1.851 Anak Indonesia Tertular Covid-19, Upaya Pencegahan di Hulu Tidak Optimal
Jumlah anak yang tertular Covid-19 di Indonesia mencapai 1.851 kasus. Tingginya penularan pada anak memerlukan perhatian yang lebih serius, terutama pada upaya pencegahan dan pelacakan kasus di masyarakat.
JAKARTA, KOMPAS –Kementerian Kesehatan mencatat hingga 30 Mei 2020 terdapat 1.851 kasus Covid-19 pada anak usia kurang dari 18 tahun. Kasus tertinggi dilaporkan terjadi di DKI Jakarta (333 kasus), Jawa Timur (306 kasus), Sumatera Selatan (181 kasus), Sulawesi Selatan (151 kasus), Jawa Tengah (100 kasus), dan Nusa Tenggara Barat (84 kasus).
Dari jumlah tersebut, setidaknya terdapat 29 kasus kematian yang dilaporkan. Namun, berdasarkan data dari RS Online Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan jumlah kematian pada anak yang tercatat dengan status orang dalam pemantauan (ODP) dan pasien dalam pengawasan (PDP) cukup tinggi. Kasus kematian pada anak dengan status ODP per 22 Mei 2020 tercatat sebanyak 41 anak dan pada anak dengan status PDP mencapai 383 anak.
Ketua Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Aman Bhakti Pulungan ketika dihubungi di Jakarta, Rabu (3/6/2020) mengatakan, tingginya jumlah kematian pada anak akibat Covid-19 terjadi karena sebagian besar kasus terlambat dideteksi sehingga ketika datang ke rumah sakit sudah dalam kondisi berat. Dari laporan IDAI, sekitar 30 persen kasus kematian pada anak terjadi pada usia 0-1 tahun.
Risiko kematian pada anak dengan Covid-19 ini juga terjadi karena sebagian besar populasi anak di Indonesia memiliki komorbit atau penyakit penyerta. Itu seperti, kurang gizi, anemia, tengkes, diare, dan pneumonia.
“Kita harus sadar bahwa beban kesehatan pada anak Indonesia sangat tinggi. Jumlah kasus pneumonia dan diare pada anak di Indonesia juga tinggi padahal gejala yang ditunjukan pada Covid-19 hampir sama dengan penyakit ini. Hal ini diperparah dengan upaya pencegahan dari hulu yakni upaya preventif dan promotif yang tidak berjalan di masyarakat,” tuturnya.
Aman mengatakan, jumlah kasus Covid-19 anak diperkirakan lebih tinggi dari jumlah yang dilaporkan. Hal ini karena pelacakan kasus pada anak belum berjalan optimal. Ia menilai, risiko penularan kasus pada anak saat ini semakin tinggi dengan banyaknya masyarakat yang tidak lagi menjalankan protokol kesehatan dengan baik.
Meskipun sebagian besar anak saat ini berada di rumah, orangtua ataupun orang terdekat yang tinggal dengan anak sudah mulai menjalankan aktivitas di luar rumah. Potensi penularan pun akan terjadi ketika orangtua yang membawa virus langsung melakukan kontak dengan anak tanpa membersihkan diri terlebih dahulu.
Kondisi ini semakin parah apabila tidak ada pengawasan yang ketat pada aktivitas yang dijalankan oleh anak. Tidak sedikit anak yang bermain dan berkegiatan di luar rumah dengan bebas. Sementara, mereka tidak diberikan perlindungan seperti penggunaan masker yang benar.
Aman menambahkan, pengawasan pada anak yang masih sulit dilakukan untuk pencegahan Covid-19 seharusnya menjadi pertimbangan untuk tidak membuka sekolah dalam waktu dekat. Setidaknya, sekolah secara aktif baru bisa dibuka pada Desember 2020. Ini pun dengan syarat pelacakan kasus pada anak sudah 30 kali lebih banyak dari jumlah yang tercatat saat ini. Pembukaan sekolah pun nantinya harus dilakukan secara bertahap.
“Setidaknya harus ada satu tempat sebagai percontohan. Pastikan dulu protokol kesehatan bisa dijalankan secara maksimal. Penularan Covid-19 pada anak sama berisikonya dengan usia dewasa, bahkan bisa lebih berisiko karena sulit menerapkan protokol kesehatan pada anak. Biasanya anak cenderung tidak nyaman menggunakan masker terlalu lama dan tidak berkumpul dengan teman-temannya,” tuturnya.
Aman menambahkan, dampak berat lainnya dari pandemi Covid-19 ini adalah kemungkinan Indonesua kehilangan potensi generasi yang berkualitas (lost generation). Di tengah pandemi ini, pelayanan kesehatan seperti posyandu dan puskesmas tidak berjalan optimal. Itu mengakibatkan imunisasi dan monitoring tumbuh kembang anak juga terabaikan.
