Penangkapan bekas Sekretaris MA Nurhadi diharapkan jadi pintu masuk membongkar dugaan mafia peradilan. Karena itu, pengusutan kasus ini perlu dikembangkan.
Oleh
Prayogi Dwi Sulistiyo/Rini Kustiasih
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Penangkapan bekas Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi diharapkan dapat membuka penyelidikan kasus-kasus suap di dunia peradilan atau dugaan adanya praktik mafia peradilan. Oleh karena itu, pengusutan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi diharapkan tidak hanya berhenti pada kasus dugaan suap yang melibatkan Nurhadi.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Nurul Ghufron, Selasa (2/6/2020), menuturkan, Nurhadi yang menjadi buronan KPK sejak 13 Februari 2020 ditangkap pada Senin (1/6/2020) malam. Nurhadi ditangkap bersama menantunya, Rezky Herbiyono.
Nurhadi dan Rezky menjadi tersangka dalam kasus pengurusan perkara di Mahkamah Agung (MA) tahun 2011-2016 sejak 16 Desember 2019. Nurhadi dan Rezky diduga menerima hadiah dalam pengurusan perkara perdata PT MIT melawan PT KBN (Persero) sekitar Rp 14 miliar. Mereka juga diduga menerima uang dalam perkara perdata sengketa saham di PT MIT sekitar Rp 33,1 miliar dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan sekitar Rp 12,9 miliar.
KPK, lanjut Nurul Ghufron, menangkap Nurhadi dan Rezky di sebuah rumah di Simprug, Jakarta Selatan. KPK turut mengamankan istri Nurhadi, Tin Zuraida, di rumah itu. Tin yang turut menjadi saksi dalam kasus Nurhadi sudah dua kali mangkir dari panggilan pemeriksaan KPK.
Dalam penangkapan tersebut, Nurhadi sempat tidak mau membukakan pintu. Akibatnya, petugas KPK harus membuka paksa pintu setelah berkoordinasi dengan pengurus RW dan RT setempat.
Adapun satu tersangka lainnya dalam kasus itu, yaitu Direktur MIT Hiendra Soenjoto, hingga kini masih buron.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani, meminta agar pengusutan oleh KPK tidak berhenti hanya pada kasus yang menyebabkan Nurhadi menjadi tersangka.
”Kasus yang saat ini disidik hendaknya menjadi pintu masuk untuk mengusut dugaan adanya kasus suap di dunia peradilan yang selama ini dipersepsikan masyarakat sebagai praktik mafia peradilan, meski bisa jadi istilah mafia ini tidak pas karena masih harus dibuktikan lebih lanjut,” katanya.
Untuk kepentingan itu, KPK bisa saja mempertimbangkan memberikan keringanan tuntutan hukum kepada Nurhadi. Namun, dengan syarat ia bersedia bekerja sama membongkar kasus-kasus suap lain.
Jika KPK berhasil mengembangkan kasus Nurhadi, Arsul yakin hal itu akan membantu dunia peradilan mendapatkan kepercayaan publik, ataupun pihak-pihak lain, termasuk pebisnis dan investor asing.
Buka peluang PK
Mantan Hakim Agung Topane Gayus Lumbuun mendorong MA memberikan kesempatan kepada pihak-pihak beperkara untuk mengajukan peninjauan kembali (PK) jika kelak Nurhadi terbukti bersalah. Ini khususnya dalam kasus perdata yang telah diputus kalah oleh pengadilan dan putusan itu terkait dengan peranan Nurhadi di dalamnya.
”MA harus memberikan kesempatan keadilan bagi korban, yakni agar mereka bisa mengajukan upaya hukum PK, dan diadili kembali secara obyektif, netral, dan adil. Sebab, pihak beperkara yang dikalahkan ini boleh jadi adalah korban yang timbul akibat penyimpangan kewenangan pejabat atau pegawai peradilan,” ujarnya.
Prinsip pemberian keadilan ini tidak hanya berorientasi prosedur formal, tetapi juga dilandasi spirit keadilan substantif.
”Prinsip pemberian keadilan ini mengikuti teori restorative justice (keadilan restoratif), yang bertujuan memulihkan hak dari pihak-pihak yang dirugikan. Jika MA melakukan hal ini, tindakan itu dapat menjadi role model bagi putusan-putusan serupa,” katanya.