Pandemi Covid-19 akibat virus korona baru adalah musibah yang mengancam kemanusiaan. Tanpa siapkan normal baru, mustahil pandemi bisa dikendalikan. Meski demikian, proses tak berlangsung semudah balikan telapak tangan.
Oleh
J Kristiadi, Peneliti Senior CSIS
·4 menit baca
Normal baru bukan mantra, tetapi juga bukan berhala. Ia adalah fenomena biasa yang muncul karena peristiwa tertentu sehingga manusia harus mengubah kebiasaan. Proses ini mengakibatkan situasi menjadi anomie karena kaidah kehidupan sosial definitif belum terbentuk, sedangkan norma lama sudah usang.
Pandemi Covid-19 akibat virus korona baru adalah musibah yang mengancam kemanusiaan. Tanpa menyiapkan normal baru, mustahil pandemi dapat dikendalikan.
Proses itu tak berlangsung semudah membalikkan telapak tangan karena normal baru ialah tatanan menuju tataran kehidupan yang lebih berkualitas, baik lahir maupun batin, membangun kebaruan peradaban yang makin menyempurnakan kehidupan bersama.
Normal baru bukan mantra, tetapi juga bukan berhala.
Spektrum normal baru amat luas dan rumit karena mencakup segala aspek kehidupan. Ini termasuk hal-hal fisikal, seperti disiplin menjaga jarak, mencuci tangan, memakai masker, serta perubahan simbol-simbol keakraban, seperti bersalaman dan berpelukan.
Bahkan, ritual keagamaan mengalami liminitas, yaitu tahap transisi yang konsekuensinya membuat masyarakat menjadi ambivalen. Penghayatan yang semula bersifat simbolis berubah jadi lebih hakiki. Manifestasi kesalehan bukan lagi dalam bentuk seremonial, melainkan lebih bersifat pribadi dan esensi (Victor Turner, The Ritual Process Structure and Anti-Structure, 1995).
Perdebatan sengit tentang normal baru dipicu rencana pemerintah melonggarkan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Isu sentralnya berkisar tentang tarik-menarik dua opsi kebijakan dilematis dan resiprokal. Mengutamakan kesehatan dengan memperketat PSBB semakin melumpuhkan perekonomian nasional.
Mengendurkan PSBB, maka semakin sulit mengendalikan penularan Covid-19. Sejauh ini negara membuat kebijakan yang fleksibel untuk menjaga keseimbangan dua isu itu. Namun, kebijakan tersebut memerlukan rencana detail dan data akurat agar penanganan pandemi efektif. Kompleksnya pengelolaan penanganan pandemi juga memerlukan komunikasi politik yang lebih artikulatif, solid, dan intensif sehingga tidak membingungkan masyarakat.
Ikhtiar negara menangani pandemi akan lebih cepat berhasil jika pemerintah berkolaborasi dengan masyarakat sipil. Semangat solidaritas sosial yang selama ini sudah berlangsung perlu lebih ditingkatkan, terutama terkait disiplin mengikuti protokol kesehatan. Secara empiris, terbukti terjadi korelasi antara kepatuhan terhadap protokol dan menciutnya sebaran Covid-19. Apabila masyarakat makin sehat, perekonomian akan segera pulih.
Ini baru normal
Agenda penting bangsa Indonesia berikutnya adalah memenangi perang terhadap virus yang jauh lebih ganas dan digdaya. Dalam ungkapan dosen Universitas Aisyiyah, Yogyakarta, Dr M Nurdin Zuhdi, virus tersebut adalah syirik yang telah bermutasi sejak ribuan tahun lalu dengan nama syirik asghar (syirik kecil) yang menjelma menjadi sifat-sifat tercela, seperti iri, dengki, hasut, dendam, serakah, dan kufur nikmat (Kompas, 23/5/2020).
Peringatan tersebut sangat penting karena virus korona tidak hanya menyerang tubuh manusia, tetapi juga antibodi bangsa Indonesia sebagai entitas politik. Perlawanannya lebih sulit karena kelompok yang rentan terhadap virus ini adalah para pemburu kekuasaan yang rute mencapainya dengan menghalalkan segala cara. Upaya itu mulai dari membeli suara senilai harga bahan pokok hingga menyebar kebencian, kabar bohong, dan mengadu domba masyarakat. Bahkan, memanipulasi nilai-nilai mulia demi memenuhi dahaga kuasa.
Virus ini tingkat percepatan penularannya berlipat-lipat lebih cepat daripada korona. Para pemburu kuasa yang terpapar menjadi laiknya makhluk kesurupan yang membayangkan sensasi luar biasa atas nikmatnya kuasa. Mereka biasanya mati empati dan hati nuraninya serta tuli terhadap aspirasi sehingga tak peduli perilaku mereka mengakibatkan sendi-sendi dan saraf kehidupan berbangsa dan bernegara luluh lantak.
Kejahatan yang mereka lakukan sudah dianggap normal. Sejauh ini mereka tidak hanya berhasil membangun imperium kekuasaan, tetapi juga sukses menyusun skema dan proses politik dinasti. Mereka menggenjot regulasi-regulasi politik ekstraktif guna melestarikan kekuasaan mereka.
Sistem kompetisi politik sama sekali mengabaikan nalar meritokrasi, transparansi, dan integritas pribadi yang prima.
Ilustrasi paling aktual dan faktual 20 tahun terakhir ini adalah proses perekrutan politik yang tidak didasari kaidah-kaidah paling mendasar mengenai penataan struktur dan sistem politik kekuasaan. Sistem kompetisi politik sama sekali mengabaikan nalar meritokrasi, transparansi, dan integritas pribadi yang prima bagi calon pemegang kekuasaan politik. Akibatnya, kepemimpinan dari semua tingkatan menjadi lemah.
Kalaupun kebetulan terpilih kandidat yang berniat baik, ia tidak mudah membuat kebijakan yang memihak kepentingan rakyat karena harus mempunyai kecanggihan dan kecerdikan menyusup di antara rimba raya kepentingan pragmatis dan oportunistik.
Agenda memenangi perang atas virus syirik, dengki, iri, serakah adalah keniscayaan. Kemenangan mengalahkan virus itu adalah prestasi luar biasa karena akan menghasilkan, bukan sekadar normal baru, melainkan juga normal yang mampu menghasilkan kebaruan peradaban politik yang sangat esensial bagi kelestarian kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini baru normal yang diimpikan semua lapisan masyarakat.