Stimulus dan Koordinasi
Tanpa koordinasi dan harmonisasi yang baik dan mulus antara pemerintah pusat, daerah, otoritas moneter, BPK, DPR, perbankan, pelaku usaha, dan masyarakat, berapa pun uang yang disalurkan akan terasa sia-sia dan mubazir.
Pandemi Covid-19 terbukti sudah memorakporandakan perekonomian dunia.
Sebagian besar indikator ekonomi memburuk signifikan. Perdagangan dunia (ekspor dan impor), produksi manufaktur, penggunaan kapasitas produksi, penjualan ritel, tingkat kepercayaan konsumen, pengangguran, harga komoditas, dan banyak lagi indikator lain, semua menunjukkan tingkat keparahan yang hampir merata dan akut. Terbukti, pertumbuhan ekonomi di beberapa negara mengalami kontraksi sangat dalam pada kuartal I-2020.
Kontraksi paling parah dialami China dengan pertumbuhan minus 6,8 persen, terburuk sepanjang sejarah perekonomian China tiga dekade terakhir. Di Eropa, Perancis dan Spanyol minus 5,4 persen dan minus 4,1 persen. Di ASEAN, Singapura yang sangat terekspos perdagangan internasional minus 2,2 persen.
Kondisi ini lebih buruk daripada awal krisis global 2008. Negara yang masih bisa tumbuh positif kecil adalah Amerika Serikat (0,5 persen) dan Korea Selatan (1,3 persen), tetapi keduanya turun signifikan dibandingkan kuartal sebelumnya dan kuartal I-2019. Mungkin tinggal satu langkah lagi, juga akan negatif.
Buruknya perekonomian global karena Covid-19 ini menimbulkan reaksi cepat dari seluruh pemimpin dunia. Pemerintah dan otoritas moneter berlomba memberikan stimulus fiskal dan moneter dosis tinggi. Hal ini menunjukkan efek negatif Covid-19 sangat serius merusak urat nadi perekonomian.
Belum ditemukannya vaksin menimbulkan ketakpastian jauh lebih tinggi dibandingkan krisis global 2008. Tak ada yang bisa memastikan kapan, seberapa parah dan kuat dunia bisa bertahan. Ada yang berpendapat, resesi kali ini seperti Depresi Besar 1930, bahkan lebih parah.
Kemampuan ahli ekonomi dan modelling/ekonometrika benar-benar diuji. Dari ramalan yang ada, terbukti sangat sulit menguantifikasi dampak negatif Covid-19. Keterbatasan dan kebingungan ini menyebabkan prediksi ekonomi global 2020 ada dalam kisaran sangat lebar, minus 3 persen hingga minus 1 persen. Bentuk pemulihan ekonomi dunia sangat sulit dibayangkan dan diterka. Tak ada satu pun dapat menjawab secara meyakinkan.
Ada begitu banyak pola pemulihan ekonomi, V-shaped (pulih cepat), U (lambat), L (lebih lambat), dan W-shaped (pulih kemudian jatuh lagi dalam resesi). Hasil jajak pendapat Reuters terhadap 165 ekonom dunia, 1-23 April, sebagian besar (56 persen) meyakini pemulihan ekonomi dunia mengikuti bentuk U: berjalan lambat dan kemungkinan tak selesai tahun ini. Kita harus siap dengan kondisi terburuk, harus memiliki napas panjang dan daya tahan lama, seperti pelari maraton.
Stimulus fiskal dan moneter
Oleh karena itu, sangat wajar stimulus moneter dan fiskal terutama dari negara maju mengguyur perekonomiannya dengan bilangan sangat fantastis dan mencengangkan karena sulitnya memprediksi seberapa buruk pandemi Covid-19 menggerogoti perekonomian global. Suku bunga acuan diturunkan secara agresif di sejumlah negara.
Di negara maju yang inflasinya sangat rendah, bunga acuan sudah mendekati nol, bahkan negatif: Jepang (minus 0,10 persen), zona euro (minus 0,50 persen), Denmark (minus 0,75 persen), Swiss (minus 0,75 persen). Artinya, uang di tabungan makin lama makin tergerus nilai nominalnya. Saking rendahnya bunga acuan, suku bunga riil pun negatif di sebagian besar negara (return investasi negatif).
Rendahnya suku bunga ini ternyata tak cukup kuat melawan pandemi Covid-19. Bank sentral juga membanjiri perekonomiannya dengan peredaran uang lewat kebijakan moneter nonkonvensional, yaitu quantitative easing (QE). Ini pernah dilakukan di zaman resesi global 2008, tetapi saat ini jauh berbeda, skalanya jauh lebih besar dan sangat agresif.