Penularan Covid-19 pada anak sama berisikonya dengan usia dewasa, bahkan bisa lebih berisiko karena sulit menerapkan protokol kesehatan pada anak.
Baca juga: Pandemi Covid-19 Jangan Sampai Hentikan Imunisasi Anak
Spesialis Nutrisi dari Unicef Indonesia Sri Sukotjo mengatakan, kondisi pandemi saat ini bisa menyebabkan beban gizi anak di Indonesia semakin besar. Angka tengkes yang tercatat saat ini sudah cukup tinggi, yakni setidaknya ada tujuh juta anak Indonesia yang mengalami tengkes.
“Pandemi ini bisa berisiko semakin meningkatkan beban gizi tersebut. Posyandu yang kini terdistrupsi akan berisiko memperburuk keadaan dan status gizi anak Indonesia. Kami harap protokol kesehatan pencegahan Covid-19 di posyandu bisa dilaksanakan sehingga layanan kesehatan pada anak tetap berjalan baik,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto menyampaikan, layanan spesifik di pusat pelayanan kesehatan harus tetap berjalan, termasuk layanan imunisasi pada anak. Meski begitu, sistem pelayanan yang diberikan akan lebih ketat untuk mencegah penularan Covid-19.
“Pemberian imunisasi tidak mungkin dijalankan dengan pola lama. Jadi imunisasi harus dilakukan dengan penjadwalan dan tidak bisa lagi datang dengan bersama-sama dan berkerumun. Mekanisme ini harus kita rubah. Sehingga butuh inovasi dari semua pihak, terutama kantor kesehatan dan petugas imunisasi,” tuturnya.
Baca juga: Kenali Gejala Covid-19 pada Anak
Dituntut berinovasi
Direktur Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan Erna Mulati menyampaikan, petugas kesehatan di lingkungan masyarakat pun dituntut untuk lebih berinovasi mendekatkan layanan kesehatan ke setiap keluarga. Pengadaan puskesmas keliling ataupun konsultasi secara daring bisa dipilih. Selain itu, kesadaran orangtua untuk secara mandiri memantau tumbuh kembang anaknya juga sangat dibutuhkan.
Selain itu, setiap petugas kesehatan di puskesmas harus memiliki data kondisi anak yang berada di lingkungan tugasnya. Dengan begitu, monitoring kesehatan pada anak yang membutuhkan perhatian khusus, misalnya dengan status gizi kurang, anak dengan hiv/aids, ataupun anak dengan penyakit bawaan bisa lebih intensif dilakukan.
"Tingginya komorbit pada anak di Indonesia ini juga yang menyebabkan risiko penularan Covid-19 serta pemburukan yang terjadi menjadi semakin tinggi. Sementara, kesadaran masyarakat untuk mencegah penularan masih kurang," tutur Erna.
Menurut dia, penularan pada anak paling banyak terjadi akibat kontak dengan orangtua yang tertular Covid-19. Karena itu, orangtua dengan status orang dalam pemantauan, pasien dalam pengawasan, dan positif Covid-19 seharusnya tidak melakukan kontak dengan anaknya.
Ketentuan ini pun berlaku pada ibu dengan Covid-19. Ketika melahirkan, ibu diharapkan tidak melakukan kontak dengan bayi. ASI sementara waktu sebaiknya tidak diberikan secara langsung.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Bidang Obstetri dan Ginekologi, Budi Wiweko menyampikan, sejauh ini tidak ada bukti yang menunjukkan adanya tranmisi penularan secara vertikal dari ibu hamil ke janin yang dikandung. Penularan baru bisa terjadi ketika ibu melakukan kontak pada bayinya.
Oleh karena itu, ketentuan khusus dalam proses melahirkan akan diberlakukan pada ibu dengan Covid-19. "Panduan yang telah dikeluarkan antara lain proses persalinan disarankan tidak dilakukan secara normal. Setelah lahir, bayinya pun tidak boleh rawat gabung dengan ibu. Bayi pun diisolasi dengan menggunakan pelindung wajah," tuturnya.
Budi menambahkan, pemeriksaan terkait Covid-19 pada ibu hamil juga perlu dilakukan karena sekitar 18 persen ibu hamil yang positif Covid-19 tidak bergejala. Ini cukup mengkhawatirkan karena jika tidak diketahui status kesehatannya dapat berisiko menularkan pada anak dan tenaga kesehatan yang melayaninya.
Erna menuturkan, pemerintah pun saat ini masih mengkaji terkait protokol kesehatan di lingkungan sekolah. Protokol ini akan mempertimbangkan keamanan anak mulai dari rumah hingga tiba sekolah. Ini termasuk pada keamanan di perjalanan.
