Bantuan sosial menjadi kian populer tiga bulan terakhir. Sayangnya, perbincangan soal bansos lebih banyak hadir dalam wacana korupsi. Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) jadi kunci ketepatan penyaluran bansos ini.
Oleh
Dhanang David Aritonang/Benediktus Krisna/Madina Nusrat
·5 menit baca
Sebelum Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di sejumlah daerah pada April lalu, segala macam program bantuan sosial kurang menjadi perhatian publik. Alih-alih hadir dalam perbincangan jaring pengaman sosial bagi warga miskin, bansos lebih banyak hadir dalam wacana korupsi.
PSBB sebagai upaya pengendalian penularan Covid-19 telah menyebabkan perlambatan ekonomi. Banyak yang kehilangan pekerjaan karena pusat-pusat perbelanjaan ditutup, restoran dan warung makan hanya diperbolehkan melayani pemesanan makanan untuk dibawa pulang. Sementara karyawan perusahaan maupun pegawai negeri sipil diinstruksikan bekerja dari rumah, termasuk siswa belajar dari rumah.
Untuk menjamin kebutuhan hidup warga yang kehilangan pekerjaan maupun penghasilannya dipotong selama PSBB, pemerintah menyediakan jaring pengaman sosial berupa bansos sembako, bansos tunai, hingga bantuan langsung tunai yang diambil 30 persen dari Dana Desa.
Agar bisa menjangkau para penerima bansos, pemerintah menggunakan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang memuat data 40 persen rumah tangga dengan kondisi sosial-ekonomi menengah ke bawah.
Dirintis 2005
Pengembangan data ini telah dirintis sejak 2005 dengan nama Basis Data Terpadu. Data ini pertama kali digunakan oleh pemerintah untuk mendistribusikan Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi warga miskin sebagai kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak kala itu.
Hingga 2016, data ini telah dimuktahirkan sebanyak 5 kali oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Data itu kemudian diserahkan kepada Kementerian Sosial untuk mengelolanya. Sejak itu, pemuktahiran data tersebut diserahkan kepada masing-masing pemerintah daerah.
Sesuai Kemampuan
Namun pemutakhiran data ini tak dilaksanakan dengan segera oleh semua pemda. Di Jabodetabek, contohnya, beberapa pemda baru memuktahirkan data tersebut pada 2019. Salah satu penyebabnya karena BDT yang diserahkan TNP2K kepada Kemensos pada 2016, baru diperoleh sejumlah pemda pada 2017.
Dinas Sosial Kota Depok, contohnya, setelah menerima data tersebut baru bisa melakukan verifikasi data secara administratif pada 2018. Tahun berikutnya, 2019, Dinsos Kota Depok melaksanakan verifikasi dan validasi langsung ke lapangan di 63 kelurahan di kota itu untuk memuktahirkan data tersebut dengan memakan anggaran Rp 300 juta.
Lain halnya Dinsos Kabupaten Bogor baru dapat melaksanakan pemuktahiran BDT pada tahun 2020 ini. Wilayah Kabupaten Bogor yang mencakup 435 desa membuat pemuktahiran data ini membutuhkan anggaran tak sedikit, setidaknya Rp 2,7 miliar.
Sementara untuk memuktahirkan data ini, setiap operator yang melaksanakannya di lapangan harus dibekali bimbingan teknis. Setidaknya ada 43 kolom yang harus diisi saat melakukan verifikasi dan valiadasi di lapangan.
Tenaga operator yang dapat melaksanakannya pun menjadi isu tersendiri karena untuk melakukan verifikasi dan validasi data ini membutuhkan kemampuan minimal mengoperasikan komputer dan program Excel.
Kota Depok, contohnya, tidak menghadapi kendala berarti dalam hal ini karena tenaga operator yang dikerahkan ada dari unsur pegawai negeri sipil di kelurahan dan warga. Namun bagi Kabupaten Bogor, ini menjadi masalah karena tak semua perangkat desa mampu mengoperasikan komputer. Dinsos Kabupaten Bogor pun memberikan kelonggaran bagi setiap desa dalam menentukan operator untuk verifikasi dan validasi DTKS selama ia mampu mengoperasikan komputer.