QE sejatinya bank sentral mencetak uang baru, menurut Milton Friedman (1969) dikenal dengan istilah helicopter money. QE yang dilakukan bank sentral AS (The Fed) naik sangat signifikan tahun ini, hingga 10 April sebesar 1,92 triliun dollar AS, jauh lebih besar dibandingkan 2008 sebesar 1,35 triliun dollar AS. Begitu juga QE bank sentral Eropa tercatat 0,4 triliun euro vs 0,5 triliun euro pada 2008 dan bank sentral Jepang 21,1 triliun yen vs 11,5 triliun yen pada 2008.
Agresivitas juga terjadi di kebijakan fiskal. Jepang paling ekspansif, stimulus fiskal mencapai 20 persen PDB, diikuti Malaysia 17 persen, Australia 16,4 persen, Singapura 12,0 persen, dan AS 11,0 persen. Pada intinya, dunia habis-habisan menggunakan senjata dan amunisinya untuk memerangi pandemi ini.
Indonesia melakukan hal serupa meski besarannya tak sefantastis negara maju. Menurut saya, dengan kapasitas APBN dan moneter yang ada, Indonesia bisa dikatakan agresif terbatas, plus antisipatif, dan adaptif menjaga perekonomian yang sangat tertekan pandemi.
Bank Indonesia sudah melonggarkan kebijakan moneter dan makroprudensialnya: (1) menurunkan bunga acuan (BI7DRR) dari 5,00 ke 4,50 persen, (2) memangkas GWM rupiah dan valas, (3) lelang FX swap setiap hari, (4) term repo dengan underlying SUN/SBN, (5) term- deposit valas untuk likuiditas pasar, (6) pelonggaran rasio intermediasi makroprudensial, dan lain-lain. OJK juga meluncurkan stimulus untuk perbankan: (1) relaksasi persyaratan kredit/pembiayaan/penyediaan dana bagi UMKM, (2) restrukturisasi kredit/pembiayaan UMKM.
Mengingat besarnya biaya untuk mengatasi Covid-19, pemerintah telah melakukan refocusing/penghematan anggaran sekitar Rp 150 triliun dan realokasi belanja Rp 55 triliun. Sampai saat ini, pemerintah sudah melakukan stimulus fiskal I (penguatan ekonomi domestik) dan II (menjaga daya beli masyarakat serta kemudahan ekspor dan impor) masing-masing Rp 8,5 triliun dan Rp 22,5 triliun. Harus diakui, stimulus I dan II relatif kecil karena di Indonesia saat itu belum terdeteksi Covid-19.
Namun, kemudian penyebarannya kian meluas dan masif, dan direspons dengan stimulus III dengan nilai jauh lebih besar, Rp 405 triliun. Langkah antisipatif dan adaptif ini dinaungi secara hukum melalui Perppu No 1/2020, di mana defisit fiskal bisa di atas 3 persen PDB selama tiga tahun, sampai 2022.
Untuk menolong perekonomian nasional yang sangat tertekan oleh Covid-19, diperlukan keberanian melonggarkan kebijakan moneter agresif dan kebijakan fiskal yang sangat ekspansif. Namun, ini bukan satu-satu syarat keberhasilan Indonesia mengatasi pandemi. Satu hal yang sangat penting dan tak boleh alpa, koordinasi dan harmonisasi setiap kebijakan yang diambil.
Tanpa koordinasi dan harmonisasi yang baik dan mulus antara pemerintah pusat, daerah, otoritas moneter, BPK, DPR, perbankan, pelaku usaha, dan masyarakat, berapa pun uang yang disalurkan akan terasa sia-sia dan mubazir.
Kemenkeu, BI, OJK, dan LPS harus jadi contoh nyata kesolidan koordinasi dan harmonisasi di dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Selanjutnya, dipastikan juga ada koordinasi yang baik antarkementerian/lembaga, pemerintah pusat dan daerah agar stimulus ini benar-benar berdampak positif merasuk ke seluruh sendi perekonomian dan bisa dirasakan sampai masyarakat level bawah dan miskin.
Koordinasi dari segala lini jangan sampai mengakibatkan keputusan dan eksekusi jadi lamban karena kita perlu tindakan cepat. Rakyat tak mau menunggu, perekonomian yang sedang lesu harus dapat suntikan stimulus segera. Kebijakan dan stimulus harus kelihatan satu roh dan jiwa.
Ini penting untuk memunculkan tingkat kepercayaan seluruh lapisan masyarakat bahwa pandemi ini akan segera berakhir dan kita semua pemenangnya, bukan pecundang. Psikologi positif bisa sangat powerful dan mungkin biaya untuk mengatasi pandemi ini bisa lebih murah. Amin.
(Anton Hendranata, Ekonom PT Bank Rakyat Indonesia Tbk)