Melunasi Kutang Masa Lalu
Soimah punya ”dendam” terhadap masa lalu. Semasa remajanya, ia harus berebut mengenakan kutang dengan tiga kakak perempuannya. Saat mendebarkan adalah ketika dua potong kutang digantung di jemuran. Siapa cepat dia dapat!
Soimah Pancawati punya ”dendam” terhadap masa lalu. Pada saat melewatkan masa remaja di Pati, Jawa Tengah, kampung halamannya, ia selalu harus berebut mengenakan kutang bersama tiga kakak perempuannya. Saat-saat dua potong kutang digantung di atas tali jemuran adalah saat-saat mendebarkan.
Dua lembar kutang itu selalu seperti melambai-lambai ketika ditiup angin siang. Siapa cepat dia dapat! Pepatah itu selalu tak berlaku bagi Soimah, yang waktu itu masih menjadi perempuan bungsu.
”Aku selalu kalah cepat dari kakak-kakakku. Yo wis jadi ndak pakai beha, kebetulan juga masih remaja kecil,” ujarnya suatu hari.
Baca juga : Misteri Masakan Ibu
Ibunya, Kasmiyati, hampir-hampir tak punya waktu mengurus kebutuhan anak-anaknya, terutama empat anak perempuannya yang mulai tumbuh dewasa. ”Simbokku terlalu sibuk jualan ikan di pasar. Cuma itu tumpuan hidup kami satu-satunya,” kata Soimah.
Beragam kebutuhan untuk para perempuan, dari handuk, kutang, sampai pembalut, ”terpaksa” dipenuhi Soimah dan kakak-kakaknya dengan kreasi sendiri.
Barang seperti beha harus dipakai secara bergantian pada saat-saat dibutuhkan, seperti pergi ke sekolah. Handuk pun begitu. Sialnya, siapa yang mandi paling akhir pasti kebagian handuk yang sudah lusuh dan basah.
”Aku ora isin cerita, itu handuk kami pakai bersama sampai ndak sempat dicuci. Kalau dilihat udah jamuran dan sobek-sobek, ya, tetap dipakai karena belum bisa beli,” ujar Soimah. Tiba-tiba ia tertawa ngakak mengingat masa remajanya.
Sementara sebagai ganti pembalut perempuan, Soimah bersama ketiga kakak perempuannya ”terpaksa” memotong-motong kain tanpa sepengetahuan ibunya. ”Kami potong-potong jarik simbok. Pasti simbok ndak tahu, wong sibuk jualan ikan di pasar,” tutur Soimah.
Ketika menceritakan seluruh kisah yang mungkin amat pribadi bagi sebagian besar perempuan, Soimah berbicara tanpa beban. Ia memasang wajah santai saja di ”hadapan” ribuan penggemarnya, yang khusyuk mengikuti obrolan kami lewat Instagram Live (IG Live), Jumat (22/5/2020) lalu.
Baca juga : Menanam Benih Keindahan
Kini, ia menjelma menjadi idola bagi banyak orang dengan pembawaannya yang kocak, blak-blakan, tanpa beban, dan tidak jaim (jaga image) dalam semua acaranya di televisi.
Talentanya yang multidisiplin, dari nyinden, bernyanyi, menari, karawitan, sampai berakting, serta kekocakannya membuatnya dengan cepat menjadi terkenal. Sejak akhir tahun 2000-an, ia mendapat julukan sebagai sinden hiphop dengan semboyan ”Pesinden Republik Indonesia”.
Suatu hari, ia mengajak kakak perempuannya berjalan-jalan di sebuah mal di Jakarta. Kebetulan mereka memasuki gerai underwear untuk perempuan. Tiba-tiba salah seorang kakak perempuannya ”menjerit” menatap harga kutang sebesar Rp 1 juta. Padahal, kata Soimah, kakaknya sangat ingin membelinya.
”Aku bilang, kalau mau ambil saja. Kakakku malah takut, kok, beha saja harganya segitu,” ucap Soimah. Tak hanya satu, Soimah kemudian membelikan semua kakak dan adik perempuannya beha ”semahal” itu.
Sejak itu, ia selalu mengirimi keenam saudara perempuannya beha, handuk, dan pembalut perempuan. ”Aku iki kayak dendam sama masa laluku, yang sengsoro iku. Pokoknya kalau lihat beha, handuk, dan pembalut itu kayak gimana, bahagia karena terharu ingat masa lalu harus berebut beha,” tuturnya berderai-derai.
