Waspada Ancaman Jerat Buah Kebijakan Lunak di Yogya
Meski jumlah kasus baru menurun selama beberapa hari terakhir, bukan berarti penularan Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah sepenuhnya terkendali. Penerapan normal baru pun tak boleh dilakukan terburu-buru.
Meski muncul terakhir, penularan Covid-19 di sebuah toko modern di Daerah Istimewa Yogyakarta langsung menyumbang kasus positif terbesar. Kluster lokal dari pusat keramaian mesti diwaspadai sebelum wacana menuju normal baru digagas. Terlebih, sebagai daerah kecil dengan mobilitas tinggi, pemerintah setempat cenderung mengambil kebijakan lunak.
Pandemi Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah berlangsung sekitar 2,5 bulan jika dihitung dari diumumkannya kasus positif pertama 15 Maret 2020. Selama masa itu, penularannya bisa dibagi dalam dua tahap besar.
Pada tahap pertama, pertengahan Maret hingga pertengahan April, kasus positif Covid-19 di DIY didominasi kasus impor dari wilayah lain. Pada periode itu, berdasarkan data Dinas Kesehatan (Dinkes) DIY, hampir semua pasien positif Covid-19 di provinsi tersebut mempunyai riwayat perjalanan ke daerah lain.
Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY baru secara resmi mengumumkan transmisi lokal pada 22 April 2020 atau lebih dari sebulan setelah kasus pertama diumumkan.
Meski masih didominasi kasus impor, pada 22 April, Gugus Tugas Penanganan Covid-19 di DIY sudah mencatat kasus transmisi lokal karena ada 10 pasien positif Covid-19 yang menularkan kepada 12 pasien lain.
Puncak penularan pada tahap pertama tersebut terjadi 12-14 April 2020 saat ada penambahan 20 kasus positif baru. Pada tahap pertama itu memang sempat terjadi lonjakan kasus baru pada 25 Maret 2020 dengan tambahan 12 kasus baru. Namun, itu terjadi lebih karena antrean panjang spesimen untuk diperiksa di laboratorium.
Pada tahap pertama, kasus positif Covid-19 di DIY didominasi kasus impor dari wilayah lain.
Gelombang kedua
Sesudah puncak tahap pertama lewat, sempat terjadi penurunan jumlah kasus baru. Namun, pada 28 April 2020, terjadi lonjakan dengan 10 kasus baru. Lonjakan ini menandai bahwa DIY telah memasuki tahap kedua penularan Covid-19 yang bersumber dari perluasan kluster.
Tahap kedua penularan Covid-19 di DIY itu tidak lagi didominasi kasus impor, tetapi transmisi lokal di sejumlah kluster besar. Berdasarkan data Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY, ada tiga kluster besar penularan Covid-19 di DIY.
Baca juga: Penularan Lokal Terjadi, DIY Belum Pilih PSBB
Kluster pertama adalah kluster jemaah tablig yang muncul setelah ada warga DIY yang mengikuti kegiatan jemaah tablig di Jakarta. Setelah kembali ke DIY, warga itu diduga menularkan Covid-19 kepada orang lain. Berdasarkan data yang dihimpun Kompas, hingga Sabtu (30/5/2020), jumlah pasien positif dari kluster ini mencapai 45 orang.
Pusat penyebaran kluster jemaah tablig ada di Kabupaten Sleman dan Gunung Kidul. Namun, jangkauan penularannya di semua kabupaten/kota di DIY. Adapun kluster kedua adalah kluster dari acara Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) di Bogor, Jawa Barat. Jumlah pasien positif kluster ini sebanyak 15 orang dari Yogyakarta, Bantul, dan Sleman.
Pasien positif dari kluster Indogrosir bukan hanya karyawan Indogrosir, melainkan juga keluarga karyawan dan pengunjung.
Kluster ketiga adalah kluster supermarket Indogrosir di Sleman. Kluster ini terbentuk setelah adanya karyawan Indogrosir yang dinyatakan positif Covid-19. Meski muncul paling akhir, kluster Indogrosir menjadi yang terbesar di DIY dengan 51 pasien positif.
Pusat penyebaran kluster Indogrosir berada di Sleman, tetapi penularannya juga mencakup empat kabupaten/kota lain. Pasien positif bukan hanya karyawan, melainkan juga keluarga karyawan dan pengunjung.
Baca juga : Penularan Covid-19 di DIY Didominasi Tiga Kluster Besar
Apabila dijumlahkan, sampai 30 Mei 2020, total pasien positif dari tiga kluster tersebut mencapai 111 orang atau menyumbang 47 persen dari total pasien positif di DIY sebanyak 233 orang.
Berdasarkan grafik penambahan kasus baru, masa puncak tahap kedua penularan Covid-19 di DIY terjadi pada 7-13 Mei 2020. Selama delapan hari itu tercatat 59 kasus baru atau sekitar 25 persen dari total kasus di DIY.
Sesudah 13 Mei 2020, jumlah kasus positif baru di DIY mulai menurun. Bahkan, pada 25, 26, dan 28 Mei 2020, DIY sempat tidak mencatatkan penambahan kasus baru. Namun, pada 27 dan 29 Mei, masing-masing tercatat dua kasus baru. Adapun 30 Mei terdapat tiga tambahan kasus baru. Sebagian kasus baru itu masih berasal dari perluasan kluster penularan besar.
