Pemerintah Janjikan Pemulihan Ekonomi
Cegah perekonomian semakin terpuruk akibat krisis Covid-19, pemerintah segera menjalankan program pemulihan ekonomi nasional dengan total anggaran Rp 589,65 triliun. Targetnya, pertumbuhajn ekonomi tidak minus.
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah segera menjalankan program pemulihan ekonomi nasional dengan total anggaran Rp 589,65 triliun. Targetnya, perekonomian mulai bangkit dari keterpurukan akibat krisis Covid-19 per triwulan III-2020, sehingga pertumbuhan ekonomi 2020 tidak sampai minus walaupun di bawah proyeksi awal 2,3 persen.
Program pemulihan ekonomi nasional berikut anggarannya tersebut ditetapkan pada rapat terbatas yang dipimpin Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (03/06/2020). Tersambung dalam rapat melalui telekonferensi itu adalah Wakil Presiden Ma’ruf Amin, sejumlah menteri Kabinet Indonesia Maju, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, dan Ketua Dewan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Wimboh Santoso.
Presiden Jokowi dalam pengantar rapat menyatakan, tantangan terbesar pemerintah saat ini adalah menyiapkan program pemulihan ekonomi yang tepat untuk kemudian melaksanakannya dengan cepat. Harapannya, laju pertumbuhan ekonomi nasional tidak anjlok lebih dalam lagi.
Baca juga: Menakar Imbas Ekonomi Covid-19
Perekonomian nasional di triwulan I-2020 tumbuh 2,97 persen alias di bawah rencana. Di triwulan II-2020, diperkirakan tekanannya lebih berat. Melalui program pemulihan ekonomi nasional, pemerintah berharap perekonomian mulai bergeliat sehingga secara akumulatif tahun ini, pertumbuhannya tidak sampai minus.
Oleh karena itu, Presiden menginstruksikan agar program pemulihan yang telah dirancang segera dilaksanakan. Program yang dimaksud meliputi subsidi bunga untuk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), penempatan dana untuk bank-bank yang terdampak restrukturisasi kredit, penjaminan kredit modal kerja, penyertaan modal negara untuk BUMN, dan investasi pemerintah untuk modal kerja.
"Karena itu, saya minta pada Jaksa Agung, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dari awal sudah melakukan pendampingan. Dan, jika diperlukan, KPK juga bisa dilibatkan untuk memperkuat sistem pencegahan”
Secara khusus, Presiden mengangkat pentingnya program pemulihan ekonomi dalam membantu industri padat karya. Tujuannya adalah industri tersebut dapat mampu beroperasi sehingga mencegah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK) yang massif sekaligus mampu mempertahankan daya beli para pekerjanya.
Dalam menjalankan program, Presiden Jokowi menginstruksikan kepada seluruh pemangku kepentingan terkait agar berhati-hati, transparan, akuntabel, dan mampu mencegah risiko terjadinya penyelewengan.
”Ini penting sekali. Karena itu, saya minta pada Jaksa Agung, Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dari awal sudah melakukan pendampingan. Dan, jika diperlukan, KPK juga bisa dilibatkan untuk memperkuat sistem pencegahan,” kata Presiden menambahkan.
Presiden juga meminta agar konsep berbagi beban wajib menjadi acuan bersama antara pemerintah, BI, OJK, perbankan, dan pelaku usaha. Gotong-royong menanggung risiko secara proporsional dengan dilakukan dengan prinsip kehati-hatian penting agar dunia usaha tetap mampu berjalan, pelaku usaha mencegah PHK masif, sektor keuangan stabil, dan roda perekonomian tetap bisa bergerak.
Program pemulihan ekonomi nasional dan program penanganan Covid-19 lainnya meningkatkan belanja negara sehingga defisit APBN membengkak. Untuk itu, Presiden menenkan agar perubahan postur APBN 2020 dilakukan dengan hati-hati, transparan, dan akuntabel, sehingga APBN 2020 bisa dijaga, dipercaya, dan tetap kredibel.
Perubahan postur
Dalam keterangan pers, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menyatakan, fokus pemerintah tahun ini untuk menangani krisis Covid-19 berkonsekuensi pada perubahan postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Hal ini telah dituangkan pada Peraturan Presiden (perpres) Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020 yang fokus pada penanggulangan krisis kesehatan dan bantuan sosial kepada masyarakat.
Untuk anggaran program pemulihan ekonomi nasional yang ditetapkan belakangan, pemerintah akan menambahkannya. Hal ini akan dituangkan dalam revisi perpres tersebut. Ketentuan programnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan Negara untuk Penanganan Pandemi Covid-19 dan/atau Mengadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan Serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.
Pemerintah dalam aturan tersebut menjalankan program pemulihan ekonomi nasional melalui empat instrumen, yakni penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana, investasi pemerintah, dan penjaminan. Sumber dananya berasal dari APBN serta sumber lainnya sesuai dengan perundang-undangan.
Berdasarkan paparan Sri Mulyani, total anggaran untuk penanganan Covid-19 yang akan dituangkan dalam revisi Perpres Nomor 54 Tahun 2020 adalah Rp 677,20 triliun. Ini terdiri atas anggaran penanganan bidang kesehatan senilai Rp 87,55 triliun. Termasuk di dalamnya adalah untuk penanganan Covid-19, tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran jaminan kesehatan nasional, pembiayan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, dan insentif perpajakan di bidang kesehatan.
Adapun sisanya senilai Rp 589,65 triliun untuk program pemulihan ekonomi nasional. Ini meliputi program perlindungan sosial senilai Rp 203,9 triliun, dukungan untuk UMKM senilai 123,46 triliun, insentif untuk dunia usaha senilai Rp 120,61 triliun, penyertaan modal negara dan pembiayaan korporasi senilai Rp Rp 44,57 triliun, dan dukungan sektor dan pemerintah daerah senilai Rp 97,11 triliun.
