bisa menjadi momentum yang baik untuk menggencarkan promosi kesehatan untuk berhenti merokok. Berbagai persoalan kesehatan banyak yang disebabkan oleh kebiasan merokok, terutama beban penyakit tidak menular seperti gangguan jantung dan paru-paru, hipertensi, dan stroke.
Persoalan ini kian berat karena jumlah perokok pemula yang terus bertambah. Secara global, jumlah perokok pemula meningkat hingga 20 persen tahun 2018. “Saya harap kondisi ini bisa mendorong pemerintah Indonesia untuk segera turut meratifikasi pengendalian produk tembakau (FCTC). Dengan begitu, upaya pengendalian yang dilakukan bisa semakin optimal,” katanya.