Menjaga Napas BUMN Menyongsong Normal Baru
Badan usaha milik negara diharapkan menjadi lokomotif penggerak masyarakat menyongsong era normal baru sekaligus mendorong kembali roda perekonomian nasional.
Badan usaha milik negara diharapkan menjadi lokomotif penggerak masyarakat menyongsong era normal baru sekaligus mendorong kembali roda perekonomian nasional. Namun, sejumlah tantangan masih membayangi perusahaan pelat merah ini. Kinerja yang lesu, utang yang menumpuk, dan tata kelola internal BUMN menjadi persoalan.
Hampir sepertiga kegiatan ekonomi di Tanah Air digerakkan oleh BUMN. Tak hanya menguasai bidang usaha yang vital dan strategis, seperti energi, pangan, dan pengelolaan air, BUMN juga merambah berbagai bidang lain; mulai dari pelayanan umum, sektor perbankan, industri pengolahan, pertanian, hingga usaha mikro, kecil, dan menengah.
Besarnya BUMN itu tampak dari total aset yang dimiliki, yakni Rp 8.725 triliun pada 2019. BUMN juga menguasai pasar ekspor yang tersebar di seluruh dunia. Total ekspornya mencapai 7,78 miliar dollar AS pada 2018. Adapun laba BUMN pada akhir 2018 sebesar Rp 210 triliun, meningkat dari posisi akhir 2015 sebesar Rp 148 triliun.
Target dividen BUMN pada tahun ini diperkirakan sulit tercapai.
Kontribusi BUMN terhadap Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) meliputi pajak, dividen, dan pembayaran nonpajak juga terus meningkat dari Rp 303 triliun pada 2015 menjadi Rp 422 triliun pada 2018.
Tahun ini, BUMN ditargetkan memberikan dividen ke negara sebesar Rp 49 triliun, seperti tercantum dalam APBN 2020. Jumlah itu naik dari usulan pemerintah sebesar Rp 48 triliun. Target tersebut juga lebih tinggi dari realisasi tahun lalu yang sebesar Rp 45 triliun.
Namun, seiring merebaknya pandemi Covid-19 di Tanah Air sejak awal Maret lalu, target dividen BUMN pada tahun ini diperkirakan sulit tercapai. Pasalnya, tekanan ekonomi akibat Covid-19 berdampak serius terhadap kinerja perusahaan. Pendapatan sebagian besar perusahaan BUMN tergerus cukup dalam akibat terbatasnya aktivitas ekonomi masyarakat.
Baca juga : Protokol Operasional Berubah Drastis di Tengah Pandemi Covid-19
Kementerian BUMN menyebutkan hanya 10 persen dari 114 BUMN yang masih bisa ”berdiri tegak” di tengah hantaman Covid-19. Beberapa perusahaan BUMN tersebut bergerak di sektor telekomunikasi, farmasi, dan perkebunan yang berhubungan dengan bahan pangan.
Adapun sebagian besar perusahaan BUMN lainnya atau sekitar 90 persen menghadapi tantangan besar di tengah lesunya ekonomi saat ini. Beberapa perusahaan mengalami penurunan pendapatan yang signifikan, khususnya di sektor pariwisata dan transportasi, karena anjloknya permintaan.
Perusahaan BUMN itu antara lain PT Garuda Indonesia, PT Kereta Api Indonesia, PT Pelabuhan Indonesia, PT ASDP Indonesia Ferry, PT Pelni, dan PT Angkasa Pura. Arus kas perusahaan di bidang energi, seperti PT Pertamina dan PT PLN, juga diperkirakan terganggu lantaran volume penjualan bahan bakar minyak dan listrik menurun selama pandemi Covid-19.
Baca juga: Normal Baru Bank, dari Stroberi hingga Digitalisasi ”Outlet” Konvensional
Lesunya kinerja sebagian besar perusahaan pelat merah tersebut akhirnya berdampak terhadap setoran kepada negara atau dividen. Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan, kemungkinan hanya bisa menyetor dividen 50 persen dari target Rp 49 triliun. Di sisi lain, perusahaan juga membutuhkan modal untuk bisa kembali meningkatkan kinerja di saat kondisi kembali pulih.
Beban utang
Di tengah besarnya tantangan terkait kinerja, sejumlah perusahaan BUMN juga dibayangi oleh tanggungan utang yang besar dan diburu utang jatuh tempo. Sebagian besar utang BUMN berbentuk valuta asing (valas) sehingga bisa memberatkan jika terjadi pelemahan rupiah. Belum lagi bunga atau cicilannya akan cukup membebani korporasi.
Merujuk data Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) dari Bank Indonesia (BI), utang luar negeri (ULN) BUMN pada Maret 2020 tercatat 55,4 miliar dollar AS atau sekitar Rp 825,97 triliun. Angka itu nyaris separuh dari perkiraan penerimaan negara pada APBN-P 2020 sebesar Rp 1.760,9 triliun.
Adapun BUMN yang paling banyak berutang adalah BUMN nonkeuangan, seperti BUMN karya atau BUMN farmasi yang tumbuh sampai 17,8 persen. Disusul kemudian BUMN lembaga keuangan bukan bank (LKBB) tumbuh 6 persen dan BUMN perbankan naik 3,2 persen.
Membengkaknya utang BUMN tersebut salah satunya akibat proyek pemerintah, terutama pembangunan infrastruktur yang mereka lakukan. Perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut membutuhkan pendanaan untuk menggarap proyek.
