Akomodasi Pemulihan Ekonomi, Defisit APBN Semakin Lebar
›
Akomodasi Pemulihan Ekonomi,...
Iklan
Akomodasi Pemulihan Ekonomi, Defisit APBN Semakin Lebar
Pemerintah merevisi Perpres No 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020 guna mengakomodasi kebutuhan Rp 667,2 triliun untuk pembiayaan pemulihan ekonomi. Pelebaran defisit mesti untuk kepentingan rakyat.
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah segera merevisi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian APBN 2020. Revisi dilakukan untuk mengakomodasi kebutuhan pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional yang mencapai Rp 667,2 triliun.
Dalam postur dan rincian APBN 2020 terbaru, Kementerian Keuangan menetapkan proyeksi pendapatan negara Rp 1.699,1 triliun atau turun Rp 61,8 triliun dibandingkan dengan target semula yang tertuang dalam Perpres No 54/2020. Sementara belanja negara naik Rp 124,6 triliun menjadi Rp 2.738,4 triliun.
Dengan demikian, defisit APBN 2020 diperkirakan kembali melebar dari Rp 852,9 triliun menjadi Rp 1.039,2 triliun. Proyeksi defisit setara 6,34 persen produk domestik bruto. Ini adalah kali ketiga Kementerian Keuangan mengoreksi proyeksi defisit APBN 2020 sejak UU APBN 2020 disahkan.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Perpres No 54/2020 awalnya didesain untuk merespons pandemi Covid-19. Postur dan rincian APBN difokuskan pada penanganan kesehatan, pemberian bantuan sosial, serta penyelamatan ekonomi dan sektor keuangan. Program pemulihan ekonomi nasional belum diakomodasi dalam Perpres No 54/2020.
”Adapun pemulihannya akan tertuang dalam revisi Perpres No 54/2020. Instrumen APBN saat ini juga digunakan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional,” kata Sri Mulyani dalam telekonferensi seusai rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo di Jakarta, Rabu (3/6/2020).
Menurut Sri Mulyani, revisi Perpres No 54/2020, postur dan rincian APBN terbaru sudah dikonsultasikan di internal pemerintah serta Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan. Pemerintah juga sudah melakukan konsultasi dengan Komisi XI dan Badan Anggaran DPR beberapa hari lalu.
Pemulihan ekonomi nasional yang diakomodasi dalam Perpres No 54/2020 terdiri atas berbagai program, yakni bidang kesehatan mencakup belanja penanganan Covid-19, insentif tenaga medis, santunan kematian, bantuan iuran peserta program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat, dan gaji gugus tugas senilai total Rp 87,55 triliun.
Bidang perlindungan sosial mencakup tambahan penerima Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako, bantuan langsung tunai, Kartu Prakerja, diskon tarif listrik, dan bantuan langsung tunai desa senilai total Rp 203,9 triliun. Selain itu, dukungan bagi UMKM berupa subsidi bunga, penundaan cicilan pokok dan bunga, serta pemberian kredit modal kerja darurat Rp 123,6 triliun.
Pemerintah juga memberikan insentif perpajakan bagi 1.062 kelompok usaha total Rp 120,61 triliun, serta pembiayaan korporasi untuk BUMN, industri padat karya, dan non-padat karya Rp 44,57 triliun. Program terakhir adalah dukungan sektoral untuk kementerian/lembaga dan pemerintah daerah Rp 97,11 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, program pemulihan ekonomi nasional senilai total Rp 667,2 triliun tersebut akan diberikan dalam bentuk penyertaan modal negara, penempatan dana pemerintah di perbankan, investasi dan penjaminan pemerintah, serta belanja negara yang ditujukan untuk memulihkan ekonomi nasional.
”Tekanan berat sepajang 2020 akan berakibat ke postur APBN tahun 2021. Rancangan APBN 2021 tetap konsisten menjaga dampak Covid-19 dari aspek kesehatan, sosial, dan ekonomi, serta terus mendukung pemulihan ekonomi,” kata Sri Mulyani.
Dalam pengantar rapat terbatas, Presiden Joko Widodo meminta Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Keuangan, dan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas untuk menghitung secara cermat dan detail, termasuk berbagai risiko fiskal ke depan.
”Perubahan postur APBN agar dilakukan dengan hati-hati, transparan, akuntabel sehingga APBN 2020 bisa dijaga, dipercaya, dan tetap kredibel,” kata Presiden.
Prioritaskan rakyat
Dihubungi secara terpisah, Rabu, Ketua Badan Anggaran DPR Said Abdullah mengatakan, pelebaran defisit bukan masalah utama sepanjang anggaran digunakan untuk kepentingan rakyat. Program pemulihan ekonomi harus diutamakan untuk perlindungan sosial masyarakat dan penyelamatan UMKM.
Pelebaran defisit bukan masalah utama sepanjang anggaran digunakan untuk kepentingan rakyat.
”Dalam rapat konsultasi selama 10 jam kemarin, kami memahami kebutuhan pelebaran defisit menjadi Rp 1.039,2 triliun. Namun, pemerintah harus menggunakan anggaran secara pruden, taat asas, dan prosesnya dilaksanakan dengan baik,” kata Said.
Menurut Said, program pemulihan ekonomi nasional tetap harus mencerminkan aspek keadilan. Prioritas penggunaan anggaran untuk melindungi rakyat dan UMKM sebagai penopang perekonomian. Jangan sampai ada kesan program pemulihan ekonomi menitikberatkan menyasar korporasi besar dan BUMN.
Dalam rapat konsultasi bersama DPR, proyeksi pertumbuhan ekonomi yang diajukan pemerintah berkisar 1,2-1,3 persen pada 2020. Proyeksi itu dengan catatan pemulihan ekonomi dimulai sejak 1 Juni 2020 dengan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar di sejumlah wilayah Indonesia.
”Dari data yang disampaikan ke DPR, pertumbuhan ekonomi akan melambat lebih tajam menjadi kisaran 0,8-1,2 persen jika pemulihan ekonomi baru dilakukan awal September,” ujar Said.
Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, berpendapat, pelebaran defisit APBN menimbulkan konsekuensi jangka panjang yang bervariasi, salah satunya kenaikan nominal utang pemerintah. Struktur kepemilikan asing dalam surat berharga negara (SBN) Indonesia relatif tinggi, yaitu sekitar 30 persen, dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara (ASEAN).
”Besarnya porsi kepemilikan asing menyebabkan fundamen ekonomi domestik rentan arus modal asing ke luar,” ujarnya.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menambahkan, pemerintah dan Bank Indonesia terus berkoordinasi erat untuk menjaga stabilitas pasar keuangan, baik pasar modal maupun pasar surat berharga negara. Kepercayaan investor juga mulai kembali yang ditandai dengan penurunan imbal hasil surat berharga pemerintah ke sekitar 7 persen.