Tetap waspada
Meskipun jumlah kasus baru mulai menurun, bukan berarti pandemi Covid-19 di DIY sudah berakhir. Penurunan jumlah kasus pada periode waktu pendek belum bisa dijadikan dasar kesimpulan penularan virus korona baru di DIY sudah terkendali.
Apalagi, masih terlihat kasus-kasus positif baru terkait kluster besar di DIY. Selain itu, sumber penularan lain, seperti dari para pemudik dan perayaan Lebaran, mesti diwaspadai.
Wakil Ketua Sekretariat Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY Biwara Yuswantana mengingatkan, penurunan kasus di DIY masih harus dilihat apakah terus berlanjut. ”Ini masih harus dilihat ke depan seperti apa,” ujar Biwara.
Baca juga : Tatanan Normal Baru di DI Yogyakarta Tengah Disusun
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman Joko Hastaryo mengatakan, untuk melihat tingkat penularan Covid-19 di suatu wilayah dibutuhkan pengamatan minimal dua minggu. ”Kalau di Sleman, dua minggu terakhir, kan, kasusnya masih tinggi. Baru beberapa hari terakhir landai. Kalau landai ini berlangsung selama dua minggu, baru disebut indeks penularannya rendah,” ujar Joko.
Dengan kondisi itu, belum bisa disimpulkan bahwa tingkat penularan Covid-19 di DIY sudah benar-benar rendah. Banyak pihak tetap harus waspada. Terlebih, sejatinya kebijakan pembatasan sosial yang diterapkan di DIY selama masa pandemi Covid-19 tergolong longgar.
Jika dibandingkan sejumlah daerah lain, Pemerintah Daerah (Pemda) DIY cenderung memilih kebijakan yang lunak dalam menanggulangi Covid-19.
Bahkan, jika dibandingkan sejumlah daerah lain, Pemda DIY cenderung memilih kebijakan lunak dalam menanggulangi Covid-19. Kebijakan lunak itu, antara lain, terlihat dari keputusan Pemda DIY yang tak menerapkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) seperti beberapa wilayah lain di Pulau Jawa.
Pemda DIY lebih memilih pembatasan sosial dengan meminta masyarakat mengurangi aktivitas di luar rumah. Jika terpaksa keluar rumah, warga diminta memakai masker, menjaga jarak satu sama lain, dan mencuci tangan sesering mungkin. Namun, kebijakan itu lebih bersifat imbauan, tidak disertai ancaman sanksi bagi para pelanggar.
Normal baru
Yang mengkhawatirkan, di tengah pembatasan sosial yang cenderung longgar, Pemda DIY justru bersiap menerapkan kebijakan normal baru. Dalam kebijakan normal baru, pembatasan sosial bakal kian dilonggarkan meski warga dituntut mematuhi protokol yang telah ditetapkan.
Sekretaris Daerah DIY Kadarmanta Baskara Aji mengatakan, penerapan kebijakan normal baru di DIY paling cepat diterapkan pada Juli 2020. Saat ini, pihaknya tengah menyiapkan protokol kesehatan pada masa normal baru.
Baca juga : Prosedur Penerapan Normal Baru Dikebut Pemerintah DIY
Protokol itu, misalnya, berupa kewajiban menggunakan masker, menjaga jarak dengan orang lain, dan mencuci tangan sesering mungkin. Protokol itu bakal diterapkan di berbagai lokasi, seperti tempat kerja, sekolah, pasar tradisional, pusat perbelanjaan, dan obyek wisata.
”Kita, kan, belum tahu penularan Covid-19 ini sampai kapan, sementara masyarakat juga butuh melakukan aktivitas harian. Oleh karena itu, kami perlu menyusun protokol bagaimana aktivitas masyarakat bisa berjalan, tetapi tetap waspada terhadap penularan Covid-19,” ujar Kadarmanta beralasan.
Kebijakan normal baru harus diterapkan saat kasus Covid-19 benar-benar terkendali. Jika tidak, justru berpotensi meningkatkan potensi penularan.
Namun, pakar epidemiologi Universitas Gadjah Mada, Riris Andono Ahmad, mengingatkan, merujuk rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), ada enam syarat penerapan kebijakan normal baru.
Syarat itu antara lain memastikan penularan penyakit Covid-19 sudah terkendali. Selain itu, sistem kesehatan harus bisa mendeteksi, menguji, mengisolasi, serta menangani tiap kasus dan melacak tiap kontak.
Syarat lain, harus ada jaminan langkah pencegahan penularan Covid-19 di lingkungan kerja, seperti menjaga jarak, cuci tangan, dan etika saat batuk; mencegah kasus impor Covid-19; serta memastikan warga memiliki kesadaran dan berpartisipasi dalam transisi ini.
Riris menyatakan, kebijakan normal baru seyogianya diterapkan saat kasus Covid-19 benar-benar terkendali. Jika tidak, hal itu justru berpotensi meningkatkan potensi penularan. ”Ketika transmisi masih sangat tinggi dan kita belum berhasil menurunkannya, new normal itu akan meningkatkan transmisi lagi,” ujar Riris yang juga anggota Gugus Tugas Penanganan Covid-19 DIY.
Untuk memastikan enam syarat WHO itu terpenuhi, Pemda DIY mesti membuat kajian mendalam berbasis data akurat. Tanpa kepastian pemenuhan syarat, penerapan normal baru justru berisiko. Terlebih, DIY merupakan salah satu tujuan wisata dan pusat pendidikan.