Teror dalam diskusi ilmiah membahayakan demokrasi. Karena itu, teror terhadap pembicara dan penyelenggara diskusi dari FH UGM, Yogyakarta, harus diusut tuntas aparat penegak hukum agar juga tak terulang lagi.
Oleh
Nino Citra Anugerahanto, Nicolaus Herbowo dan Ingki Rinaldi
·4 menit baca
Intimidasi berujung pembatalan diskusi ilmiah harus diusut tuntas. Kasus ini menjadi momen menyusun kebijakan dan aksi pemajuan HAM berbasis penguatan kebebasan berpendapat.
YOGYAKARTA, KOMPAS - Teror yang dialami calon pembicara dan penyelenggara diskusi dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, baru-baru ini, harus diusut tuntas aparat penegak hukum. Intimidasi yang kembali terjadi menunjukkan demokrasi dalam tradisi akademik masih rentan. Tanpa pengusutan tuntas, kejadian ini akan menjadi preseden buruk kebebasan berpendapat di kemudian hari.
”Kasus ini harus diusut tuntas. Ini membahayakan dunia akademik. Kalau ini tak diselesaikan dengan baik, akan berkembang terus-menerus,” kata Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Abdul Jamil di Markas Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa (2/6/2020).
Saat itu, Abdul mendampingi Guru Besar Hukum Tata Negara FH UII Ni’matul Huda melaporkan dan mengadukan ke polisi atas teror serta pencemaran nama baik yang dialaminya. Laporan polisi tercatat dengan nomor LP-B/0309/VI/2020/DIY/SPKT, sedangkan pengaduannya tercatat dalam surat pengaduan REG/0270/VI/2020/DIY/SPKT.
”Hari ini, kami terima laporan. Satu pengaduan dan satu laporan polisi. Tentu laporan beliau akan kami tindak lanjuti sesuai proses berlaku”
Sebelumnya, teror dialami Ni’matul sebagai calon pembicara diskusi ilmiah ”Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi, Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan”. Diskusi yang diselenggarakan oleh Constitutional Law Society, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Jumat (29/5), akhirnya dibatalkan dengan alasan keamanan. Panitia sebelumnya dapat teror telepon, pesan singkat, bahkan ancaman ke rumah salah seorang panitia. Oknum peneror menilai diskusi berbau makar. (Kompas, 2/6)
Kepala Subbidang Penerangan Masyarakat Polda DIY Ajun Komisaris Besar Verena SW mengatakan, laporan Ni’matul telah diterima jajaran kepolisian. Ia menyatakan, kasus itu akan ditangani sesuai prosedur. ”Hari ini, kami terima laporan. Satu pengaduan dan satu laporan polisi. Tentu laporan beliau akan kami tindak lanjuti sesuai proses berlaku,” ujar Verena, tanpa merinci.
Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD sebelumnya juga meminta Polri mengusut tuntas kasus teror yang menimpa pembicara dan penyelenggara dikusi ilmiah di FH-UGM. "Saya pastikan aparat tak melarang dan memang tak boleh melarang. Kampus juga tak melarang. Yang intimidasi itu masyarakat di luar kampus. Saya minta aparat melacak. Semua, kan, bisa ditelusuri," ujar Mahfud saat diskusi, 2 Juni lalu.
Gedor pintu
Terkait intimidasi yang diterima, Ni’matul menceritakan, rumahnya sempat didatangi orang tak dikenal. Ia kurang tahu pasti berapa jumlahnya, tetapi diperkirakan, lebih dari dua orang. ”Orang-orang itu datang lebih dari pukul 22.00 WIB. Mereka ketuk pintu, gedor pintu, dan teriak panggil nama saya. Tetapi, tidak saya bukakan. Tetangga saya juga beri tahu ada orang asing lalu lalang,” paparnya.
Ni’matul menjelaskan, isi dari diskusi daring yang disoal rencananya soal pemakzulan presiden secara teoretis. Ia menegaskan, diskusi hanya membahas dari sisi akademik. Idenya juga tak dari luar kampus.
Abdul menambahkan, pihaknya akan mengawal kasus teror tersebut. Ia meminta kasusnya ditangani dengan proses yang benar. Segala hal diserahkan kepada mekanisme hukum yang berlaku. Penanganan yang obyektif diharapkan membuat kasus teror tak berulang. ”Kami bicaranya ke depan, jangan sampai urusan akademik akan jadi teror terus menerus,” kata Jamil.
Hal sama diungkapkan Dekan FH-UGM Sigit Riyanto. Ia berupaya melindungi mahasiswa yang juga mengalami intimidasi. Mahasiswa itu dipindahkan ke tempat aman bersama keluarganya mengingat ancaman juga ditujukan ke keluarga mahasiswa.
Terhadap aksi teror, Sigit mengecam tindakan tersebut hingga mengakibatkan batalnya diskusi ilmiah itu. Ia menegaskan, diskusi ilmiah merupakan kegiatan akademis.
”Ini merupakan ancaman nyata mimbar kebebasan akademik. Apalagi dengan menjustifikasi sepihak secara brutal. Bahkan, sebelum diskusi benar-benar dilaksanakan,” kata Sigit.
Lebih jauh Abdul akan mengawal kasus tersebut. Ia minta kasus itu ditangani dengan proses benar dan diserahkan ke mekanisme hukum. Penanganan obyektif diharapkan membuat kasus tak berulang. ”Kami bicara ke depan, jangan sampai urusan akademik jadi teror terus menerus,” ujarnya.
Pembiaran represif
Dalam kesempatan terpisah, Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani mengatakan, kasus teror dalam diskusi ilmiah di FH-UGM harus jadi perhatian serius pemerintah dalam melindungi hak warga negaranya. Jika terus dibiarkan dan tak diusut tuntas, kasus-kasus itu memperburuk performa kebebasan berpendapat.
"Penegak hukum harus menindak tegas oknum yang mengintimidasi dan menteror, serta provokasi yang mengakibatkan diskusi batal"
Aparat, tambah Ismail, tak boleh mendiamkan persekusi dan pelanggaran HAM terjadi atas warga negara. Pemerintah harus bertanggung jawab terhadap perlindungan HAM. "Penegak hukum harus menindak tegas oknum yang mengintimidasi dan menteror, serta provokasi yang mengakibatkan diskusi batal," katanya.
Kasus itu, lanjut Ismail, jadi peringatan serius pemerintahan dalam menyusun berbagai macam kebijakan dan aksi yang konstruktif bagi pemajuan HAM, serta menjadi titik tolak penguatan kebebasan.
Peneliti senior Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan Arsil menambahkan, masalah yang terjadi bukan hanya pelarangan, tetapi adanya sekelompok orang yang melakukan tindakan main hakim sendiri dengan melakukan intimidasi dan lantas tidak diproses aparat hukum. Hal ini muncul karena selama ini terjadi pembiaran oleh aparat.