"Saat ini masih dibahas dan belum final. Setidaknya jika mau diberlakukan pun akan dimulai dari wilayah dengan zona hijau dan dimulai dari anak sekolah usia yang lebih tua. Dalam protokol ini antara lain akan mengatur batas maksimal jumlah anak, tidak boleh ada kantin yang dibuka, ketersediaan akses cuci tangan, serta pertimbangan perjalanan anak ke sekolah," ujar Erna.
Secara akumulasi, total kasus terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia hingga 3 Juni 2020 mencapai 28.233 kasus dengan 684 kasus tambahan dari hari sebelumnya. Sementara, kasus sembuh pada 3 Juni 2020 dilaporkan bertambah 471 kasus sehingga total kasus sembuh menjadi 8.406 kasus dan kasus kematian bertambah 35 kasus sehingga total menjadi 1.698 kasus kematian.
Penambahan kasus tertinggi dilaporkan terjadi di Jawa Timur (183 kasus), DKI Jakarta (82 kasus), Banten (71 kasus), Kalimantan Selatan (64 kasus), dan Sulawesi Selatan (38 kasus). Dari laporan yang diterima Gugus Tugas, setidaknya 418 kabupaten/kota di 34 provinsi telah melaporkan adanya temuan kasus Covid-19.
Adapun akumulasi data kasus tersebut berdasarkan hasil uji pemeriksaan dari 354.434 spesimen. Pemeriksaan dilakukan di sejumlah laboratorium, meliputi 101 laboratorium berbasis real time Polymerase chain reaction, 60 laboratorium berbasis tes cepat molekuler (TCM), dan 180 laboratorium jejaring (RT-PCR dan TCM).
Perkembangan kasus
Secara akumulasi, hingga 3 Juni 2020, total kasus terkonfirmasi Covid-19 di Indonesia mencapai 28.233 kasus dengan 684 kasus tambahan dari hari sebelumnya. Kasus sembuh pada 3 Juni 2020 bertambah 471 kasus sehingga total kasus sembuh menjadi 8.406 kasus, sedangkan kasus kematian bertambah 35 kasus sehingga total menjadi 1.698 kasus kematian.
Penambahan kasus tertinggi dilaporkan terjadi di Jawa Timur (183 kasus), DKI Jakarta (82 kasus), Banten (71 kasus), Kalimantan Selatan (64 kasus), dan Sulawesi Selatan (38 kasus). Dari laporan yang diterima Gugus Tugas, setidaknya 418 kabupaten/kota di 34 provinsi telah melaporkan adanya temuan kasus Covid-19.
Mencermati perkembangan kasus Covid-19 di Indonesia, Ketua Terpilih Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Ede S Darmawan mendesak pemerintah agar tidak melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Pemodelan oleh tim IAKMI menemukan, PSBB telah menekan penularan Covid-19 di Indonesia. Rata-rata kasus positif pada April menurun 4,5 kali dibandingkan Maret. Kasus selama Mei dua kali lebih rendah dibandingkan April.
”Sekalipun banyak kelemahan, PSBB terbukti bermanfaat, dilihat dari data riil yang dilaporkan harian. Sekalipun kasusnya belum bisa dianggap bisa terkendali,” katanya.
Baca juga: ”Oxymoron” Normal Baru
Naikkan kewaspadaanDalam situasi sekarang, Ede berharap, pemerintah mengedepankan sikap preventif dan mengubah strategi komunikasi risiko.
”Normal baru seharusnya menaikkan level kewaspadaan, dari perilaku lama yang tidak bisa menahan Covid-19 dengan perilaku baru yang lebih sehat dan aman,” katanya.
Kencangnya wacana normal baru justru membuat masyarakat mengalami euforia dan mulai melonggarkan pembatasan. Keramaian mulai terjadi, sedangkan perilaku hidup sehat dan aman belum terbangun.
Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, dalam diskusi INFID, juga mengatakan, jika dijalankan dengan benar, PSBB membantu meredakan pandemi meski tidak bisa menyelesaikan sampai ada vaksin. Itu hanya bisa berjalan jika masyarakat dilibatkan. ”Masalahnya, peran masyarakat masih minim, padahal mereka garda terdepan,” katanya.
Menurut Pandu, data saintifik harus menjadi acuan dalam menentukan kebijakan terkait pandemi, dan ini harus menjadi bagian dari reformasi sistem kesehatan. ”Para akademisi mau membantu, tetapi terlebih dahulu yang punya data harus mau membaginya,” katanya.
Deputi Bappenas Bidang Pembangunan Manusia Subandi Sardjoko mengakui, sistem kesehatan belum siap menghadapi pandemi ini. ”Pandemi ini juga memberikan pelajaran pentingnya reformasi sektor kesehatan. Ini momentum untuk perbaikan,” katanya.