Tertawa ngakaknya panjang sekali…. Aku mencoba mengimbanginya dengan ikutan tertawa terbahak. Seolah kami sedang menceritakan masa lalu yang kini jadi terdengar lucu. Ya, cerita perih yang jadi lucu….
Baca juga : Jalan Keluar Virtual
Saat-saat tertawa itu, aku ingat nenek di kampung. Dadong, begitu aku memanggilnya, sehari-hari tak pernah mengenakan kutang. Dadanya selalu terbuka sehingga payudaranya dengan mudah bisa terlihat. Begitulah sehari-harinya di kampung.
Bahkan, kalau pergi ke pasar desa, baju kebaya dengan motif bunga yang lusuh hanya ia sampirkan di pundaknya. Dadanya tetap terbuka, walau di atas kepalanya terdapat handuk untuk menyunggi barang belanjaan.
Pada tahun 1970-an itu, masih banyak perempuan Bali, terutama di kampung-kampung, yang tak mengenakan kutang. Para orang tua, seperti Dadong, bisa hilir mudik di pasar desa tanpa mengenakan baju. Tubuhnya hanya dililit kemben batik dan tengkuluk (handuk yang dililitkan pada kepala).
Bahkan, di pasar-pasar di pedalaman, seperti Kintamani, sesekali masih dijumpai remaja perempuan yang membuka dadanya begitu saja. Tak ada perasaan risi, apalagi pikiran-pikiran cabul, jika melihat pemandangan seperti itu.
Apalagi kalau kau pergi ke sungai, di mana banyak perempuan dan lelaki mandi di pagi dan sore hari. Obrolan bisa berjalan tanpa beban kecabulan antara lelaki dan perempuan yang hanya berjarak beberapa meter. Semuanya berlangsung dalam keadaan terbuka sambil berendam di air sungai yang mengalir jernih.
Dalam novel Pangeran Diponegoro: Menggagas Ratu Adil (2007), Remy Sylado menuntun imajinasi kita tentang asal mula kata ”kutang”. Seorang bangsawan berdarah Spanyol-Perancis bernama Don Lopez Comte de Paris melihat perempuan Jawa yang turut membangun Jalan Raya Pos Anyer-Panarukan. Don Lopez memerintahkan para perempuan itu untuk menutup bagian paling berharga dari tubuhnya sembari berujar, ”Coutant! Coutant!”
Baca juga : Tangan Terulur Hati yang Memeluk
Kata ”harga” atau ”berharga” dalam bahasa Perancis disebut dengan ”coutant”. Perlahan-lahan para perempuan Jawa kemudian menyebut bagian penutup payudara dengan kutang. Bahkan, kata ”kutang” pun dipakai untuk menyebut kaus tanpa lengan yang dipakai sebagai pakaian dalam lelaki, yakni ”kaus kutang”.
Belakangan, kita juga mengenal istilah BH untuk menyebut kutang. BH, sering kali juga ditulis ”beha”, berasal dari bahasa Belanda ”buste houder”, yang diterjemahkan sebagai penyangga payudara.
Dalam sejarahnya, beha dimulai dari para perempuan dari Pulau Kreta, Yunani, 2500 SM, yang mengenakan sejenis kain di luar pakaian untuk menyangga payudara mereka agar tidak bergerak saat beraktivitas.
Pada masa Romawi 450 SM, para perempuan menggunakan semacam kemben untuk mengatur payudara mereka. Barulah tahun 1893, perempuan bernama Marie Tucek mendaftarkan hak paten di Amerika Serikat untuk penemuannya, sebuah pakaian pengatur payudara. Ia menyebutnya sebagai ”breast supporter”, pakaian yang amat mirip dengan beha modern.
Sementara kata ”bra” yang bersinonim dengan ”beha” mulai tercantum dalam Oxford English Dictionary tahun 1912. Bra dalam pengertian modern baru dipatenkan tahun 1914 oleh seorang sosialita dari New York bernama Mary Phelps Jacob. Tetapi, ia kemudian menjual hak patennya kepada Warner Brothers Corset Company di Connecticut.
