Di satu sisi, ada kerinduan dari siswa untuk kembali hadir di gedung sekolah, bertemu guru dan teman. Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran karena potensi penularan Covid-19 masih cukup besar.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Tak bisa disangkal, ada perasaan mendua (mixed feeling) di kalangan orangtua, siswa, mahasiswa, dan birokrasi terkait keamanan pembelajaran tatap muka.
Di satu sisi, secara psikologis, ada kebutuhan dan juga kerinduan di kalangan siswa serta individu pada umumnya untuk bertemu teman, bersosialisasi seperti di era normal lama. Sekuat apa pun teknologi mendukung komunikasi antarmanusia, perjumpaan di dunia nyata lebih menghangatkan dan memenuhi perasaan hati (fulfilling).
Di sisi lain, angka penularan Covid-19 masih belum bisa sepenuhnya diredam. Setiap hari kita menyaksikan angka mereka yang terpapar infeksi terus meningkat, artinya bahaya penularan virus korona masih mengintai.
Wajar jika hal ini membuat orangtua tidak atau belum rela melepas anaknya kembali belajar normal di sekolah, bahkan jika dinyatakan bahwa sekolah sudah disemprot disinfektan dan protokol kesehatan sudah diterapkan.
Kekhawatiran yang masuk akal. Betul sekolah dan kampus sudah disterilkan, tetapi bagaimana dengan perjalanan, misalnya saat berada di transportasi umum atau saat berkomunikasi antarteman, yang mungkin karena saking senangnya melepas masker, atau bertukar makanan dari rumah?
Kita sudah mendengar penjelasan Kepala Negara ketika meninjau Masjid Istiqlal, Selasa (2/6/2020), pembukaan berbagai aktivitas masyarakat, termasuk sekolah, akan dilakukan melalui pertimbangan ketat. Angka penularan virus di setiap daerah jadi pertimbangan penting.
Namun, ketika coba dijabarkan rincian teknisnya, ternyata kompleks juga. Sekolah akan menyediakan wastafel dengan sabun cuci, juga termometer tembak. ”Namun, saat anak di perjalanan dan berinteraksi dengan temannya, sekolah sulit memastikan apakah mengikuti protokol kesehatan atau tidak,” ujar Wakil Kepala SMA Negeri 6 Jakarta Husniwati.
Selain soal banyaknya fasilitas yang harus disiapkan, pembelajaran tatap muka di era normal baru juga butuh biaya besar, termasuk proses pengecekan kesehatan siswa yang harus dilakukan setiap hari (Kompas, 3/6).
Ada tuntutan kemendesakan, tetapi hal ini tidak boleh dengan mengompromikan keamanan kesehatan.
Sebagaimana disampaikan pakar epidemiologi, ada sejumlah persyaratan yang harus dipenuhi agar normal baru bisa diterapkan dengan aman dan sukses. Ada tuntutan kemendesakan, tetapi hal ini tidak boleh dengan mengompromikan keamanan kesehatan.
Secara keseluruhan, kita menggarisbawahi bahwa pembukaan sekolah untuk pembelajaran tatap muka hingga saat ini belum didukung oleh pijakan yang kuat. Kita berpandangan, yang bisa dilakukan adalah sekolah mempersiapkan segala fasilitas yang diperlukan untuk penegakan normal baru, termasuk protokol kesehatan yang akan diterapkan, dan pada sisi lain kita harus sabar menunggu angka penularan menurun hingga pada tingkat aman. Sekali lagi kita diingatkan agar menyangkut urusan penting, seperti pendidikan, jangan kita didikte oleh kemendesakan apa pun.