Dalam pemulihan ekonomi ini, Sri Mulyani menambahkan, peran pemerintah daerah (pemda) semakin penting. Untuk itu, pemerintah menambahkan dana insentif daerah senilai Rp 5 triliun. Pemerintah juga menambahkan dana alokasi khusus fisik senilai Rp 8,7 triliun untuk mendukung pemda yang akan menjalankan program swakelola padat karya menggunakan tenaga lokal. Syaratnya, proyek bisa diselesaikan paling lambat akhir Desember 2020.
Melalui berbagai program tersebut, Sri Mulyani melanjutkan, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi 2020 tetap positif sekalipun realisasinya mengarah di bawah proyeksi sebelumnhya, yakni 2,3 persen. ”Kita tetap berharap dengan program pemulihan ekonomi nasional ini, kuartal III dan IV bisa mengejar kembali sehingga prediksi pertumbhan ekonomi kita di bawah 2,3 persen tapi kita berharap di dalam zona positif,” kata Sri Mulyani.
Selain menetapkan program pemulihan ekonomi nasional, rapat juga menetapkan perubahan postur APBN 2020. Mengutip penjelasan Sri Mulyani. Pendapatan negara APBN 2020 turun dari Rp 1.760,9 menjadi Rp 1.699,1 triliun. Target penerimaan perpajakan sebagai penyumbang utamanya juga turun, dari Rp 1.462,6 triliun menjadi Rp 1.404,5 triliun.
Sementara belanja negara menggelembung dari Rp 2.613,8 triliun menjadi Rp 2.738,4 triliun atau naik 124,5 triliun guna tambahan penanganan Covid-19 secara keseluruhan.
Dengan demikian, defisit APBN 2020 membengkak dari Rp 852,9 triliun atau 5,07 persen dari produk domestik bruto (PDB) menjadi Rp 1.039,2 triliun atau 6,34 persen dari PDB. ”Kami akan menggunakan berbagai sumber pendanaan yang memiliki risiko paling kecil dan dengan biaya paling rendah, termasuk menggunakan sumber internal pemeritnah seperti saldo anggaran lebih pemerintah, dana abadi untuk bidang kesehatan dan Badan Layanan Umum, serta penarikan pinjaman program dengan bunga rendah,” kata Sri Mulyani.
Bersinergi
Pada kesempatan yang sama, Perry, menyatakan, BI berkomitmen untuk bersinergi dengan pemerintah untuk pemulihan perekonomian nasional. Untuk itu, seluruh kebijkaan BI diarahkan untuk dukung keberlangsungan maupun proses pemulihan ekonomi.
Tahap stabilisasi perekonomian dan pasar keuangan, menurut Perry, berjalan sangat baik. Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang di awal April sempat mencapai Rp 16.400, kini menguat menjadi Rp 14.200. Ke depan, tren positif itu berpeluang terus berlanjut.
Inflasi juga rendah, yakni 2,19 persen. Imbal hasil Surat Berharga Negara yang pernah 8,08 persen, turun menjadi 7,2 persen di lelang terakhir. ”Cadangan devisa meningkat. Bulan ini diperkirakan akan terus meningkat,” kata Perry.
Kepercayaan pasar dan investor, Perry melanjutkan, juga menguat. Ini tercermin dari mulai masuknya arus modal asing, khususnya invesatasi portofolio di SBN. Jumlah pembelian SBN oleh BI di pasar perdana makin kecil menyusul meningkatnya kapasitas penyerapan pasar. Sejalan dengan itu, imbal hasil SBN turun.
Wimboh menambahkan, kebijakan yang dilakukan OJK bersama pemangku kepentingan lainnya di bidang keuangan bertujuan agar tekanan akibat krisis Covid-19 terhadap sektor keuangan tidak terlalu berat. ”Kalau tidak dilakukan bersama-sama oleh semua pemangku kepentingan dan pelaku usaha, akan berat. Kita akan menghindari massif default,” kata Wimboh.
”Kalau tidak dilakukan bersama-sama oleh semua pemangku kepentingan dan pelaku usaha, akan berat. Kita akan menghindari massif default”
Krisis Covid-19 sebagaimana juga terjadi di seluruh negara menyebabkan sentimen di pasar modal dalam negeri menjadi negatif. Tercatat, harga-harga saham turun drastis. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang biasanya di atas 6.000 turun jauh di bawah 5.000, bahkan pernah menyentuh 4.000.
Baca Juga: Pemulihan Ekonomi Nasional Butuh Dana Rp 318,09 Triliun
Namun melalui sejumlah kebijakan, Wimboh mengklaim, sentimen positif sudah mulai muncul selama sepekan terakhir. Rabu pagi misalnya, IHSG menguat menjadi 4.900. ”Kita harapkan tren membaik hingga bisa kembali di atas 6.000,” kata Wimboh.
Restrukturisasi kredit sebagai salah satu program pemulihan ekonomi juga sudah dan sedang bergulir. Per 26 Mei, bank telah memberikan restrukturisasi terhadap kredit seniai total Rp 517,2 triliun dengan 5,3 juta debitur. Obyek restrukturisasi senilai Rp 250,6 triliun merupakan kredit UMKM dengan 4,5 juta debitur. Adapun untuk retrukturisasi kredit non-UMKM, nilainya Rp 266,5 triliun dengan 780.000 debitur.
Di lembaga pembiayaan, masih mengutip Wimboh, restrukturisasi juga sudah dilakukan. Per 31 Mei, akumulasinya mencapai Rp 75,08 triliun untuk 2,4 juta nasabah. Saat ini, masih ada 583.000 kontrak dalam proses persetujuan.