PTUN Jakarta menyatakan, tindakan pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 melanggar hukum. Meskipun demikian, putusan dianggap bak pisau bermata dua.
Oleh
DIAN DEWI PURNAMASARI/NIKOLAUS HARBOWO
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sekalipun Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta menyatakan tindakan pemerintah memutus akses internet di Papua dan Papua Barat pada 2019 melanggar hukum, peluang pelanggaran hak atas informasi oleh pemerintah masih berpeluang terjadi ke depan. Untuk mencegahnya, regulasi yang mengaturnya harus mengedepankan kontrol atas konten-konten yang melanggar hukum, bukan pemutusan akses terhadap informasi.
Pada Rabu (3/6/2020), majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta, yang dipimpin Nelvy Christin, mengabulkan gugatan dari Aliansi Jurnalis Independen dan Pembela Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFEnet) atas tindakan pemerintah melakukan pembatasan, pemblokiran, dan perpanjangan pemblokiran internet di Papua dan Papua Barat, dalam rentang waktu 19 Agustus-4 September 2019.
Majelis hakim dalam putusannya menyatakan tindakan pemerintah itu sebagai perbuatan melanggar hukum. Sebab, kebijakan diambil tanpa terlebih dahulu menyatakan status kedaruratan seperti disebutkan pada Pasal 40 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Atas putusan itu, pemerintah menyatakan pikir-pikir untuk menentukan sikap selanjutnya.
Dihubungi secara terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate mengaku belum membaca putusan PTUN itu.
Namun, apa pun putusan PTUN, pemerintah menghargai putusan itu. ”Tetapi, kami juga mencadangkan hak hukum sebagai tergugat. Kami akan berbicara dengan pengacara negara untuk menentukan langkah hukum selanjutnya,” katanya.
Ia menegaskan, sejauh ini, dirinya belum menemukan dokumen tentang keputusan yang dilakukan oleh pemerintah, termasuk rapat-rapat di kementeriannya, terkait pemblokiran atau pembatasan akses internet di Papua dan Papua Barat.
”Namun, bisa saja terjadi adanya perusakan infrastruktur telekomunikasi yang berdampak pada gangguan internet di wilayah tersebut,” katanya.
Pisau bermata dua
Meski mengapresiasi putusan PTUN, peneliti Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam), Wahyudi Djafar, menilai, putusan itu bak pisau bermata dua. Sebab, masih ada peluang pelanggaran hak atas informasi kembali dilakukan pemerintah. Pemerintah masih bisa memutus akses internet asalkan mendeklarasikan keadaan darurat.
Padahal, seharusnya dalam situasi darurat, yang dikontrol oleh pemerintah adalah konten yang melanggar hukum, bukan seluruh akses internet ditutup.
Penutupan akses saat kondisi darurat justru berpotensi mengeskalasi konflik.
Ini diperkuat pula dengan surat dan resolusi dari Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyebutkan penutupan akses untuk mendapatkan informasi adalah tindakan yang harus dihindari karena eksesnya lebih besar. Oleh karena itu, ia mendorong agar UU ITE, khususnya Pasal 40, direvisi.
Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung Hapsara, sependapat. Menurut dia, sejumlah pasal UU ITE, termasuk Pasal 40, tak relevan dengan prinsip pemenuhan HAM di negara demokrasi. Terlebih Indonesia telah meratifikasi kovenan internasional mengenai hak sipil politik melalui UU No 12/2005.
Namun, menurut anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Sukamta, yang dilakukan pemerintah saat konflik di Papua dan Papua Barat menyalahi amanat Pasal 40 UU ITE. Sebab, saat UU tersebut disusun, lahirnya Pasal 40 lebih untuk mengontrol konten yang melanggar hukum, bukan memutus akses internet masyarakat.
”Bisa jadi ini juga akibat ketidakjelasan pemutusan akses atau pemblokiran tersebut. Pengaturan lebih lanjut soal pemblokiran diamanatkan UU ITE Pasal 40 untuk diatur dalam peraturan pemerintah. Hingga kini, PP tersebut belum ada,” katanya.