Soal Protokol Normal Baru, Pelaku Usaha Hadapi Dilema
›
Soal Protokol Normal Baru,...
Iklan
Soal Protokol Normal Baru, Pelaku Usaha Hadapi Dilema
Penerapan protokol kesehatan menuntut pelaku usaha mengeluarkan biaya operasional ekstra. Namun, produksi dan penjualan belum tentu sejalan di tengah pandemi. Sebagian pelaku industri kesulitan beradaptasi.
Oleh
Agnes Theodora/M Paschalia Judith
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar dan transisi ke situasi normal baru tidak bisa diterapkan oleh semua sektor dan pelaku usaha. Keterbatasan modal di tengah arus kas yang seret membuat sebagian pelaku industri kesulitan untuk beradaptasi.
Ketua Kamar Dagang dan Industri DKI Jakarta Diana Dewi, Selasa (2/6/2020), mengatakan, mayoritas pengusaha di Ibu Kota pesimistis pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bisa memperbaiki kondisi perekonomian secara signifikan. Mereka khawatir pemasukan tidak akan sebanding dengan biaya operasionalisasi yang harus mereka keluarkan untuk beroperasi di tengah pandemi.
Apalagi regulasi mengharuskan perusahaan menambah sejumlah fasilitas khusus demi mengantisipasi agar perkantoran dan pabrik tidak jadi kluster penularan baru. ”Biaya operasional yang dikeluarkan akhirnya lebih besar dari sebelumnya, sementara jam kerja dan kapasitas produksi berkurang. Bagi sebagian pengusaha, (situasi) ini simalakama, kalau diteruskan, apakah pasar akan seperti sebelumnya? Tetapi, mau tak mau kita harus mulai (membuka ekonomi),” ujarnya.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta W Kamdani berpendapat, protokol kesehatan yang dipublikasikan pemerintah menuntut perusahaan mengeluarkan biaya operasionalisasi tambahan untuk memfasilitasi tenaga kerja. Fasilitas itu misalnya asuransi kesehatan karyawan, alat pendeteksi kesehatan, masker, tempat cuci tangan, dan staf medis tambahan.
Sayang, tak semua perusahaan bisa memenuhi tuntutan itu. Menurut Shinta, perusahaan bermodal cekak, perusahaan yang tidak punya fasilitas kesehatan bagi karyawan, serta perusahaan bercorak padat karya sulit beradaptasi.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan, pemerintah akan mencabut PSBB dan memberlakukan tatanan normal baru. Pencabutan itu akan mempertimbangkan dimensi kesehatan yang terdiri dari perkembangan penyakit, pengawasan Covid-19, dan kapasitas layanan kesehatan. Selain itu, dimensi kesiapan sosial ekonomi yang mencakup protokol-protokol untuk setiap sektor, wilayah, dan transportasi yang saling terintegrasi (Kompas, 28/5/2020).
Risiko pekerja
Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (OPSI) Timboel Siregar berpendapat, tanpa persiapan yang matang, penerapan protokol normal baru di dunia usaha bisa membawa risiko bagi pekerja. Apalagi, ada banyak pekerja yang saat ini belum memiliki jaminan ketenagakerjaan, seperti jaminan kecelakaan kerja dan jaminan kematian.
Dari 46 juta pekerja formal yang seharusnya terdaftar di BP Jamsostek, kata Timboel, baru 32 juta pekerja yang terdaftar. ”Pekerja ini subyek yang harus dilindungi. Kalau mau membuka kembali ekonomi, harus ada upaya lebih maksimal untuk melindungi pekerja, bukan sekadar menghidupkan bisnis,” kata Timboel.
Surat Edaran (SE) Menteri Ketenagakerjaan RI Nomor M/8/HK.04/V/2020 tentang Perlindungan Pekerja/Buruh dalam Program Jaminan Kecelakaan Kerja akibat Kerja Karena Covid-19 sejauh ini masih ditujukan untuk perlindungan pekerja medis dan sukarelawan Covid-19. Menurut Timboel, SE itu seharusnya juga ditujukan untuk pekerja di berbagai sektor yang harus kembali bekerja di tengah pandemi.
Menurut Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal, menerapkan normal baru secara terburu-buru tanpa memperhatikan prasyarat kesehatan akan berdampak lebih buruk pada perekonomian dan membahayakan kesehatan masyarakat luas. ”Di balik normal baru ini ada risiko penyebaran (virus) semakin luas. Ketika itu terjadi, meski sekilas membaik, ekonomi akan kembali tertekan, bahkan lebih sulit untuk pulih,” kata Faisal.
Sebelumnya, Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri mengatakan, pelonggaran PSBB harus dibarengi kesiapan seluruh elemen dan kalkulasi kebijakan yang akurat. Tidak hanya dari aspek ekonomi, tetapi juga kesehatan dan sosial masyarakat.
Rekrut kembali
Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah meminta agar seiring dengan dibukanya kembali ekonomi saat normal baru, perusahaan merekrut lagi pekerja yang sebelumnya sudah dipecat dan dirumahkan tanpa upah. Hal ini diharapkan bisa menekan angka pengangguran dan memperluas kesempatan kerja baru.
Menurut Ida, merekrut ulang pekerja yang sebelumnya di-PHK dan dirumahkan sebenarnya memiliki keuntungan tersendiri bagi pengusaha. Sebab, pekerja sudah memiliki keterampilan, pengalaman kerja, dan budaya kerja yang dibutuhkan perusahaan terkait. ”Ini tentu menguntungkan perusahaan untuk meningkatkan lagi produktivitasnya,” kata Ida.
Berdasarkan data terakhir Kemenaker, per 27 Mei 2020, pekerja sektor formal yang dirumahkan selama pandemi ini sebanyak 1.058.284 pekerja dan pekerja sektor formal yang di-PHK sebanyak 380.221 pekerja. Sementara pekerja sektor informal yang terdampak ada 318.959 pekerja.
Selain itu, terdapat 34.179 calon pekerja migran yang gagal diberangkatkan serta 465 pemagang yang dipulangkan. Dengan demikian, total pekerja yang terdampak pandemi Covid-19 selama dua bulan terakhir ini yang terdata adalah 1.792.108 pekerja.