Perusahaan inilah yang lalu mengenalkan berbagai ukuran dalam penggunaan bra. Oh, ya, kata ”bra” sendiri berasal dari bahasa Perancis ”brassiere”, yang diterjemahkan dengan ”bra” dalam bahasa Inggris. Dari kata Inggris ”bra” inilah, perlahan-lahan kita ”memodernkan” penyebutan ”kutang” dan ”beha”.
Baca juga : Para Dokter yang Mulia
”Sekarang, kan, disebut bra itu, ya?” kata Soimah mencoba memodernkan kata ”kutang”, yang sejak masa kecilnya sudah ia kenal. Perkembangan gaya hidup urban harus diakui perlahan-lahan seolah memberi penyebutan ”bra” sebagai kata yang lebih sopan dan terhormat ketimbang kata ”kutang” dan ”beha”. Padahal, ketiganya memiliki pengertian yang sama, yakni penyangga payudara perempuan sesuai dengan ukurannya.
”Dendam” kepada masa lalu dan ”membalasnya” di masa-masa kemudian setelah kehidupan membaik rasanya telah menjadi kencenderungan yang psychologic. Soimah mungkin kini hanya salah satu figur publik yang terus membeli benda-benda yang dulu mustahil bisa dimilikinya.
Di rumahnya di Yogyakarta dan Jakarta, ia selalu ”menyetok” bra, handuk, dan pembalut semampu yang ia bisa beli. Ia lalu mengirimkannya kepada para kakak dan adik perempuannya yang dulu telah menjalani masa-masa pedih ketika harus bergantian memakainya.
Kini, ia menyadari benar bahwa underwear adalah benda pribadi. Bahkan untuk menjemurnya pun banyak perempuan menghindarkannya dari jangkauan mata publik.
Oleh sebab itu, Soimah selalu mengirimkan bra dengan ukuran-ukuran sesuai kebutuhan kakak dan adik perempuannya. Bahkan, jika perlu, bra yang ia kirimkan adalah bra dengan kualitas dan harga terbaik demi pertimbangan kenyamanan dan kesehatan.
Meski telah menjelma menjadi sosialita sebagaimana dulu Mary Phelps Jacob, yang memiliki jutaan penggemar, Soimah tetap memahami bra sebagai medium pengantar ”balas dendam” kepada kepedihan hidup yang telah ia jalani di masa-masa remajanya.
Baca juga : Nyepi Menghentikan Waktu
Ia menggunakan bra hanya untuk memenuhi kebutuhan masa kecilnya yang tak kesampaian. Bahwa bra berfungsi menyangga payudara dan memiliki sejarah panjang dalam perjalanan kehidupan kaum perempuan, baginya, tidak terlalu ”penting”.
Begitu pun dengan nenekku, yang kemudian meninggal dalam usia lebih dari 100 tahun. Ia tak pernah menganggap salah satu fungsi bra adalah bagian dari cara peradaban mengatasi kecabulan pikiran para lelaki.
Narasi yang hidup dalam kepalanya, mengenakan bra itu membuat ongkeb (panas dan gelisah). Pikiran-pikiran cabul itu justru tumbuh di kepala para lelaki Belanda ketika pertama-tama melihat para perempuan Jawa dan Bali membiarkan dadanya terbuka.
Bahkan, konon ada cerita, bongkar muat sebuah kapal Belanda di sebuah pelabuhan terlambat berjam-jam karena para tentara Belanda terkejut menyaksikan ”hamparan” dada terbuka para perempuan.
Bukankah itu yang mendorong para seniman Barat berlomba-lomba menuju Hindia Belanda untuk kemudian mereguk ”eksotisme” yang disuguhkan oleh tubuh-tubuh perempuan pribumi?
Sampai kini kita banyak ”mewarisi” foto, gambar, buku, dan video yang mendokumentasikan perempuan-perempuan pribumi dengan dada telanjang. Pertanyaannya, apakah penutupan dada perempuan berbanding lurus dengan tingkat kemodernan sebuah bangsa?
Barat dan Timur mungkin punya cara pandang yang berbeda. Jika Barat memandang ketelanjangan dada sebagai eksotisme (keprimitifan yang memuaskan syahwat kecabulan) dan karena itu harus dieksploitasi, Timur melihatnya sebagai kelaziman tradisi.
Bahwa ketelanjangan dada bagian dari ”peradaban” keseharian yang lumrah dan tidak berkaitan dengan keadiluhungan normatif, yang kemudian dibawa oleh narasi dalam kata ”bra”. Jika begitu, siapakah yang lebih primitif?