Selama bertahun-tahun, para pemain sepak bola menjalani “laga” panjang melawan rasisme. Dengan adanya kasus George Floyd di Amerika Serikat, semangat untuk memenangi “laga” ini kian berkobar.
Oleh
D HERPIN DEWANTO PUTRO
·4 menit baca
Penyerang sayap Borussia Dortmund, Jadon Sancho, membuka seragamnya usai mencetak gol pertama ke gawang Paderborn, Senin (1/6/2020) dini hari WIB. Kaus dalamnya yang juga berwarna kuning terlihat dan menampakkan tulisan tangan, “Keadilan untuk George Floyd”.
Setelah mengetahui lokasi kamera yang menayangkan laga tersebut, bintang muda asal Inggris itu kemudian menarik ujung kausnya agar tulisan tersebut lebih jelas terlihat. Sancho tidak peduli ketika wasit mengganjarnya dengan kartu kuning karena melepas seragam saat selebrasi.
Ia ingin dunia melihat pesan yang ingin ia sampaikan bahwa George Floyd, pria kulit hitam yang tewas pada pekan lalu akibat kekerasan polisi ketika ditangkap di Minnesota, Amerika Serikat, membutuhkan keadilan. Floyd tewas setelah Derek Chauvin, polisi berkulit putih menindih leher Floyd dengan lututnya selama hampir 9 menit.
Meski Floyd berulang kali memohon agar dilepaskan karena tidak bisa bernapas, Chauvin maupun polisi lainnya di sekitar lokasi itu, bergeming. Kematian Floyd ini pun memantik amarah warga AS maupun negara lainnya karena menjadi bukti, perlakuan rasial masih terus terjadi. Ironisnya, hal itu dilakukan oleh polisi yang seharusnya bertugas sebagai pelindung.
Amarah itu pun menjalar ke lapangan hijau dan membuat Sancho berinisiatif merencanakan selebrasi tersebut. Pada laga lainnya di Bundesliga, pemain Borussia Moenchengladbach, Marcus Thuram, berusaha menyampaikan pesan sama. Namun, anak eks pemain Perancis, Lilian Thuram, itu melakukannya dengan cara berlutut satu kaki usai mencetak gol ke gawang Union Berlin.
Di Inggris, para pemain Liverpool berfoto bersama dengan membentuk lingkaran di tengah lapangan di Stadion Anfield sambil berlutut satu kaki. Hal serupa dilakukan tim Liga Inggris lainnya seperti Newcastle United dan Chelsea pada latihan, Selasa (2/6/2020). Berbeda dengan Liverpool, para pemain Chelsea berfoto membentuk huruf “H” yang berarti “Human” atau “Manusia”.
Namun, tidak semua pemain sepak bola bisa ikut bersuara dengan leluasa di lapangan, karena baru Liga Jerman sebagai liga mayor Eropa yang sudah bergulir. Pemain di luar Bundesliga pun sebagian besar bersuara melalui media sosial.
Striker Paris Saint-Germain, Kylian Mbappe, mengunggah karikatur yang menggambarkan semua orang dengan berbagai profesi bergandengan tangan, kecuali satu orang polisi. Di atas karikatur itu tertulis, “polisi bersama kita, bukan melawan kita”.
Kemarahan dan kegelisahan serupa juga ditunjukkan atlet-atlet lain dari berbagai cabang olahraga. Bintang basket Los Angeles Lakers, LeBron James, adalah salah satu dari pemain NBA yang bersuara lantang. Melalui media sosialnya, James mencoba mengingatkan apa yang pernah dilakukan oleh pemain sepak bola Amerika (NFL), Colin Kaepernick.
Saat masih bermain untuk San Francisco 49ers pada 2016, Kaepernick belutut satu kaki saat lagu kebangsaan AS, “The Star-Spangled Banner” dikumandangkan. Aksi yang terkesan tidak patriotik dan melecehkan negara itu ia lakukan sebagai bentuk protes terhadap kebrutalan polisi AS terhadap orang berkulit hitam.
“Saya tidak mau berdiri untuk menghormati bendera atau negara yang menindas orang kulit hitam dan orang berkulit warna lainnya,” seru Kaepernick setelah melakukan aksinya itu seperti dikutip The Independent. Empat tahun lalu, Kaepernick mencoba memberi peringatan tetapi justru kariernya hancur. Kontraknya habis pada tahun 2017 dan hingga saat ini tidak ada tim yang mengontraknya lagi.
James pun mengunggah foto Kaepernick saat bertekuk lutut pada 2016 dan menyandingkannya dengan foto Derek Chauvin saat menindih leher Floyd dengan lutunya. Orang seperti Chauvin itulah yang membuat Kaepernick harus berlutut. “Sudah mengertikah kalian?” tulis James untuk menjelaskan foto itu dalam akun Instagramnya, @kingjames.
Dari Kaerpernick inilah berlutut dengan satu kaki menjadi simbol untuk menentang penindasan dan rasisme. Tidak hanya dilakukan para atlet, warga sipil di AS juga berlutut saat menyampaikan protes di jalanan. Bahkan, polisi AS ikut-ikutan bertekuk lutut untuk menyatakan keberpihakannya dengan warga.
Rasisme di sepak bola
Aksi yang dilakukan para atlet, terutama para pemain sepak bola, mendapat dukungan dari Kick It Out, organisasi yang memperjuangkan kesetaraan melalui sepak bola. “Jika ingin protes, lakukanlah. Pemain harus bebas melakukannya karena kebebasan berekspresi adalah hak dasar,” kata ketua Kick It Out, Sanjay Bhandari, seperti dikutip BBC.
Lebih dari hak dasar, seruan untuk menghentikan rasisme merupakan hal paling relevan yang dilakukan para pemain sepak bola. Alasannya, kasus-kasus rasisme terhadap para pemain berkulit hitam masih terus terjadi di liga-liga di Eropa seperti di Inggris atau Italia.
Pada Januari lalu, The Telegraph menyebutkan kasus rasial dalam sepak bola yang dilaporkan selama musim 2018-2019 di Inggris dan Wales mencapai 150 kasus. Jumlah tersebut meningkat 50 persen daripada musim sebelumnya. Inilah “laga” yang dijalani para pemain dan kini belum usai, yaitu laga melawan rasisme.
Dalam pernyataannya Selasa kemarin, FIFA menyatakan sangat memahami perasaan para pemain sebagai respon kasus Floyd. FIFA pun meminta para pengelola liga untuk berpikir jernih dalam menyikapi aksi-aksi para pemain tersebut. (AFP/REUTERS)