Meski Terus Membaik, Kehilangan Hutan Primer Indonesia Masih Nomor Tiga di Dunia
›
Meski Terus Membaik,...
Iklan
Meski Terus Membaik, Kehilangan Hutan Primer Indonesia Masih Nomor Tiga di Dunia
Meski menurun, angka kehilangan tutupan hutan alam primer di Indonesia masih menempati urutan ketiga di dunia setelah Brasil dan Republik Demokratik Kongo. Perlu kerja keras untuk mengatasi masalah ini.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Bumi hingga kini masih terus kehilangan hutan-hutan tropis alaminya. Global Forest Watch menunjukkan data terbaru bahwa pada periode 2019 setiap 6 detik hutan tropis seluas lapangan sepak bola digunduli. Menurut data tersebut, kehilangan tutupan hutan alam primer Indonesia terus menurun meski masih menempati urutan ketiga dunia.
Kehilangan hutan terbesar terjadi di Brasil, kemudian disusul Republik Demokratik Kongo. Lebih dari sepertiga kehilangan tutupan hutan alam primer tersebut terjadi di ”Negeri Samba” yang diduga sebagai konsekuensi atas pembukaan hutan Amazon bagi lahan pertanian dan peternakan.
Dari total kehilangan hutan primer seluas 3,8 juta hektar (ha) yang dihitung oleh University of Maryland tersebut, Indonesia ”menyumbangkan” sekitar 324.000 ha atau turun 5 persen dibandingkan pada 2018. Angka kehilangan tutupan hutan tersebut sedikit lebih rendah daripada angka deforestrasi bruto resmi yang dirilis Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), seluas 462,4 ribu ha.
Mengejutkan
Angka kehilangan tutupan pohon di Indonesia yang mengecil ini ”mengejutkan” sejumlah pihak. Soalnya, pada 2019 terjadi kebakaran yang menghanguskan hutan dan lahan seluas 1,6 juta ha.
Menanggapi ”keterkejutan” ini, Arief Wijaya, Senior Manajer Hutan dan Iklim World Resources Institute Indonesia—lembaga riset internasional pengelola platform Global Forest Watch—mengatakan, hal tersebut terjadi karena sejumlah alasan. Salah satunya, kebakaran pada 2019 diduga tidak memberikan dampak pengurangan luas hutan yang signifikan.
Asumsi itu didasarkan data KLHK yang menunjukkan kebakaran seluas 1 juta dari 1,6 juta ha berada di luar hutan. Kebakaran di hutan bisa saja terjadi pada areal konflik, terdegradasi, dan bukan hutan alam primer yang masih baik.
Alasan lain yang lebih teknis, puncak kebakaran hutan dan lahan pada 2019 terjadi di bulan penghujung tahun, yaitu September–Oktober. Kondisi ini membuat satelit tidak bisa menangkap citra di wilayah kebakaran karena terhalang kabut asap.
”Sama seperti kebakaran tahun 2015, citra Satelit Landsat tak bisa menangkap sehingga baru ketahuan pas awal 2016,” katanya. Bila dugaan ini benar, menurut dia, kehilangan hutan akibat kebakaran hutan dan lahan pada 2019 akan tertangkap satelit pada awal tahun 2020.
Pada sesi konferensi pers awal pada 28 Mei 2020, Frances Seymour, WRI Distinguished Senior Fellow, menjelaskan, sejak kebakaran hebat tahun 2015, Indonesia memperkuat langkah-langkah perlindungan hutan. Pada 2011 Indonesia menghentikan pemberian izin baru di hutan alam primer dan gambut, dan kini kebijakan tersebut dipermanenkan. Langkah ini diperkuat dengan moratorium izin perkebunan sawit di kawasan hutan sejak 2018 hingga 2021.
”Pemerintah (Indonesia) telah melakukan sejumlah hal, termasuk moratorium. Saya pikir wajar kalau faktanya Indonesia bisa menjaga kehilangan hutan alam primer pada tiga tahun ini sebagai bagian dari usaha pemerintah,” katanya.
Ia pun menyinggung terkait Indonesia yang sempat ”kepeleset” mengambil langkah pelemahan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) untuk meningkatkan ekspor sebagai paket kebijakan ekonomi dalam penanganan Covid-19. Pemerintah Indonesia kemudian menganulir kebijakannya dan mencabut regulasi yang melemahkan tersebut.
”Terima kasih untuk advokasi dari KLHK, sekarang sinyal arahnya hal tersebut (pelemahan SVLK) tidak jadi dijalankan,” kata Seymour yang juga mantan Dirjen Lembaga Riset Kehutanan Dunia (CIFOR) yang berkantor di Bogor, Jawa Barat.
Menanggapi analisis Global Forest Watch, Direktur Inventarisasi dan Pemantauan Sumber Daya Hutan KLHK Belinda Arunarwati Margono mengatakan, kebijakan moratorium kehutanan—kini penghentian permanen—berhasil menekan deforestasi. ”PIPPIB (Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru) memang sangat efektif,” ucapnya.
Menurut dia, data tren penurunan deforestasi di Indonesia dari Global Forest Watch dan Pemerintah Indonesia sama meskipun berbeda metodologi. Angka-angka yang dihasilkan tidak berselisih jauh dan bisa diterima karena berbeda detail metodenya. ”Artinya monitoring kita juga sama, kan, kualitasnya,” kata Arunarwati yang juga alumnus University of Maryland.