Tak hanya dililit besarnya utang. Sepanjang tahun ini sejumlah perusahaan BUMN juga diburu utang jatuh tempo. PT Garuda Indonesia, misalnya, harus membayar sukuk global senilai 500 juta dollar AS yang akan jatuh tempo pada Juni ini. Persoalan utang itu kian berat lantaran industri penerbangan selama empat bulan terakhir terpuruk dihantam wabah Covid-19.
Senasib dengan Garuda, Perum Bulog juga mengalami tekanan dari utang jangka pendek karena keterbatasan kas dan penumpukan inventori. Adapun utang jangka pendek itu berasal dari Himpunan Bank Milik Negara atau Himbara.
Baca juga : Garuda Indonesia Ajukan Perpanjangan Pelunasan Utang Senilai 500 Juta Dollar AS
Sementara itu, berdasarkan laporan keuangan beberapa emiten BUMN yang dirangkum oleh Kontan.co.id (7/5/2020), terdapat sekitar 19 utang perusahaan yang jatuh tempo pada 2020. Utang jatuh tempo terbesar adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk senilai Rp 53,88 triliun.
Kemudian, ada juga utang perusahaan BUMN yang menjadi sorotan, seperti PT Garuda Indonesia Tbk senilai 3,26 miliar dollar AS. Selain itu, ada banyak lainnya perusahaan BUMN di sektor konstruksi dan manufaktur yang punya utang jatuh tempo bernilai jumbo yang mesti dibayarkan tahun ini.
Tata kelola
Di luar persoalan kinerja dan utang yang membelit, BUMN masih dihadapkan pada tantangan tata kelola internal yang baik, bersih, dan transparan. Kasus Jiwasraya dan Asabri yang mencuat ke publik pada Januari lalu membuktikan bahwa tata kelola BUMN masih belum optimal.
Pada kasus Jiwasraya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan penyimpangan pengelolaan investasi asuransi Jiwasraya dari tahun 2010-2019. Adapun kasus Asabri menyoal dugaan kasus korupsi hingga Rp 10 triliun dari yayasan para prajurit TNI itu.
Selain itu, pola ekspansi BUMN melalui pembentukan anak dan cucu perusahaan menambah beban berat BUMN. Gemuknya jumlah perusahaan BUMN beserta anak dan cucu usahanya membuat tidak sedikit perusahaan BUMN tidak sehat.
Saat ini, pemerintah memiliki saham di 114 BUMN dengan keuntungan terbesar ditopang oleh hanya 20 BUMN saja. Jumlah anak dan cucu usaha BUMN mencapai 658 perusahaan, tersebar di berbagai sektor yang bahkan terlepas dari inti usaha induknya.
Gemuknya jumlah perusahaan BUMN beserta anak dan cucu usahanya membuat tidak sedikit perusahaan BUMN tidak sehat.
Kondisi tersebut membuat Kementerian BUMN berencana merestrukturisasi perusahaan BUMN. Restrukturisasi ditargetkan bisa memangkas hingga 70 persen dari 114 perusahaan BUMN dan 658 anak dan cucu usaha BUMN saat ini.
Lewat restrukturisasi, kluster bidang usaha juga akan disusutkan dari 27 kluster bisnis menjadi 14 kluster. Upaya ini diharapkan bisa mendorong efisiensi dan membantu kondisi arus kas perusahaan yang saat ini terdampak Covid-19.
Hingga 3 April 2020, setidaknya ada tiga perusahaan BUMN yang bersiap menutup dan menggabungkan anak cucu usaha demi efisiensi. Total anak dan cucu usaha yang ditutup ada 51 perusahaan, terdiri dari 25 anak usaha PT Pertamina, 6 anak usaha PT Garuda Indonesia, dan 20 anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia.
Langkah pemulihan
Beragam langkah disiapkan pemerintah melalui Kementerian BUMN untuk memulihkan kembali perusahaan BUMN yang terdampak Covid-19. Selain melakukan efisiensi internal, perusahaan BUMN juga didorong untuk menjaga napasnya dengan beragam langkah strategis.
Kementerian BUMN mendorong perusahaan pelat merah yang terbelit utang untuk menurunkan biaya bunga dengan merestukturisasi utang-utangnya. Hal ini dapat dilakukan dengan memperpanjang tenor atau menurunkan tingkat bunga agar ke depannya tak memberatkan perusahaan.
Sejumlah perusahaan juga menerbitkan surat utang global untuk menambah likuiditas. Sejauh ini setidaknya empat perusahaan BUMN sudah dan akan merilis surat utang global senilai total Rp 83 triliun.
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, total dukungan untuk BUMN mencapai Rp 152,15 triliun. Suntikan dana itu diberikan dalam bentuk penyertaan modal negara (PMN), percepatan pembayaran kompensasi, dan talangan dana investasi untuk modal kerja.
BUMN yang akan mendapat prioritas adalah yang terdampak Covid-19 di delapan sektor, yaitu infrastruktur, pangan, transportasi, sumber daya alam, keuangan, manufaktur, energi, dan pariwisata.
Dengan beragam langkah tersebut, perusahaan BUMN diharapkan bisa pulih kembali agar roda perekonomian nasional berputar kembali menyongsong era normal baru dengan mengadopsi protokol kesehatan.
(Litbang Kompas)