Sementara untuk menentukan keluarga yang dapat dicatat dalam DTKS, tenaga operator harus memverifikasi kondisi tempat tinggal keluarga tersebut dengan sejumlah indikator. Indikator itu mulai dari status bangunan rumah, status lahan, luas lantai, jenis lantai, jenis dinding, sumber air minum, status sanitasi buang air besar (BAB), jenis kloset, hingga status pekerjaan, dan status kehamilan. Tak kurang dari 43 macam informasi harus diisi saat melakukan verifikasi di lapangan untuk setiap keluarga.
Hingga kini, menurut data Kemensos, dari 514 kabupaten/kota di Indonesia, masih ada 46 kabupaten/kota yang belum melaksanakan pemuktahiran DTKS. Hingga kini jumlah kepala keluarga (KK) yang terdaftar di DTKS sebanyak 29.085.939 KK yang terbagi di 27.060.751 rumah tangga. Sementara, individu yang terdaftar di DTKS sebanyak 97.388.064 jiwa. Data individu ini menjadi dasar untuk pemberian beasiswa sekolah hingga Peserta Bayar Iuran BPJS-Kesehatan.
Sekretaris Jenderal Kemensos, Hartono Laras mengatakan, DTKS harus dimuktahirkan secara berkala atau rutin karena pergerakan penduduk sangat dinamis, seperti meninggal, termasuk keluarga yang berubah status sosial ekonominya. Pemuktahiran
“Desa/kelurahan kemudian lakukan verifikasi melalui musyawarah desa. Dengan melihat kembali data yg ada di masing-masing wilayah. Terbuka pula kesempatan bagi warga miskin yang lakukan pendaftaraan mandiri. Hasil dari itu semua dilaporkan kepada pemerintah kabupaten/kota. Lalu ditembuskan ke pemerintah provinsi, lalu ke Kemensos dengan sistem yang ada,” jelasnya.
Menurut Hartono, tujuan DTKS ini adalah untuk memetakan warga miskin. Setiap kali ada pendistribusian bansos, maka warga yang terdata di DTKS itulah yang diutamakan untuk memperoleh bantuan. Dengan demikian, bansos yang selama ini kerap dikaitkan dengan hajat politik, tidak lagi mudah disalahgunakan dalam pendistribusiannya.
“Ada atau tidak ada pilkada, data ini harus dimuktahirkan. Jangan sampai seperti dulu, banyak pemerintah daerah menyampaikan jumlah kemiskinannya rendah, tetapi begitu ada penyaluran bansos, (malah banyak jumlah penerima bantuan),” jelasnya.
Tujuan DTKS ini adalah untuk memetakan warga miskin. Setiap kali ada pendistribusian bansos, maka warga yang terdata di DTKS itulah yang diutamakan untuk memperoleh bantuan. Dengan demikian, bansos yang selama ini kerap dikaitkan dengan hajat politik, tidak lagi mudah disalahgunakan dalam pendistribusiannya.
Oleh karena itu, menurut Hartono, pemuktahiran DTKS ini harus menjadi kebiasaan di setiap daerah. Sebab, data ini menjadi rujukan untuk segala macam bansos, termasuk PBI untuk BPJS Kesehatan. DTKS ini pun hanya akan valid selama data di dalamnya rutin diverifikasi dan dilakukan validasi di lapangan.
“DTKS akan valid jika daerah aktif memuktahirkan data tersebut,” ucapnya.
Kini publik secara berangsur-angsur mulai mengenal DTKS, setidaknya di kalangan perangkat desa dan kelurahan. Pada awal Mei lalu, aplikasi Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation (SIKS-NG) untuk mengakses dan memuktahirkan DTKS, masih dapat digunakan dengan mudah. Publik masih dapat mengakses informasi umum terkait jumlah rumah tangga yang masuk dalam DTKS di setiap desa/kelurahan.
Sayangnya, memasuki pertengahan Mei, untuk mengunduh data di aplikasi itu menjadi lambat sekali. Sekarang, di halaman aplikasi itu muncul keterangan “Terjadi kesalahan”, dan data di aplikasi itu sudah tidak bisa diakses lagi.
Menurut sejumlah perangkat pemerintah, salah satunya diungkapkan Camat Pancoranmas, Kota Depok, Utang Wardaya, semakin banyak kalangan pemerintah dan warga yang mengakses aplikasi SIKS-NG sejak bansos didistribusikan. Proses pengunduhan data di aplikasi itu pun semakin lambat.