Mantan petenis Amerika Serikat, James Blake, pernah menjadi korban kebrutalan polisi seperti yang dialami George Floyd. Blake pun menjadi aktivis yang menyuarakan kesetaraan orang kulit hitam dan kulit putih.
Oleh
Yulia Sapthiani
·3 menit baca
Tewasnya George Floyd oleh kebrutalan polisi Minneapolis, Minnesota, Amerika Serikat, mengingatkan mantan petenis AS, James Blake, pada pengalamannya lima tahun lalu. Akibat kejadian itu, Blake pun menjadi aktivis yang menyuarakan kesetaraan orang kulit hitam dan kulit putih.
Lima tahun lalu, Blake, yang aktif bersaing di dunia tenis profesional pada 1999-2013, berdiri di luar sebuah hotel di Manhattan, New York, untuk hadir dalam turnamen tenis Grand Slam AS Terbuka. Seorang pria kulit putih berlari menghampirinya.
”Saya pikir dia adalah penggemar, seseorang yang akan berkata, ’Hai, saya pernah melihatmu bermain, saya menontonmu di suatu turnamen, anak saya juga bermain tenis’. Saya pun tersenyum padanya,” tutur Blake.
Namun, pria itu tiba-tiba memegangnya dengan kasar, membanting Blake, yang berkulit hitam, hingga wajahnya menghadap trotoar. Lengannya diborgol.
Pria yang menangkapnya itu ternyata seorang polisi New York yang sedang menyamar. Dia salah mengidentifikasi Blake sebagai tersangka penipuan kartu kredit.
Blake mengajukan tuntutan, tetapi, kemudian, mencabutnya karena dia tak mencari kompensasi finansial. Pihak kepolisian New York meminta maaf, tetapi menolak tuduhan melakukan tindakan rasial.
Peristiwa lima tahun lalu yang terekam video itu tak pernah hilang dari benak Blake. Dia, bahkan, selalu gugup ketika harus berhadapan dengan polisi.
Perasaannya pun hampa setelah menonton video yang memperlihatkan kebrutalan polisi terhadap Floyd. Floyd adalah pria kulit hitam yang tewas kehabisan napas setelah lehernya ditekan dengan dengkul selama 9 menit oleh polisi kulit putih di Minneapolis.
”Saya terbangun pada tengah malam. Kejadian yang menimpa Floyd selalu terbayang, begitu juga dengan kejadian yang menimpa saya pada 2015. Saya sangat sedih masih melihat kejadian brutal seperti itu dan betapa seringnya itu menimpa komunitas kulit hitam dan coklat,” kata Blake yang pernah menempati peringkat keempat dunia pada November 2006.
Blake, yang pernah kuliah di Universitas Harvard dan saat ini menjadi Direktur Turnamen ATP/WTA Miami, aktif menyuarakan tentang rasisme dan kebrutalan polisi terhadap kaum minoritas. Mantan petenis yang telah berusia 40 tahun itu juga menyuarakan reformasi di kepolisian AS, seperti memberi gaji yang lebih besar dan pelatihan yang lebih baik.
Di keluarga, Blake dan istrinya akan berusaha menjelaskan isu-isu rasialisme di AS kepada kedua putri mereka yang berusia 6 dan 7 tahun. ”Saya tak pernah memperlihatkan video penangkapan saya kepada mereka karena saya tak tahu apakah mereka akan mengerti tentang kejadian itu atau tidak. Namun, dengan adanya peristiwa seperti saat ini, kami akan mulai menjelaskan beberapa isu kepada mereka,” ujar Blake.
Dukungan petenis
Seperti yang dilakukan atlet cabang lain, para petenis top dunia menyampaikan simpati pada kejadian yang menimpa Floyd. Protes atas ketidakadilan rasial disuarakan melalui kampanye #BlackOutTuesday dengan memasang warna hitam pada layar akun media sosial mereka. Itu dilakukan oleh Roger Federer, Rafael Nadal, Novak Djokovic, Stan Wawrinka, Maria Sharapova, Naomi Osaka, Petra Kvitova, dan petenis remaja Coco Gauff.
Gauff, bahkan, menyampaikan pendapatnya secara langsung dalam unjuk rasa damai di kediamannya, Delray Beach, Florida, pada hari Rabu. Petenis berusia 16 tahun itu mengajak para demonstran untuk menyuarakan keadilan.
”Saya berada di sini bukan hanya menyuarakan kepentingan saya, tetapi juga kepentingan saudara saya, masa depan saya, masa depan anak saya, anak dari anak saya, dan seterusnya. Jadi, jangan diam, mari kita bersuara,” kata Gauff dengan lantang. (AP/AFP)